Kapolres Ngada Ditangkap

Alasan Kapolres Ngada Harus Dipecat dan Dihukum Setimpal Usai Cabuli 3 Anak, DPR: Tak Bisa Dimaafkan

Terungkapnya kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan Kapolres Ngada nonaktif AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, membuat geram.

Editor: Musahadah
Kolase Instagram Media Polres Ngada/dok.humas polres ngada
NGAKU - Kapolres Ngada (Nonaktif) AKBP Fajar Widyadarma Lukman mengaku mencabuli anak di bawah umur. Data korban yang diungkap polisi beda dengan Dinas P3A. 

Dosen Hukum Universitas Nusa Nipa Maumere, Robertus Dicky Armando menilai, kasus pencabulan terhadap tiga anak di bawah umur yang dilakukan eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman merupakan kejahatan luar biasa dan serius.

“Ini termasuk extraordinary crime atau kejahatan luar biasa dan the most serious crimes atau kejahatan yang paling serius,” ujar Dicky saat dihubungi, Rabu (12/3/2025).

Menurutnya, proses penanganan dan pemberian sanksi harus luar biasa karena termasuk dalam dua kategori kejahatan ini.

Oleh sebab itu, kata Dicky, dalam konteks kasus ini bisa menggunakan dua Undang-Undang (UU) yang bersifat lex specialis atau khusus, yaitu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

“Kalau saya baca di media Kapolres Ngada ini bisa dikenakan UU TPKS pelecehan seksual secara fisik, dan pelecehan berbasis elektronik,” kata dia.

“Elektroniknya apa karena dia menyebarkan video pelecehan seksual itu untuk kepentingan dia. Proses dia menyebarkan atau media yang digunakan itu menggunakan UU ITE,” jelasnya.

Dicky menambahkan, pada kasus ini juga tidak ada alasan pemaaf atau penghapusan pidana.

Misalnya, jelas dia, AKB Fajar mengaku melakukan tindakan tersebut karena lalai atau menggunakan narkoba.

“Itu tetap tidak bisa dibenarkan atau penghapusan pidana. Karena itu dia peristiwa pidana yang berbeda, yakni pelecehan seksual dan narkotika,” pungkasnya.

Terpisah, Pengamat Hukum Universitas Widya Mandira Kupang, Mikhael Feka mengatakan, peristiwa ini bukan semata-mata kejahatan individual, melainkan cerminan adanya kegagalan sistemik dalam mekanisme rekrutmen, pengawasan, dan pembinaan anggota kepolisian.

Dia memerinci letak kesalahan sistemik dalam tubuh kepolisian, yakni kegagalan pengawasan internal (internal control failure).

Fungsi pengawasan melalui Propam dan Inspektorat Jenderal belum efektif mencegah penyimpangan perilaku aparat, terlebih yang menduduki posisi strategis.

Hal ini, kata dia, menunjukkan lemahnya sistem Early Warning System (EWS) dan minimnya pelibatan masyarakat dalam kontrol eksternal.

Kemudian, budaya organisasi yang permisif dalam perspektif teori "Broken Window," dibiarkannya pelanggaran kecil dalam tubuh institusi akan membuka peluang terhadap penyimpangan besar.

"Ketidaktegasan terhadap perilaku menyimpang berkontribusi pada degradasi moral institusional," ujar Mikhael.

Sumber: Kompas.com
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved