Lereng Semeru Menyelipkan Energi Hijau Tanpa Agresi dengan PLN

PLN terus berupaya memanfaatkan potensi sumber energi baru terbarukan dan mengajak masyarakat untuk turut terlibat

Penulis: Tony Hermawan | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Tony Hermawan
Sucipto menunjukkan tempat mikrohidro buatannya. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Suara gemericik air Sungai Besuk Semut terdengar nyaring. Ibu-ibu yang sedang menunggu keringnya jemuran kapulaga di depan rumah, selonjoran dekat sungai.

Jalinan keakraban penduduk lereng Gunung Semeru, bisa tergambar ketika ibu-ibu itu memamerkan gigi merahnya karena mengunyah sirih pinang. Senyuman mereka semakin serasi dengan kondisi sungai yang nyaris tak ada sampah.

Sungai Besuk Semut berlokasi di Dusun Kajar Kuning, Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang.

Sungai tersebut, menjadi objek vital bagi kehidupan warga setempat. Bukan hanya pemenuhan akan kebutuhan air, melainkan juga listrik.

Ada teknologi mutakhir di sungai itu, berupa Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH).

Dalam banyak referensi ilmiah, mikrohidro ialah pembangkit listrik yang bahan dasarnya ialah arus sungai.

Permukiman di Dusun Kajar Kuning, selama 10 tahun terakhir selain teraliri listrik dari PLN, juga kebutuhan listriknya dipasok dari mikrohidro yang terbangun di Sungai Besuk Semut.

Awal Mikrohidro Ada di Dusun Kajar Kuning

Sekitar tahun 1991-an, rumah-rumah yang ada di Dusun Kajar Kuning bila malam tiba kondisinya gelap gulita.

Penerangan rumah di perkampungan itu, kebanyakan menggunakan petromaks atau lampu tempel (oblik) berbahan bakar dari minyak tanah.

Tak bisa dibayangkan ketika ada wanita hamil hendak melahirkan pada malam hari. Satu-satunya alat untuk menerobos gelap, hanya lampu petromaks.

Ada kisah menggelitik dari kondisi terisolir listrik, saat itu. Ketika itu, ada seorang pemuda setiap hari selalu menabung uang dari hasil kerja sebagai sopir truk angkutan pasir. Dia ingin ketika menikahi wanita pujaannya bisa menyewa electone.

Namun, pada akhirnya ketika menikah keinginannya tidak keturutan. Bukan karena tak ada uang, tapi listrik saat itu belum masuk. Pemain electone tunggal menolak permintaan dari lelaki itu, karena kebingungan harus mencolokkan listrik ke mana untuk menyalakan sound system.

Sebenarnya, saat itu banyak warga yang mengusahakan listrik sendiri dengan membuat kincir air. Rata-rata warga rela menjual sawah milik moyangnya demi menyokong pembuatan kincir air ukuran besar. Karena ada asumsi semakin besar ukuran kincir air yang dibuat, maka semakin besar daya listrik yang dihasilkan.

Sayangnya tidak demikian. Meskipun kincir air besar, tapi listrik hanya maksimal untuk empat lampu, lebih dari itu listrik padam (jeglek).

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved