Cek Kesehatan Kemenkes 2025 : Kisah Dewi Perawat Lulusan Unair Menjaga Nyawa di Ujung Maluku
Dewi Rahmawati telah menyandang gelar Magister Keperawatan dari Universitas Airlangga Surabaya Jawa Timur.
Penulis: Farid Mukarrom | Editor: Titis Jati Permata
Ringkasan Berita:
- Dewi Rahmawati, perawat Puskesmas Wamsisi di Buru Selatan, mengabdikan diri di wilayah terpencil dengan menempuh laut, hutan, dan tantangan budaya.
- Lulusan magister dengan beasiswa Kemenkes ini membangun kepercayaan warga dan menangani isu kusta, stigma, serta minimnya fasilitas.
- Ia berharap Program Cek Kesehatan Gratis 2025 membantu peningkatan layanan kesehatan di daerah 3T di tengah risiko penyakit akibat gaya hidup modern.
SURYA.CO.ID, SURABAYA - Di Puskesmas Wamsisi, Kecamatan Waesama, Kabupaten Buru Selatan, Provinsi Maluku, suara mesin perahu bercampur dengan deburan ombak menjadi irama sehari-hari Dewi Rahmawati.
Usianya baru menginjak awal tiga puluhan. Tetapi langkah pengabdiannya telah menempuh jarak yang jauh menyusuri hutan, menembus angin laut, dan merayap di lorong-lorong kampung yang terpisah sungai dan tebing.
Dewi bukan perawat biasa.
Ia telah menyandang gelar Magister Keperawatan dari Universitas Airlangga Surabaya Jawa Timur.
Gelar itu diraih lewat dukungan beasiswa resmi Kementerian Kesehatan. Sebuah kesempatan langka yang diberikan hanya kepada tenaga medis dengan rekam jejak pengabdian luar biasa.
Ketika mendaftar beasiswa, Dewi masih bertugas di salah satu Puskesmas di Maluku. Ia harus bersaing dengan ratusan pemohon, mengikuti seleksi administrasi, tes akademik, dan wawancara yang dilakukan secara langsung oleh tim Kemenkes.
Namun saat ditanya apa motivasinya, ia menjawab dengan mata yang nyaris berkaca.
“Saya mau pulang ke Buru Selatan. Saya mau bantu daerah saya sendiri," begitu katanya.
Ucapan itu sederhana, namun justru menggambarkan kerinduan mendalam untuk kembali berbakti pada tempat kelahirannya.
Beasiswa itu mengubah hidupnya. Membawanya belajar ke Surabaya. Mempertemukannya dengan ilmu baru, membuka jaringan dengan para dosen dan peneliti, dan memberinya perspektif luas tentang kesehatan masyarakat.
Namun di balik semua itu, Dewi menyadari bahwa ilmu yang ia genggam hanya punya makna ketika dibawa pulang ke tanah asalnya.
Kembali ke Maluku Usai Lulus Kuliah
Setelah lulus pada 2023, Dewi kembali ke Maluku dengan semangat penuh. Namun ia juga memahami bahwa Wamsisi bukan tempat yang mudah ditaklukkan.
Untuk mencapai Puskesmas, ia harus menempuh perjalanan laut selama dua hingga tiga hari. Kapal kayu kecil menjadi satu-satunya moda transportasi.
Baca juga: Menkes Budi Gunadi Sadikin Resmikan Layanan PET Scan dan Radioterapidi RSUP Kemenkes Surabaya
Laut Maluku yang indah bisa berubah menjadi sangat ganas. Ombak setinggi dada, angin kencang, dan langit gelap pekat sudah menjadi bagian dari perjalanan rutinnya.
Pernah suatu ketika speedboat yang ia tumpangi kehabisan bahan bakar di tengah laut. Tidak ada sinyal, tidak ada kapal lain yang lewat.
“Waktu itu saya pikir, mungkin itu akhir saya. Tapi saya ingat, saya belum selesai di sini,” ujar Dewi sambil tersenyum tipis mengingat momen itu.
Begitu tiba di daratan Waesama, perjuangannya tidak berhenti. Jalan rusak, licin, dan penuh batu membuat perjalanan darat menjadi mimpi buruk.
Nyaris tidak ada transportasi umum, sehingga untuk menjangkau desa terpencil, Dewi sering harus meminjam motor warga, naik rakit bambu menyusuri sungai, atau menumpang perahu kecil melewati arus deras.
“Di sini, perjalanan adalah bagian dari pekerjaan. Kita tidak bisa mengeluh,” kata Dewi.
3 Tahun Membangun Kepercayaan dengan Soa
Di daerah ini, budaya bukan sekadar hiasan, tetapi identitas yang mengatur segala hal termasuk kesehatan.
Pemimpin adat atau Soa memiliki pengaruh besar dalam keputusan masyarakat, mulai dari urusan pertanian, pernikahan, hingga pengobatan.
Dewi menyadari bahwa tanpa persetujuan Soa, tenaga kesehatan tidak akan dianggap. Karena itu, ia memilih pendekatan yang paling sulit namun paling efektif: membangun kepercayaan.
“Tidak bisa langsung masuk. Harus menunggu dulu. Menyaksikan dulu. Menegur dulu,” kenangnya.
Ia hadir di acara adat, ikut membantu ibu-ibu menyiapkan makanan untuk ritual, mengobrol sambil memetik daun pisang, dan sesekali membantu menyiapkan perahu untuk perjalanan warga.
Butuh waktu tiga tahun hingga para Soa benar-benar menganggapnya sebagai bagian dari komunitas.
Baca juga: RS Kemenkes Surabaya Kerja Sama dengan BPJS Kesehatan, Pasien Tak Perlu Khawatir Lagi
Perlahan, Dewi mulai diperbolehkan mengedukasi warga tentang imunisasi, vitamin A, dan pengobatan luka. Ketika Soa memberi izin, satu kampung akan ikut. Itu membuat program kesehatan berjalan lebih mudah.
Kusta, Pamali dan Babeto
Salah satu tantangan terbesar Dewi adalah tingginya kasus kusta.
Stigma mengenai penyakit ini masih sangat kuat. Banyak warga percaya bahwa kusta adalah kutukan akibat kesalahan leluhur.
Penyembuhan dipercaya hanya bisa dilakukan dengan ritual Babeto, yakni duduk di bawah pohon besar selama berhari-hari hingga “roh penyakit” pergi.
“Mereka tidak makan, tidak minum, hanya duduk. Saya lihat sendiri,” ungkapnya.
Dewi tidak menghakimi. Sebaliknya, ia memadukan pendekatan medis dengan menghormati nilai budaya. Ia membiarkan warga melakukan ritual, lalu perlahan memperkenalkan obat-obatan.
Baca juga: RS Kemenkes Surabaya Gunakan Teknologi Nuklir untuk Deteksi Kanker
Ia menunjukkan cara merawat luka, cara minum obat rutin, dan menjelaskan dengan bahasa sederhana apa itu bakteri penyebab kusta.
Hasilnya, perlahan, stigma mulai mencair. Beberapa warga mulai datang ke Puskesmas untuk berobat.
Bahkan beberapa mantan pasien kusta kini menjadi relawan lokal yang membantu Dewi menyampaikan edukasi.
Penghasilan Terbatas
Walau sudah belasan tahun mengabdi, kehidupan Dewi jauh dari kata mapan.
Harga kebutuhan pokok di Waesama sangat mahal. Tidak ada tunjangan khusus untuk tenaga kesehatan yang bertugas di daerah terpencil dalam lingkup Buru Selatan.
Untuk menambal kebutuhan, Dewi berjualan makanan ringan, aneka kerupuk, dan kadang menjadi distributor obat ke desa-desa yang tidak memiliki apotek.
“Kalau tidak begitu, saya tidak bisa bertahan. Tapi ya sudah, saya jalani,” ujarnya.
Ketika malam tiba dan Puskesmas sunyi, Dewi kerap duduk di teras sambil memandang langit Waesama yang gelap tanpa lampu jalan.
Di situ, ia merenungkan betapa banyak nyawa yang bergantung pada tangan-tangannya. Namun ia juga berharap negara hadir lebih nyata.
Dewi dan Masa Depan Kesehatan Wamsisi
Meski banyak tantangan, Dewi percaya perubahan sedang terjadi meski pelan. Anak-anak balita kini sudah rutin datang untuk ditimbang.
Para ibu hamil lebih berani memeriksakan kandungannya. Remaja sekolah lebih sadar tentang pentingnya kebersihan dan nutrisi.
“Kalau program seperti ini terus berjalan, saya yakin angka penyakit bisa turun,” katanya.
Namun ia juga mengingatkan bahwa keberhasilan program tidak hanya ditentukan oleh kebijakan, tetapi juga oleh tenaga kesehatan di lapangan.
“Kami ini ujung tombak. Kalau ujung tombaknya lelah atau hilang motivasi, program tidak akan berjalan,” ucapnya lirih.
Di tengah rimba dan ombak, Dewi terus berjalan. Ia mungkin tidak dikenal media nasional.
Namanya tidak muncul di podium penghargaan. Namun bagi masyarakat Wamsisi, ia adalah cahaya kecil yang tidak pernah padam.
Dan bagi negara, perjuangan Dewi mengingatkan satu hal penting bahwa keberhasilan Program Cek Kesehatan Kemenkes 2025 tidak hanya terukur dalam angka dan laporan, tetapi dalam senyum warga yang merasa sehat, aman, dan diperhatikan bahkan di tempat paling terpencil di Nusantara.
Cek Kesehatan Kemenkes 2025 : Harapan Baru di Tengah Keterpencilan
Saat ini Kementerian Kesehatan meluncurkan Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) 2025 pada 10 Februari 2025.
Dewi merasa seperti mendapatkan angin segar.
Program yang didanai dengan Rp 3,4 triliun dari APBN ini menjadi peluang besar untuk memperbaiki kualitas hidup warga daerah 3T.
Tiga skema besar yang dijalankan adalah pertama, cek kesehatan gratis saat ulang tahun. Yakni pemeriksaan pada hari ulang tahun warga, untuk usia 0–6 tahun dan 18 tahun ke atas.
Kemudian ada skema cek kesehatan gratis via sekolah. Program ini dimulai sejak Agustus 2025, menyasar 53 juta siswa di 280 ribu sekolah.
Ketiga, ada cek kesehatan gratis khusus ibu hamil, balita, dan masyarakat terpencil melalui Puskesmas, Posyandu, dan layanan keliling.
Hingga pertengahan tahun, lebih dari 8 juta warga telah merasakan manfaatnya.
Bahkan, aturan turunan terbaru sejak 1 Maret 2025 membuat program semakin inklusif: warga tidak harus menunggu ulang tahun.
Mereka bisa datang kapan saja ke fasilitas kesehatan terdekat ataupun mendaftar lewat SATUSEHAT Mobile dan WhatsApp.
Gaya Hidup Modern Kian Berisiko
Perubahan gaya hidup masyarakat modern terus menjadi ancaman kesehatan yang serius. Pola makan serba cepat, aktivitas fisik yang minim, hingga kebiasaan duduk berjam-jam tanpa jeda kini menjadi bagian dari keseharian, terutama di perkotaan.
Di tengah kondisi ini, program Cek Kesehatan Gratis dari Kementerian Kesehatan hadir sebagai upaya penting untuk mendorong deteksi dini dan mencegah penyakit kronis berkembang tanpa disadari.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Jawa Timur, Dr. Sri Widati, S.Sos., M.Si., menegaskan bahwa perubahan gaya hidup telah menggeser pola penyakit di Indonesia.
Penyakit kronis seperti diabetes, TBC, hingga HIV/AIDS kini tidak lagi hanya menyerang kelompok usia lanjut, tetapi juga semakin banyak ditemukan pada anak muda di bawah usia 30 tahun.
“Ini alarm yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Menurut Dr. Widati, pola makan adalah faktor pemicu terbesar. Makanan cepat saji, minuman tinggi gula, serta konsumsi karbohidrat berlebih menjadi kebiasaan yang sulit dilepaskan.
“Banyak orang memilih makanan online karena praktis, tapi mereka tidak memperhatikan nilai gizinya,” jelasnya.
Ditambah lagi, gaya hidup serba duduk membuat tubuh kehilangan kesempatan untuk bergerak, sehingga risiko penyakit metabolik meningkat drastis.
Dia mencontohkan, jika dulu diabetes tipe 2 didominasi penderita usia 50 tahun ke atas, kini pasien berusia 25–30 tahun semakin sering ditemukan.
Dalam situasi seperti ini, cek kesehatan gratis menjadi pintu masuk paling efektif untuk mencegah penyakit sejak tahap awal.
Pemeriksaan sederhana seperti cek gula darah, tensi, kolesterol, hingga konseling gizi dapat mengungkap potensi masalah sebelum terlambat.
Dr. Widati juga menyoroti keberadaan program Prolanis dari BPJS Kesehatan sebagai salah satu bentuk pencegahan dini yang sudah berjalan.
Program Pengelolaan Penyakit Kronis ini memberikan edukasi, pendampingan medis, pemeriksaan berkala, aktivitas fisik terstruktur, hingga kunjungan rumah bagi peserta
Menurutnya, Prolanis bukan hanya program pengobatan, tetapi fondasi untuk membangun budaya hidup sehat yang berkelanjutan.
Tantangan besar lainnya adalah menjangkau kelompok usia produktif terutama generasi sandwich yang harus memenuhi kebutuhan orang tua dan anak sekaligus.
Kelompok ini cenderung mengorbankan kesehatan diri sendiri karena beban finansial dan waktu.
Widati menekankan perlunya pendekatan lintas generasi: posyandu lansia, pengajian, dan pertemuan komunitas efektif untuk kelompok usia tua, sementara media sosial, konten video pendek, dan kampanye digital lebih ampuh menyasar anak muda.
Meski tantangannya tidak ringan, Widati tetap optimistis. Menurutnya, perubahan gaya hidup bisa terjadi jika edukasi dilakukan secara konsisten dan komunitas diberi peran penting.
“Kesehatan bukan sekadar tidak sakit. Kesehatan adalah bagaimana kita menjaga tubuh agar tetap produktif, aktif, dan hidup dengan kualitas yang baik,” pungkasnya.
BACA BERITA SURYA.CO.ID LAINNYA DI GOOGLE NEWS
SURYA.co.id
Multiangle
Meaningful
Maluku
Universitas Airlangga
Magister Keperawatan
Dewi Rahmawati
Kabupaten Buru Selatan
pemeriksaan kesehatan
Cek Kesehatan Kemenkes 2025
Surabaya
Kementerian Kesehatan
| 14 Poin Utama KUHAP Baru Disahkan DPR RI, Termasuk Hak Tersangka hingga Kontrol Aparat |
|
|---|
| KAI Daop 8 Surabaya Temukan 1.839 Barang Pelanggan Lewat Layanan Lost and Found Senilai Rp 1,26 M |
|
|---|
| Eri Cahyadi dan Emil Dardak Kawal Sengketa Tanah Eigendom Warga Surabaya di DPR RI |
|
|---|
| Mitigasi Hidrometeorologi di Desa Bendoroto Trenggalek, Tanam 25.000 Rumput Vetiver |
|
|---|
| Jelang Laga Persebaya vs Arema FC, Arief Catur Termotivasi Usai Cetak Gol Perdana |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/surabaya/foto/bank/originals/SOSIALISASI-Wa-Ode-Dewi-Hidayati-di-Waesama-Kabupaten-Buru-Selatan-Provinsi-Maluku.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.