Polemik Kenaikan PBB-P2 di Jombang, Revisi Perda Disebut Jadi Jalan Keluar

Ketua Bapemperda DPRD Jombang angkat bicara terkait keresahan masyarakat soal naiknya PBB-P2 di Kabupaten Jombang, Jatim.

|
Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Anggit Puji Widodo
REVISI PERDA PAJAK - Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Jombang, Kartiyono saat dikonfirmasi awak media di Gedung DPRD Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Senin (25/8/2025). Keluhan warga soal kenaikan pajak, sebenarnya sudah banyak diterima DPRD sejak 2024 lalu. 

Bahkan, jika revisi berjalan, potensi kehilangan pendapatan bisa mencapai Rp 15 miliar pada 2026. 

“Namun, langkah ini tetap diambil demi meringankan beban masyarakat,” ucap pada Sabtu (23/8/2025).

Untuk menutup potensi kekurangan tersebut, Bupati Warsubi menaruh harapan pada kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 

Ia mencontohkan Perkebunan Panglungan, yang kini berangsur sehat setelah lama merugi. 

Perusahaan itu bahkan mulai menyumbang kas hingga ratusan juta rupiah. 

Selain perkebunan, Bank Jombang, PDAM serta Aneka Usaha Daerah diharapkan ikut memperkuat pendapatan daerah.

Di sisi lain, Ketua DPRD Jombang, Hadi Atmaji, menekankan bahwa kenaikan PBB yang dirasakan masyarakat bukanlah hasil kebijakan pemerintahan saat ini. 

Ia menjelaskan, lonjakan tersebut bermula pada 2022, ketika Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan lewat metode appraisal berbasis Google dengan tarif tunggal per zona.

“Kondisi itu membuat lahan di pinggir jalan raya dengan lokasi belakang mendapat NJOP sama. Akibatnya ada lonjakan signifikan, misalnya dari Rp 250 ribu menjadi Rp 1,4 juta per meter persegi,” ungkap Hadi.

Ia juga meluruskan, bahwa kasus viral pembayaran pajak dengan uang koin terjadi pada pajak tahun 2024, bukan 2025 seperti yang banyak dikira publik. 

Hadi menegaskan, Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Jombang, saat itu tetap memberi kesempatan warga untuk mengajukan keberatan maupun klarifikasi ke Bapenda.

Sebagai solusi ke depan, Pemkab bersama DPRD Tuban telah menyepakati pemberlakuan empat tarif baru PBB-P2 mulai 2026, yakni antara 0,1 persen hingga 0,2 persen, dengan penyesuaian sesuai harga pasar.

“Masyarakat yang merasa terbebani, dipersilakan langsung berkonsultasi dengan Bapenda,” tutur  Hadi.

Meski kebijakan baru berisiko mengurangi PAD, baik eksekutif maupun legislatif menegaskan bahwa kepentingan warga tetap menjadi prioritas. 

“Kami ingin keadilan lebih terasa, agar pajak tidak lagi menjadi beban yang memberatkan,” pungkas Hadi. 

Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved