Beberapa bulan berlatih, Eifie perdana ikut kompetisi.
Ia mendapat bantuan Rp200 ribu untuk membeli sepatu paku.
Namun, harga di toko ternyata jauh lebih mahal. Ayahnya kala itu hanya memiliki tabungan Rp150 ribu, sementara sang ibu membawa Rp19 ribu.
“Tunggu di sini dulu,” kata ayahnya sebelum pergi mencari tambahan.
Baca juga: Pencairan BSU 2025 di Kantor Pos Berakhir 6 Agustus, Cek di Pospay dan Segera Ambil agar Tak Hangus
Entah bagaimana caranya, beliau kembali membawa sisa uang yang dibutuhkan.
Sepatu paku pertama Eifie akhirnya terbeli.
Hasilnya tak sia-sia.
Di kompetisi perdananya, Eifie meraih Juara 2 Kejuaraan Walikota Cup Surabaya se-Jawa Timur untuk nomor lari 200 meter.
Sejak saat itu, ia semakin rajin berlatih, tiga kali seminggu di sela-sela kegiatan belajar.
Dari lomba antarpelajar tingkat daerah hingga kejuaraan nasional, ia terus berlari.
Tak hanya di lintasan 100, 200, atau 400 meter, ia juga menjajal lompat jauh dan tolak peluru.
Meski begitu, perjalanan tidak selalu mulus.
Eifie mengaku, tantangan terberat bukan hanya lawan tanding, tetapi dirinya sendiri.
Ia kerap merasa gugup jelang lomba.
Meski sudah pemanasan, tubuhnya bisa tiba-tiba kaku saat start. Pernah, di kejuaraan provinsi, ia kehilangan fokus dan gagal mendengar aba-aba.