Kisah Mbah Misringah Berjualan Asam Jawa Agar Bisa Berangkat Haji, Jadi CJH Tertua di Ponorogo

perempuan yang memiliki 17 cicit ini memiliki perjuangan panjang untuk bisa menunaikan rukun islam kelima ini. 

Penulis: Pramita Kusumaningrum | Editor: Deddy Humana
surya/Pramita Kusumaningrum (Pramita)
JAMAAH HAJI TERTUA - Haji tertua di Ponorogo, Mbah Misringah (90) dan anaknya, Mujiati menunjukkan asem Jawa yang dijual di rumahnya, Jalan Raya Ponorogo-Wonogiri, Desa Gandukepuh, Kecamatan Sukorejo, Selasa (6/5/2025). 


SURYA.CO.ID, PONOROGO - Niat menjadi modal utama untuk melaksanakan ibadah haji, dan niatan kuat itu pula yang memberi jalan untuk Mbah Misringah bisa menunaikan rukun Islam kelima itu. 

Bahkan perempuan berusia 90 tahun itu menjadi calon jamaah haji (CJH) tertua Ponorogo pada musim haji tahun ini. Ia malah tetap bersemangat di usia senjanya untuk memenuhi panggilan ke Tanah Suci pada Mei 2025.

SURYA pun mengunjungi rumah Mbah Misringah di Jalan Raya Ponorogo-Wonogiri, Desa Gandukepuh, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, Selasa (6/5/3025), di mana ia tinggal bersama anaknya.

Kendati sehari-hari menggunakan tongkat, Mbah Misringah mengaku siap menjalankan ibadah haji. Rupanya perempuan yang memiliki 17 cicit ini memiliki perjuangan panjang untuk bisa menunaikan rukun islam kelima ini. 

Ia bekerja apapun yang bisa dilakukan. Misalnya bekerja serabutan, berjualan beras, kedelai. Sampai masa tuanya, juga masih bekerja dengan cara memungut asam Jawa di sebelah rumahnya untuk kemudian dijual.

Ceceran buah asam Jawa yang berjatuhan di halaman rumahnya itu, mungkin jalan dari Allah untuk memudahkan Mbah Misringah memenuhi panggilan haji. 

Sitik-sitik tak sisihne, tak cantolne barang atos (sedikit-sedikit saya sisihkan, tak belikan emas),” ungkap Mbah Misringah kepada SURYA di rumahnya, Selasa (5/5/2025)

Anak Mbah Misringah, Mujiati (49) menjelaskan, ibunya tidak hanya bekerja keras di masa muda. Namun sampai menjelang berangkat haji pun masih bekerja.

“Setelah dipanggil untuk melakukan pelunasan, sudah saya minta stop jangan ke tegalan. Karena biasanya bubuti suket (cabut rumput) dan ngeluru (memungut) asam Jawa,” ujar Mujiati.

Mujiati menyebutkan bahwa memang sejak masa muda, ibunya selalu menyisihkan uang hasil kerjanya untuk ditabung. Tidak asal menabung, uang yang terkumpul selalu ia belikan emas perhiasan.

“Setelah bapak meninggal dunia, semua dibagi. Lalu kami tanya apakah ibu mau naik haji, beliau bilang mau. Akhirnya ibu mau menjual emas perhiasannya,” tambahnya.

Menurutnya, emas perhiasan yang dijual bermacam-macam. Ada yang berupa cincin, bros berupa peniti dan lain-lain. Hasil menjual emas perhiasan itu untuk mendaftar haji tahun 2019.

“Dan tahun ini Alhamdulillah berangkat bersama saya. Doakan sehat selalu mulai berangkat sampai pulang nanti. Doakan ya,” pungkasnya. *****

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved