Berita Bojonegoro
Meratapi Ledre, Penganan Khas Bojonegoro Yang Mencoba Bertahan Hidup Saat Regenerasi Nyaris Meredup
Seperti para pembuat ledre lainnya, Nyonya Seger tidak menginginkan ledre punah dan hanya kelas menjadi mitos di Bojonegoro.
Penulis: Yusab Alfa Ziqin | Editor: Deddy Humana
SURYA.CO.ID, BOJONEGORO - Ledre merupakan penganan tradisional khas Bojonegoro yang kerap menjadi favorit para wisatawan. Itu di masa lalu, seiring keengganan generasi penerus yang memproduksinya maka Ledre pun terencam punah. Yang mengenaskan, kondisi para pelestari Ledre pun sekarang tidak baik-baik saja.
Sabtu (6/1/2024) sore yang temaram di simpang empat Kecamatan Kota Padangan, Kabupaten Bojonegoro yang begitu ramai, seperti mencerminkan suasana batin para pemilik empat toko ledre di Kota Cahaya itu. Padahal ada ratusan kendaraan dari Cepu, Ngawi, dan Bojonegoro berlalu lalangi simpang empat itu.
Dari ratusan pengendara yang melintas, tidak ada satu pun yang berhenti di depan toko-toko tersebut. Kondisi itu seperti dimaklumi Agus Ayub, salah satu pemilik toko Ledre di sekitar simpang empat Kota Padangan.
Agus mengakui, awal 2024 ini memang bukan 'hari baik' bagi penjualan ledre. Beberapa hari terakhir, jajanan khas Bojonegoro yang tercipta sejak zaman penjajahan Belanda itu sedang sepi peminat.
"Ledre ramai peminat ketika momen liburan saja," ujar pria yang merupakan salah satu penjual ledre terbesar di Bojonegoro itu saat ditemui SURYA.
Di luar momen liburan, penjualan ledre tidak bisa diharapkan. Kecuali selama liburan Natal 2023 dan tahun baru 2024 lalu, Agus menyebut penjualan ledre masih cukup melegakan. Karena saat itu banyak kendaraan mampir ke tokonya dan sejawatnya.
Kebanyakan mereka adalah orang luar Bojonegoro yang baru liburan atau pulang ke kampung halaman. "Mereka rata-rata dari Semarang, Surabaya, Lamongan, Ngawi, dan Madiun," terang pria yang rumahnya selemparan batu dari simpang empat Kota Padangan tersebut.
Terkait penjualan ledre yang kurang optimal atau hanya ramai di saat tertentu saja ini, pihaknya bukannya diam. Kata Agus, ia telah melakukan ragam kreasi dan inovasi terhadap ledre. "Salah satunya, ledre yang saya jajakan sudah memiliki beragam varian rasa. Tidak sekadar rasa pisang raja saja sebagaimana umumnya," terangnya.
Agus yang sudah berkarier di dunia perledrean sejak 1989 itu mengutarakan, pihaknya telah menelurkan tujuh varian rasa. Mulai keju, coklat, nangka, melon, durian, nanas, hingga stroberi. Ledre dengan varian rasa ini dinamai ledre plus.
"Rasa Ledre kami sudah bermacam. Namun bahan dasar dan tentu rasa dasarnya adalah pisang raja," imbuh pria berusia 59 tahun ini.
Bahkan selama tujuh bulan terakhir, Agus, pihaknya juga telah mengedarkan Ledre Premium. Ledre jenis ini merupakan kualitas paling wahid di antara semua varian yang dijualnya. "Ledre premium benar-benar pilihan. Kami ambil dari Ledre terbaik di antara yang terbaik," ungkapnya.
Namun, Agus mengakui, kendati pihaknya telah melakukan pengembangan produk, tetap belum bisa mendongkrak penjualan. Varian ledre dijualnya seharga Rp 16.000 sampai Rp 50.000 itu tetap kurang diminati. Hanya ramai ketika liburan saja.
Strategi penjualan yang kurang inovatif juga menjadi penyebab jangkauan pasar ledre milik Agus terbatas. Bisa dimaklumi, Agus mengakui masih berjualan secara konvensional.
Selama ini ledre hanya dipajang di tokonya atau diedarkan di toko-toko kecil sekitarnya dan sejumlah toko oleh-oleh serta swalayan di kawasan Kota Bojonegoro. "Ledre kami juga beredar di sejumlah toko oleh-oleh di Kota Cepu, Blora, Jawa Tengah serta Kota Babat, Lamongan," imbuhnya.
Metode penjualan online yang sebenarnya bisa membuka mata dunia pada ledre Bojonegoro, tidak dilakukannya. Agus mengaku kecil kemungkinan pihaknya akan melakukan penjualan via online karena ingin memberi ruang bagi para reseller ledre yang kulakan di tokonya. "Kami pilih penjualan biasa (offline) saja. Yang penjualan online itu bagian reseller," tuturnya.
Satu-satunya terobosan penjualan ledre yang dilakukan Agus hanya melayani pesanan via telepon. Melalui telepon, pembeli bisa memesan ledre sewaktu-waktu dan akan dikirim via jasa pengiriman logistik usai melakukan pembayaran.
Agus juga menilai tidak semua pihak berpartisipasi dalam pelestarian dan promosi ledre itu. Ia mencontohkan ada dua perusahaan minimarket berjaringan di Bojonegoro yang enggan membantu memasarkan.
"Saya seperti dilempar ke sana-sini. Disuruh ke sana-sini agar ledre bisa masuk mini marketnya. Sampai akhirnya saya simpulkan, dua jaringan minimarket itu tak mau menjajakan ledre di etalasenya," ungkapnya.
Agus berharap, Pemkab Bojonegoro atau pihak manapun memberi tindak lanjut atas penolakan yang dilakukan dua jaringan besar minimarket itu. "Tidak etis, dua perusahaan besar itu menjalankan bisnisnya dan mencari keuntungan di Bojonegoro. Namun, tak mau menjual jajanan khas Bojonegoro," sesalnya.
Agus optimistis jika ledre dapat dijajakan di etalase dua perusahaan besar itu, maka penjualan dapat terkerek. Sebab dua minimarket itu memiliki ratusan gerai di Bojonegoro. "Semakin banyak pihak yang menjajakan maka peluang laku semakin tinggi. Kan begitu hukum ekonominya," imbuh ayah tiga anak ini.
Agus tidak membeberkan berapa omzetnya setiap bulan, karena penjualan jajanan ini juga tidak menentu. Diungkapkan Agus, ada puluhan produsen ledre tradisional yang tersebardi Kecamatan Padangan, Kasiman, Purwosari, Tambakrejo, hingga Gayam, Kabupaten Bojonegoro.
"Puluhan produsen ledre yang saat ini kebanyakan sudah berusia tua, tetapi mereka bisa memproduksi lebih banyak dan menghasilkan uang yang cukup dari setiap produksinya," tandasnya.
Dan membahas ledre, tidak bisa dilepaskan dari nama Nyonya Seger, perempuan tua yang tinggal di Dusun Kalangan, Desa/Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro. Nyonya Seger merupakan keturunan salah satu generasi pertama pembuat ledre saat masa penjajahan Jepang tahun 1942-1945.
Seperti halnya Agus, Nyonya Seger yang merupakan legenda ledre ini mengatakan, pihaknya tak begitu muluk-muluk dalam menjual cemilan atau jajanan berbahan dasar pisang raja tersebut.
"Saya menjual ledre melalui pesanan telepon saja. Kalau ada yang pesan, saya layani. Kalau tidak ada yang pesan, ya tidak membuat Ledre," ujar perempuan kelahiran 1948 itu saat ditemui SURYA.
Kendati hanya menjual ledre via telepon, ia mengaku masih bisa menjual cukup banyak. Biasanya pesanan ledre datang dari Semarang, Jakarta, Madiun, dan Surabaya. "Mereka tahu ledre produksi saya dari getok tular dan mungkin juga dari internet. Sebab banyak mahasiswa dan wartawan yang ke sini lalu mengeksposenya," terangnya.
Berapa dus ledre dapat dijualnya per bulan, perempuan berdarah Tionghoa yang merupakan putri penemu ledre yakni Min Tjie ini tidak menjelaskan. Yang pasti ledre dijual dengan harga dari Rp 30.000 sampai Rp 70.000 per dus dan itu cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Yang berbeda dengan Agus, Nyonya Seger malah tidak melakukan inovasi dan terobosan apa-apa. Ia hanya menjamin, ledre yang dijualnya saat ini masih asli menggunakan resep Min Tjie, mendiang ibunya.
"Sampai hari ini ledre saya dibuat dengan resep asli dari ibu yang dipakai sejak masa penjajahan Jepang tahun 1940-an silam," tutur perempuan berusia 75 tahun tersebut.
Wanita dua anak ini melanjutkan, pengembangan hanya dilakukan pada pengemasan saja. Jika dulu dikemas dengan kertas koran lalu kaleng bekas Khong Guan, sekarang ledre dikemas menggunakan dus. "Dus ini membuat tampilan lebih bagus. Dikirim ke pembeli di luar kota juga lebih pantas," imbuh wanita bernama asli Eka Darmayanti itu.
Terkait keaslian rasa ledre, ia mengaku tidak ragu karena para pembuat ledre nya yang tersebar di Kecamatan Padangan, Purwosari dan Kasiman, selalu berpegang pada resep dari Min Tjie.
"Selain itu setiap kali ledre disetor, saya mengecek betul kualitas rasanya. Kalau tidak sesuai resep Min Tjie ibu saya, saya tidak mau terima ledre yang disetor itu," terangnya.
Saat ini yang menjadi masalah adalah regenerasi pembuat ledre. Setahu Nyonya Seger, seluruh pembuat ledre saat ini merupakan para perempuan tua dan tidak ada yang muda. "Kalau pembuat ledre yang sudah tua-tua ini wafat, entah bagaimana nasib ledre ke depan," tuturnya.
Seperti para pembuat ledre lainnya, Nyonya Seger tidak menginginkan ledre punah dan hanya kelas menjadi mitos di Bojonegoro. Ia pun meminta Pemkab Bojonegoro turut berupaya agar ada kurikulum di sekolah yang memberi pelajaran memproduksi ledre pada generasi muda.
"Kalau ledre sampai hilang dari Bojonegoro, itu kan eman (sayang, Red) sekali," imbuh wanita yang menyumbang pikiran dalam penetapan ledre sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Kabupaten Bojonegoro pada 2021 ini.
Sementara salah satu pembuat ledre yakni Isnariati mengatakan, saat ini pembuat penganan itu sudah berusia tua. Isnariati juga tidak mengerti mengapa generasi muda jarang atau bahkan tidak ada yang tertarik membuat jajanan mirip kue semprong ini.
Dari cara pembuatan, terangnya, sebenarnya tidak sulit. Hanya perlu mengadon tepung tapioka, air, gula, dan pisang raja yang sudah dilumatkan lalu meratakan seluruh adonan itu di wajan.
"Jika adonan sudah kecoklatan, bisa digulung dan jadilah Ledre," imbuh perempuan tinggal di Desa/Kecamatan Padangan, dan sudah membuat Ledre selama 27 tahun itu.
Isnariati merupakan salah satu dari sedikit keturunan pembuat ledre. Karena ibunya juga berguru kepada Min Tjie atau ibu dari Nyonya Seger. Ia menuturkan, dalam sekali sesi produksi ia bisa menghasilkan 10 kantong berisi 10 ledre. "Itu pembuatan dari pagi sampai sore, masih diselingi dengan pekerjaan rumah tentunya," imbuhnya.
Omzet juga masih menjadi rahasia. Isnariati tidak mengemukakan, tetapi mengaku dari membuat Ledre ia bisa menyekolahkan anak-anaknya.
Bagi pembuat Ledre lainnya, Umi (46), yang membuat ledre begitu istimewa sebenarnya bukan prosesnya. Tetapi lebih pada suasana hati pembuatnya. "Jika kondisi hati sedang tidak baik, ledre pasti gagal terbuat. Meratakan adonan di wajan dan menggulung Ledre, itu butuh perasaan," tutur Umi, seperti mewakili para pelesari ledre yang saat ini suasana hatinya sedang galau. ****
ledre pisang raja
penganan Ledre khas Bojonegoro
Bojonegoro Kota Ledre
makanan khas Ledre bertahan di tengah zaman
pembuat Ledre makin tua
tidak ada generasi muda membuat Ledre
ledre terancam punah
| Pengadilan Agama: Hampir Seribu Rumah Tangga di Bojonegoro Jatim Bubar Akibat Judi Online |
|
|---|
| Korupsi Proyek Rp 1,2 Miliar, 4 Kades di Bojonegoro Dituntut Denda Rp 200 Juta dan Penjara 5 Tahun |
|
|---|
| Dugaan Korupsi Rp 1,4 M Dari 2 Proyek Jalan, Pejabat Pemda dan Rekanan Diperiksa Kejari Bojonegoro |
|
|---|
| BEF dan Diare Ancam Sapi di Masa Pancaroba, Disnakkan Bojonegoro Imbau Peternak Waspada Pancaroba |
|
|---|
| Polres Bojonegoro Ringkus 20 Pelaku Judi Online |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/surabaya/foto/bank/originals/wisata-Ledre-khas-Bojonegoro.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.