Eksklusif Berebut Ranjang Pasien
News Analysis : Perbaiki Sistem dan Standarkan RS
Setelah BPJS berlaku, antrean semakin parah. Jumlah peserta sangat besar. Sebab, peserta Jamkesmas dan Jamkesda dialihkan ke sini.
Tidak adanya standardisasi pelayanan kesehatan nasional ini implikasinya juga merembet ke tenaga medis.
Bayangkan, saya pernah mendapat keluhan dari seorang dokter spesialis anak di Jakarta yang hanya diberi insentif Rp 100 per pasien. Di rumah sakit lain, mungkin jumlahnya juga jauh dari kata layak.
Saya mendengar ada yang Rp 3.000 saja. Kami dokter memang tidak ingin dicap sebagai mata duitan.
Tetapi tolong, kalau menuntut kami idealis demi kemanusiaan, jangan kemudian menghargai upaya kami dengan Rp 100.
Lalu, bagaimana dengan dokter yang ada di pelosok kabupaten? Selama ini, tidak ada standar nilai layanan.
Seharusnya, pengelolaan rumah sakit dan BPJS berpedoman pada paradigma commercial charity.
Mereka harus menghitung detail berapa biaya operasional dan produksi. Berapa kebutuhan untuk mengupah tenaga medisnya.
Semuanya harus duduk bersama. Bila tidak, kondisinya seperti sekarang ini.
Masalah lainnya dari BPJS ini menyangkut kualitas layanan. Peserta yang sebelumnya sudah terdaftar program jaminan kesehatan lain, ada yang justru mengalami penuruan fasilitas yang diterima.
Peserta yang dulu ikut Askes (Asuransi Kesehatan) misalnya, terjadi downgrade layanan.
Dulu sebelum dilebur ke BPJS, peserta Askes dan keluarganya mendapatkan layanan khusus.
Mereka punya loket khusus sehingga tidak berjubel dengan peserta Jamkesmas dan Jamkesda.
Sekarang, mereka bergabung dalam satu antrean panjang. Peserta Jamkesmas menjadi peserta BPJS golongan PBI. Mereka harus antre beribu-ribu orang. (idl)
Baca selengkapnya di Harian Surya edisi besok
LIKE Facebook Surya - http://facebook.com/SURYAonline
FOLLOW Twitter Surya - http://twitter.com/portalSURYA