Polemik Pakaian Dewan

Penyeragaman tak selamanya baik, apalagi di ranah kelembagaan wakil rakyat. Mengacu kata-kata bijak, kehormatan diri terletak pada kata-kata dan kehormatan raga terletak pada pakaian. PAKAIAN adalah wujud citra diri manusia sekaligus penjembatan makna antara kulit manusia dengan dunia luar. Melalui pakaian, orang lain bisa memberikan kesan, bagaimanakah sejatinya orang yang mengenakan pakaian itu. Pakaian membedakan tegas status kekuasaan, hirarki dan gaya hidup. Namun, melalui pakaian pula, pikiran kita dikonstruksi dalam hegemoni dan diskriminasi selama berpuluh-puluh tahun. Konteks hakiki pakaian itulah yang tampaknya kurang bisa dipahami anggota dewan (DPRD) saat ini. Polemik besaran anggaran pakaian seragam dewan beserta atributnya di beberapa daerah. Untuk paket lima stel pakaian seragam dewan, terdiri dari satu stel Pakaian Sipil Resmi (PSR), dua stel Pakaian Sipil Harian (PSH), satu stel Pakaian Dinas Harian (PDH) dan satu stel Pakaian Seragam Lengkap (PSL), dewan kabupaten/kota/provinsi mematok angaran berkisar Rp 121 juta (DPRD Garut) hingga Rp 275 juta (DPRD Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara). Paket itu termasuk aksesori pemanis yang turut diseragamkan, seperti pin dasi bertabur emas seharga Rp 5 juta per helai atau pin simbol daerah berbahan emas seberat 5 gram s/d 420 gram (DPRD Sulawesi Barat). Pengadaan seragam dewan memang divariasikan melalui beragam cara, seperti dengan jalan pembagian kain berkualitas terbaik di Kota Surabaya, yang dibanderol Rp 700.000 untuk kain ukuran 3,5 meter plus ongkos jahit Rp 500.000 per anggota. Itupun masih dinyatakan membengkak. Besaran anggaran pakaian seragam dan atributnya cukup fantastis dan membuat rakyat mengelus dada. Apalagi, uangnya dialokasikan dari komponen belanja langsung APBD. Alih-alih, pengadaannya melalui proses tender dan lelang, tapi tetap saja menyisakan kisah nepotisme dan kolusi. Di beberapa daerah, pengadaan pakaian seragam dewan beserta atributnya, nilainya di bawah Rp 50 juta, sehingga aturannya hanya menyertakan penunjukan langsung yang justru sarat kolusi dan nepotisme. Kasus di Tanjungpinang, Riau, pengadaan pin dewan dianggap menyalahi spesifikasi kadar karat pin emas, akhirnya kasus ini ke meja hijau dan menyeret keterlibatan salah satu oknum dewan. Ironisnya, saat polisi berusaha menyita pin-pin emas sebagai barang bukti, sebagian anggota dewan menolak menyerahkan dengan dalih, pengaturan keberadaan pin didasarkan putusan paripurna dewan,karena pin menyangkut simbol daerah yang harus dihormati, sehingga aparat penegak hukum diminta menghargai konstitusi. Kebanggaan Diri Pakaian dewan juga sarat kepentingan politis. Aktor-aktor daerah di luar dewan mempersoalkan balutan seragam mereka sebagai sarana menjatuhkan kredibilitas anggota dewan, terutama caleg incumbent, di bursa pemilu beberapa waktu lalu dengan isu strategis, penghamburan uang rakyat. Inilah gambaran nyata lembaga perwakilan rakyat kita. Perilaku mengukuhkan identitas kepentingan melalui simbol-simbol yang diwujudkan dalam balutan pakaian seragam berikut atribunya, masih menyertakan “mindset kebanggaan diri” yang terlampau berlebihan. Amatlah penting kiranya, apabila anggota dewan menelusuri kembali hakikat penyeragaman pakaian yang terbungkus aturan-aturan kelembagaan negara. Seperti dikemukakan Teruo Sekimoto (dalam Nordholt, Outward Appearances, 1997), munculnya pakaian seragam di negeri ini sejalan dengan politik penyeragaman era Orde Baru di awal tahun 1970-an. Kalau di halaman teras rumah penduduk desa dibangun gapura kiri angka 19 dan kanan 45 secara serempak, maka di kalangan pelajar sampai petinggi-petinggi pangreh praja (baca : pegawai negeri/birokrat) kelas atas hingga bawah semuanya diinstruksikan mengenakan pakaian seragam. Waktu itu, pakaian seragam para birokrat maupun anggota dewan adalah simbol eksklusif untuk memisahkan orang yang mengabdi pada negara dengan pekerja di luar sektor negara yang dibangun atas logika penjagaan tradisi seremonial kekuasaan sekaligus stabilisator pembangunan. Konsepsi kekuasaan Jawa juga mensyaratkan keseragaman ini sebagai sebuah bentuk harmoni sekaligus hegemoni di mana tercermin dari pakaian seragam abdi dalem yang siap mengabdi dan menjadi hamba dari sang penguasa. Pakaian seragam pada masa ini lebih diaktualisasikan sebagai tanda kedekatan si pemakai dengan penguasa atau negara di konteks yang lebih modern. Posisi anggota dewan kita yang jelas-jelas didukung heterogenitas konstituennya di saat pemilu, ternyata masih terlalu berbangga hati mempertahankan diri mengenakan pakaian seragam dari beban pembiayaan anggaran rakyat. Meski performa anggota dewan di negara-negara demokratis lainnya jarang, bahkan tanpa instruksi, mengenakan pakaian atau atribut yang serba seragam, namun fungsi hakiki mereka sebagai representasi kekuatan rakyat, justru lebih optimal dengan balutan pakaian apa adanya. Mengaca fenomena dicoretnya alokasi anggaran pakaian seragam dewan sebesar Rp 435 juta oleh Panitia Anggaran DPRD DKI Jakarta dan dialihkan untuk membiayai program pendidikan sekolah anak kurang mampu, agaknya bisa dijadikan teladan segenap anggota dewan kita. Begitulah fungsi dewan yang sebenarnya, menghendaki hadirnya perbedaan pendapat yang konstruktif demi membela kepentingan rakyat dan segenap konstituennya yang sangat plural. Mereka dipilih dan dipercaya sebagai perangkat negara yang harus diseragamkan, dan penyampai suara publik yang penuh warna keberagaman. Penyeragaman tak selamanya baik, apalagi di ranah kelembagaan wakil rakyat yang seharusnya sarat dinamika. Mengacu kata-kata bijak, kehormatan diri terletak pada kata-kata dan kehormatan raga terletak pada pakaian, sebaiknya benar-benar menjadi napas keseharian anggota dewan kita. Jangan sampai karena pakaian seragam yang mahal dan elegan serta kemilau atribut simbol daerah bertabur emas, pada akhirnya hanya menyertakan kasus-kasus KKN dan asusila yang justru menodai kelembagaan. Tedi Erviantono Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya Malang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved