Problem Kesehatan Perkotaan
Oryz Setiawan
Praktisi Kesehatan/Aktif di Persatuan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia
Banjir menjadi bencana di semua wilayah di Indonesia, termasuk Kota Surabaya. Memasuki awal tahun hingga triwulan ke depan diperkirakan curah hujan mengalami puncaknya sehingga fenomena banjir tidak dapat ditampik lagi.
Surabaya, wilayah yang secara topografis memiliki karakteristik dataran relatif rendah apalagi sebelah timur berbatasan langsung dengan garis pantai, berpotensi terjadinya banjir menjadi lebih besar. Banjir bukan masalah baru bagi Surabaya, bahkan sejak sepuluh tahun terakhir banjir menjadi langganan warga. Nyaris tak ada lagi wilayah kota yang bebas banjir dengan proporsi peningkatan wilayah banjir yang cenderung meluas meski dengan intensitas berbeda.
Kondisi tersebut diperparah dengan kepadatan penduduk, hunian, bangunan gedung, mal, dan sistem drainase yang belum optimal. Akibatnya jika hujan deras minimal satu jam, dipastikan akan banjir. Dampak banjir bukan hanya merugikan secara sosial, ekonomi, produktivitas maupun pembangunan secara umum. Mulai dari kemacetan yang berimplikasi pada peningkatan polusi udara, pemborosan bahan bakar, berkurangnya efektivitas pekerjaan hingga kerugian ekonomi, terhambatnya layanan jasa serta aktivitas bisnis dan perdagangan yang menjadi pusat dan urat nadi sistem perekonomian Surabaya.
Dari aspek kesehatan, banjir berpotensi penurunan kualitas lingkungan. Potensi pencemaran sumber air bersih, sanitasi lingkungan akibat sampah, risiko higinitas makanan dan minuman serta ancaman penyakit, tak bisa dipandang remeh karena bersifat kemassalan dan risiko penularan penyakit. Seperti demam berdarah, ISPA, penyakit kulit, diare, tipus, gastritis dan leptospirosis, penyakit yang disebarkan tikus melalui air kencingnya.
Saat banjir, tikus mencari habitat baru bergerak bersama penduduk. Tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis (yaitu leptospira) akan menularkan bibit penyakit pada manusia. Diare, penyakit yang banyak menyerang warga, dapat dimaklumi mengingat sebagian besar penderita adalah bayi dan anak-anak yang rentan terhadap serangan diare. Ancaman tersebut belum termasuk dampak lain seperti gigitan ular, tersengat arus listrik dan bahaya terperosok, tenggelam yang tak jarang terjadi waktu banjir, mesti diwaspadai. Kondisi lingkungan pasca banjir pun mengalami degradasi kualitas sehingga menyebabkan penularan dan mewabahnya penyakit secara luas.
Penyakit pada dasarnya hasil dari hubungan interaktif antara manusia dengan perilaku dan kebiasaannya dengan komponen lingkungan di pihak lain. Kondisi lingkungan menjadi salah satu faktor risiko utama penyebab problem kesehatan kekinian sehingga upaya meningkatkan daya tahan tubuh melalui pola makan sehat, menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan sebagai sebuah pola hidup bersih dan sehat yang berbasis pemberdayaan masyarakat menjadi keharusan dalam konteks manajemen ketatalaksanaan kesehatan.
Hal Biasa
Secara tak sadar, fenomena pertambahan penduduk yang signifikan berdampak pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan penggunaan teknologi yang mengacu pada pola pembangunan berbasis penggunaan sumber daya alam. Parahnya, ketergantungan terhadap akses kebutuhan primer masyarakat perkotaan sangat tinggi. Tak dapat dibayangkan bila bahan produk pangan yang disuplai daerah lain terhenti, tentu berpengaruh terhadap aspek pemenuhan kebutuhan dasar sebab karakteristik kota yang sangat konsumtif yang berbasis bisnis perdagangan dan sektor jasa.
Suplai sumber air minum, aneka sayuran, hingga kebutuhan non pangan amat bergantung pada wilayah lain. Dengan kata lain Surabaya hanya etalase penjualan yang bermain dalam ranah proses dan jalur distribusi hingga produk jadi dalam ranah industrial dan sisi bisnis. Karena itu bila terjadi banjir terutama di wilayah strategis perkotaan tentu berimplikasi langsung pada gangguan simpul ekonomi dan sendi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Surabaya.
Jika problem tersebut belum mampu teratasi, cepat atau lambat akan berdampak buruk bagi kehidupan kota termasuk dampak kesehatan yang menyertainya. Celakanya kondisi tersebut menjadi fenomena rutinitas dan kebiasaan wajar yang menghiasi ranah kehidupan publik perkotaan kekinian maupun kenantian. Padahal secara teoritis banjir dapat diminimalisir dengan pendekatan restrukturisasi tata kota dan aspek pemberdayaan masyarakat meski secara topografis Surabaya merupakan wilayah yang rentan banjir akibat kian terbatasnya resapan, saluran gorong-gorong yang tersumbat sampah serta karateristik dataran landai.
Berita Terkait