Luhut B Panjaitan di Vatikan: AI Bukan Monster, Harus Jadi Alat untuk Martabat dan Kesejahteraan

Luhut di Vatikan menegaskan AI bukan monster, harus jadi alat manusia. Pendidikan GASING jadi contoh nyata transformasi kemanusiaan.

Editor: Adrianus Adhi
Dok KBRI Vatikan
Ketua Dewan Ekonomi Indonesia Luhut Binsar Panjaitan dalam Konferensi Algorethics and Governance yang digelar di Saint John Paul II Auditorium, Pontifical Universita Urbaniana, Vatikan 

Ringkasan Berita:
  • Luhut menegaskan AI bukan monster, melainkan alat yang harus dikendalikan manusia demi martabat dan kesejahteraan.
  • Pendidikan jadi kunci, dengan metode GASING sebagai contoh nyata transformasi pembelajaran humanis di Indonesia.
  • Seruan global: AI harus berpusat pada manusia, melindungi budaya, inklusif, dan mengangkat kaum miskin serta rentan.

SURYA.co.id - Ketua Dewan Ekonomi Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan, menegaskan bahwa artificial intelligence (AI) bukanlah monster. Menurutnya, AI adalah alat yang harus dikendalikan manusia demi kesejahteraan bersama.

Pernyataan itu ia sampaikan dalam pidato pembukaan Konferensi Algorethics and Governance yang digelar di Saint John Paul II Auditorium, Pontifical Universita Urbaniana, Vatikan beberapa waktu lalu.

Konferensi ini dihadiri peserta dari berbagai negara seperti: Indonesia, Brasil, Argentina, Spanyol, Albania, Mozambik, Ukraina, Polandia, dan Italia.

Luhut menekankan bahwa masa depan manusia ditentukan oleh inovasi teknologi, namun teknologi harus berpusat pada martabat manusia.

Ia mengutip pesan Paus Fransiskus dalam konvensi internasional Juni 2024, bahwa AI adalah alat ampuh untuk kebaikan, tetapi harus digunakan secara etis.

Menurut Luhut, AI membawa janji besar bagi penemuan, pembelajaran, dan kreativitas, namun bisa menimbulkan ketidakadilan jika  tidak berlandaskan etika.

Seruan Global untuk AI

Dia juga menegaskan jika perlu ada seruan global untuk pengembangan AI yang berpusat pada manusia, yakni melindungi martabat manusia di dalam semua sistem yang dibangun.

Selain itu juga mendorong inklusifitas sehingga setiap komunitas dapat berpartisipasi dalam era AI, juga memperkuat pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan yang berkeadilan.

Selain itu, identitas budaya juga harus dilestarikan agar teknologi tidak menghancurkannya.

"AI hendaknya mengangkat kemanusiaan dengan memprioritaskan pada orang-orang yang miskin dan rentan," kata Luhut.

Ia menegaskan konferensi saja tidak cukup, harus ada tindakan nyata.

Indonesia, katanya, sudah menunjukkan langkah nyata melalui metode GASING, yakni kepanjangan dari GAmpang, aSIk, menyenaNGkan

Gerakan pembelajaran GASING (GAmpang, aSIk, menyenaNGkan) semula dikembangkan Yohanes Surya. 

Metode ini mengajak anak-anak menguasai matematika dengan cara sederhana, menyenangkan, dan bebas rasa takut.

Pada 2008, metode GASING diterapkan di Tolikara, Papua, wilayah dengan indeks manusia terendah di Indonesia.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved