SURYA Kampus

Kisah Inspiratif Roihan: Dari Serabutan hingga Jadi Mahasiswa Unesa, Gurunya Patungan Biayai SPP

Roihan, pekerja serabutan, lolos golden ticket Unesa. Perjuangannya penuh inspirasi, guru-gurunya patungan untuk biayai SPP.

Dok Pribadi/ Kompas.com
GOLDEN TICKET UNESA - Roihan Miftah Hilmiy yang lolos masuk Unesa melalui Golden Ticket. 

SURYA.co.id - Pepatah “rezeki yang sudah tertakar tidak akan tertukar” sepertinya cocok menggambarkan perjalanan Roihan Miftah Hilmiy (18).

Alumni SMAN 1 Mojosari, Sidoarjo, ini resmi menjadi mahasiswa baru Universitas Negeri Surabaya (Unesa) berkat jalur golden ticket.

Ia berhasil masuk jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan, meski harus melalui persaingan ketat dengan ribuan pendaftar berprestasi.

Perjuangan Roihan untuk meraih kursi di Unesa tidak berhenti hanya dengan dinyatakan lolos.

Masalah biaya sempat menjadi batu sandungan. 

Baca juga: Perjuangan Roihan Kuli Angkut Diterima di Unesa, Guru SMA Patungan Demi Bantu Biaya Kuliah

Sebagai penerima golden ticket, ia tetap memiliki kewajiban membayar Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

“Alhamdulillah lolos golden ticket. Pas selesai diinfo ada wawancara ternyata lolos. Terus saya bilang ke guru Bimbingan Konseling (BK) ternyata ada bayar SPI dan UKT,” kata Roihan, Selasa (26/8/2025), melansir dari Kompas.com.

Kondisi keluarga membuat tantangan itu terasa semakin berat. Ayahnya telah meninggal dunia ketika Roihan duduk di kelas 12 SMA, sementara ibunya bekerja sebagai buruh di warung bakso.

Demi membantu ekonomi rumah tangga, ia terbiasa bekerja serabutan di sela-sela waktu sekolah.

Melihat perjuangan muridnya, guru-guru SMAN 1 Mojosari bersama para alumni sepakat menggalang dana untuk meringankan beban biaya kuliah Roihan.

“Terus guru-guru aku patungan buat bantuin bayar SPI. Terus UKT, aku sama mama ada tabungan hasil gajiku selama kerja,” ungkapnya.

Kabar baik kemudian datang dari pihak kampus. Unesa memberikan beasiswa penuh bagi Roihan, sehingga ia dibebaskan dari kewajiban membayar SPI dan UKT selama delapan semester.

Meski begitu, kebaikan hati guru-guru dan alumni tetap meninggalkan kesan mendalam di hatinya.

“Sejak sekolah itu memang saya dekat dengan semua guru, alhamdulillah,” ucapnya singkat.

Bagi Roihan, kesempatan menempuh pendidikan tinggi bukan sekadar mengejar ijazah, melainkan pintu untuk meraih masa depan yang lebih cerah.

“Penting banget, kasian masih banyak orang yang tidak dapat pendidikan. Ayah dan ibuku hanya lulusan SMP, aku termotivasi harus lebih,” katanya penuh semangat.

Ia pun berharap kisahnya bisa menjadi motivasi bagi orang-orang di sekitarnya untuk terus berjuang mengutamakan pendidikan.

“Kita enggak berpendidikan itu kayak orang aneh. Banyak teman saya tidak bisa membaca. Ada yang tidak kuliah, masih SMP ikut bapaknya kerja,” jelas Roihan.

Harapan terbesarnya sederhana, yakni membahagiakan keluarga. Ia ingin suatu hari nanti orang tuanya bisa melihatnya mengenakan toga saat meraih gelar sarjana.

“Orangtuaku bangga punya anak kayak aku, aku harus lebih bangga punya bapak dan ibu seperti mereka. Sebisa mungkin saya akan membuat mereka bahagia, dan untuk adik saya masih SD,” pungkasnya.

Kisah Roihan Miftah Hilmiy mengingatkan kita bahwa pendidikan di negeri ini masih sering terasa seperti “lomba panjang” yang tidak hanya mengandalkan kemampuan akademik, tetapi juga daya tahan menghadapi keterbatasan ekonomi.

Golden ticket yang ia raih seolah menjadi pintu emas menuju masa depan, namun di balik pintu itu masih ada palang besi bernama biaya kuliah.

Di sinilah ironi pendidikan kita terlihat jelas. Jalur prestasi yang semestinya membuka akses tanpa hambatan, ternyata tetap menuntut biaya yang tidak kecil.

Untunglah, dalam cerita Roihan, ada guru-guru yang tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga mengulurkan tangan di luar jam pelajaran.

Solidaritas mereka menunjukkan bahwa pendidikan sejatinya bukan hanya soal transfer ilmu, melainkan juga soal kepedulian sosial.

Yang menarik, perjuangan Roihan bukan sekadar untuk dirinya sendiri. Dari caranya bercerita, kita bisa melihat bahwa ia menanggung mimpi orangtuanya yang sederhana, tekad untuk membuktikan bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari keterbatasan, sekaligus semangat untuk mematahkan rantai keterbatasan pendidikan di keluarganya.

Ada kebanggaan yang ingin ia hadiahkan kepada ibu dan mendiang ayahnya, sebuah kebanggaan yang lahir bukan dari harta, melainkan dari toga.

Bagi saya, kisah ini adalah tamparan sekaligus pengingat. Tamparan karena masih banyak Roihan lain yang gagal meraih pendidikan tinggi hanya karena terkendala biaya.

Pengingat karena di balik segala kesulitan, selalu ada ruang untuk harapan jika ada kepedulian bersama.

Roihan berhasil membuktikan pepatah tadi: rezeki yang sudah tertakar, tidak akan tertukar.

Tapi lebih dari itu, ia juga mengajarkan kita bahwa perjuangan, doa, dan solidaritas adalah cara terbaik untuk memastikan rezeki itu benar-benar sampai pada orang yang berhak.

Warga Kampung Patungan Bantu Biaya Merantau

Nasib serupa juga dialami Devit Febriansyah, siswa SMA Negeri 1 Bukittinggi, yang dinyatakan lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) Institut Teknologi Bandung (ITB) 2025. 

Kisah Devit disampaikan Dosen Teknik Metalurgi ITB, Imam Santoso, dalam unggahan Instagram pribadinya. 

Imam menceritakan bahwa Devit diterima di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI-ITB) melalui jalur prestasi. 

Pencapaian ini pun menarik atensi Rektor ITB, Tatacipta Dirgantara. 

Tata bahkan mendatangi kediaman Devit di Bukittinggi, untuk menjemputnya.

"Diarak Rektor di lereng Gunung Singgalang, Sumatera Barat. Devit dari SMAN 1 Bukittinggi keterima STEI, tremor, tau ada Pak Rektor," tulis Imam Santoso.

Kehadiran Tata disambut hangat oleh orang tua Devit.

Orang tua Devit, Doni Afrijal dan Julimar, juga sempat menangis haru karena tak percaya Rektor ITB datang ke tempatnya.

"Ayah Ibu Devit nangis sesenggukan termasuk Prof Tata," lanjut Imam.

Sesekali Tata menenangkan ayah Devit yang menangis sesenggukan.

Pada kesempatan itu, Tata memberikan hadiah topi dan bantuan lain, berupa laptop dan uang tunai, dari Paragon Corp.

Bukan hanya dari Rektor ITB, rupanya warga Kecamatan Malala juga memberikan bantuan kepada Devit.

Bantuan itu sebagai bentuk suka cita karena Devit menjadi orang pertama dari Kecamatan Malala yang bisa kuliah di ITB.

Warga setempat membuka donasi atau iuran sukarela untuk membantu biaya Devit ke Bandung. 

Pasalnya, kondisi ekonomi orang tua Devit sangat terbatas. Orang tua Devit hanya bekerja sebagai kuli angkut kayu manis dengan penghasilan harian tidak menentu.

"Devit keterima ITB bikin bangga sekampung, penduduk patungan bantu Devit, 50rb, 100rb, dan seterusnya," sambung Imam sembari menunjukkan pesan grup di Whatsapp (WA).

Unggahan Imam Santoso pun langsung dibanjiri komentar warganet.

@dia***.
semoga Devit dan orang orang yang membersamainya senantiasa dimudahkan jalannya MasyaAllah ikut bangga sama anak orang 

@rit***.
Yg bikin terharu disini masyarakat kampung nya yg saling bantu sampe iuran untuk bekal Devit di Bandung. Jujur terharu, buat Devit yg semangat belajar nyaa ya. Nanti kalo udah sukses jangan lupain masyarakat kampungnya."

"Dan semoga Devit bisa jadi panutan untuk adik2 dikampungnyaa biar rajin belajar dan masuk ITB kaya Devit. Selamat ya Devit, semoga setelah lulus nanti bisa membawa perubahan baik untuk masyarakat kampungnya. Aamiin

@alf***.
Devit bener-bener pribadi 'anak baik' yang terselamatkan oleh bantuan para warga. Bener-bener terharu karena beliau disokong oleh para warga dengan urunan, ini adalah budaya urunan & gotong royong yang masih common di desa. Proud of you Davit, semoga potensi mu dapat berkembang secara maksimal & dapat mensejahtrakan keluarga mu di desa.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved