SURYA Kampus

Mahasiswa Lamongan Rancang Alat Pendeteksi Gangguan Bipolar Lewat Frekuensi Suara

Merancang sebuah alat pendeteksi gangguan bipolar berbasis analisis frekuensi suara percakapan.

Penulis: Hanif Manshuri | Editor: Titis Jati Permata
SURYA.co.id/Hanif Manshuri
ALAT PENDETEKSI - Mahasiswa Program Studi S1 Fisika berprestasi Rohmatul Badiyah berhasil merancang alat pendeteksi gangguan bipolar berbasis analisis frekuensi suara percakapan, Selasa (7/10/2025). Karya inovatif ini bahkan terpilih sebagai salah satu karya terbaik universitas ditahun 2025. 

SURYA.CO.ID LAMONGAN – Inovasi membanggakan lahir dari Universitas Muhammadiyah Lamongan (UMLA) Lamongan.

Prestasi dan prestise itu berkat kemampuan seorang mahasiswa Program Studi S1 Fisika berprestasi Rohmatul Badiyah,  yang  berhasil merancang sebuah alat pendeteksi gangguan bipolar berbasis analisis frekuensi suara percakapan.

Karya inovatif ini bahkan terpilih sebagai salah satu karya terbaik universitas ditahun 2025.

Mahasiswa usia 22 tahun ini  dibimbing oleh Uswatun Chasanah, M.Si sebagai pembimbing utama dan Asmaul Lutfi Marufah, M.Si sebagai pembimbing kedua. 

Baca juga: Duta Damai BNPT Jatim Gandeng Umla Ajak Kampanye Damai Lawan Radikalisme

Alat tersebut diberi nama “Deteksi Gangguan Bipolar” (Bipoher) memanfaatkan sensor MAX9814 yang terintegrasi dengan mikrokontroler Arduino Nano dan modul Internet of Things (IoT).

Sistem ini mampu merekam, menganalisis, sekaligus menampilkan anomali frekuensi suara percakapan pasien yang menjadi indikator perubahan suasana hati ekstrem pada penderita bipolar.

Baca juga: Mahasiswa Asing Kampanyekan Pesan Damai Lewat Global Hub UMSurabaya

“Suara manusia menyimpan banyak informasi penting. Pada pasien bipolar, pergeseran emosi dapat terlihat dari perbedaan frekuensi suara mulai dari fase mania dengan suara lebih tinggi dan cepat, hingga fase depresi dengan nada rendah dan monoton. Alat ini kami kembangkan agar deteksi dini bisa dilakukan secara lebih praktis,” jelas Rohmatul Badiyah, Selasa (7/10/2025).

Rohmatul Badiyah menambahkan dari sisi fisika, suara merupakan salah satu bentuk gelombang longitudinal. Artinya, getaran partikel udara bergerak searah dengan rambatan gelombang.

Diuraikan, setiap suara, termasuk suara manusia, memiliki frekuensi tertentu yang dapat diukur secara kuantitatif. 

Bahkan, suara yang dihasilkan ketika seseorang mengekspresikan emosi, seperti senang, sedih, atau marah, akan menunjukkan pola frekuensi yang berbeda. 

Dengan bantuan sensor, frekuensi tersebut dapat dicatat secara fisis dan dianlisis, kemudian dibandingkan dengan data referensi ilmiah. 

Baca juga: Awal Oktober 2025, Harga dan Pasokan Bahan Pokok di Lamongan Terpantau Stabil

Hasil perbandingan inilah yang menjadi dasar untuk menentukan apakah suara yang terekam menunjukkan tanda-tanda terkait gangguan bipolar atau tidak.

Hasil riset ini juga telah dipublikasikan dalam bentuk artikel ilmiah berjudul, “Design and Development of a Bipolar Disorder Detection Device Based on Anomalies in the Frequency of Conversation Sound Waves Using the Max9814 Sensor” di jurnal nasional Gravity.

Keberhasilan ini semakin istimewa karena menegaskan kontribusi mahasiswa dan dosen UMLA dalam bidang sains terapan, khususnya fisika yang beririsan dengan kesehatan mental.

Baca juga: Konselor Kesehatan Mental Ungkap Bahaya Judol dan Cara Mengatasinya

 “Saya tidak menyangka penelitian ini bisa mendapat perhatian luas. Semoga bermanfaat bagi pengembangan teknologi kesehatan mental di Indonesia,” ungkap Rohmatul Badiyah, salah satu wisudawan dari 843 an mahasiswa yang diwisuda ke-7 tahun 2025 pada tanggal 11 Oktober 2025 nanti.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved