Pembangunan Makam Modern di Ngepoh Diduga Ilegal, KJRA Tulungagung Akan Laporkan ke Polisi

Agus mengaku saat itu bertemu Kepala BPN RI, Joyo Winoto yang memberinya arsip riwayat tanah yang berlaku sampai sekarang

Penulis: David Yohanes | Editor: Deddy Humana
surya/david yohanes
MENOLAK MAKAM - Massa Komite Juang Reforma Agraria (KJRA) Tulungagung menggelar unjuk rasa di depan Kantor DPRD Tulungagung, Selasa (19/8/2025). Mereka menuding pembangunan makam modern tanpa sertifikat Hak Guna Usaha (HGU). 

SURYA.CO.ID, TULUNGAGUNG - Massa Komite Juang Reforma Agraria (KJRA) menggelar unjuk rasa di depan kantor DPRD Tulungagung, Selasa (19/8/2025). 

Mereka berasal dari Desa Nyawangan dan Desa Picisan, Kecamatan Sendang; dan Desa Kalabatur dan Desa Ngepoh, Kecamatan Kalidawir.

Salah satu isu yang diangkat adalah pembangunan makam modern Shangrila Memorial Park di Desa Ngepoh. Massa sempat diterima DPRD Tulungagung dan para pihak terkait.

Menurut pendamping KJRA, Ahmad Dardiri, dari hasil dialog pihaknya menyimpulkan bahwa proyek makam modern itu ilegal. 

“Mengacu pada undang-undang seharusnya pembangunan makam itu harus ada Perda (peraturan daerah) dan dijalankan oleh lembaga nonprofit,” ujar Dardiri. 

Namun menurut Dardiri, perusahaan yang yang mengerjakan proyek makam dipegang perusahaan profit.

Pemegang sahamnya dipegang 2 perseroan terbatas (PT) yang bergerak di bidang Multi Level Marketing (MLM). 

Karena proyek itu ilegal, KJRA akan melaporkannya ke Polres Tulungagung. “Kami tidak menyebut pihak siapa yang dilaporkan, tetapi kami melaporkan ada peristiwa (pidana). Biar polisi yang menyelidiki,” jelasnya. 

Warga menuntut lahan yang disebut berada di Tumpak Mergo tersebut dikembalikan ke warga. Hal ini mengacu surat tahun 2008 dari BPN RI yang memerintahkan lahan itu diredistribusi untuk masyarakat. 

Sebab dari sejarahnya, lahan itu disewa oleh pengusaha Belanda dari warga sejak tahun 1901.

“Surat tahun 2008 sampai sekarang masih berlaku. Ada perdebatan tentang penelitian, ya memang harus diteliti sebelum dibagi,” tegasnya. 

Mantan Kades Ngepoh 1992-2002 dan 2007-2013, Agus mengatakan, ia yang memperjuangkan redistribusi tanah itu pada tahun 2000. 

Agus mengaku saat itu bertemu Kepala BPN RI, Joyo Winoto yang memberinya arsip riwayat tanah yang masih berlaku sampai sekarang. 

Sampai saat ini tanah itu masih atas nama perseorangan, Albert Sarkis Afkar, orang Belanda yang menyewa lahan itu. “Jadi bukan atas nama perusahaan, bukan atas nama pemerintah daerah, melainkan perorangan,” ungkap Agus.

Agus bahkan masih menyimpan data nama-nama warga yang tanahnya disewa oleh pengusaha Belanda itu. Saat itu ada 93 rumah, 135 kepala keluarga di 5 RT.

Sampai saat ini data di BPN RI tidak ada Hak Guna Usaha (HGU) di atas lahan Tumpak Mergo. 

“Pak Joyo Winoto saat itu terkejut, kok ada HGU di sini (Tumpak Mergo). Direktur HGU menegaskan, tidak ada HGU,” katanya. *****

 

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved