HGU Makam Modern Tanggunggunung Diprotes, Bupati Tulungagung Sarankan Masyarakat Menggugat
“Kami sudah mengundang pihak investor bersama lawyer ke pendopo. Kami sudah pelajari (dokumennya),” ujar Gatut Sunu
Penulis: David Yohanes | Editor: Deddy Humana
SURYA.CO.ID, TULUNGAGUNG - Bupati Tulungagung, Gatut Sunu Wibowo menemui massa Pejuang Gayatri yang melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPRD Tulungagung, Senin (6/10/2025).
Salah satu isu yang diusung massa adalah legalitas pembangunan makam modern di Tumpak Mergo Desa Ngepoh, Kecamatan Tanggunggunung.
Massa mempersoalkan terbitnya Hak Guna Usaha (HGU) di atas lahan, yang menurut mereka peruntukannya adalah untuk perkebunan. Bupati sempat mengusulkan kepada massa yang tidak setuju dengan HGU itu agar menggugat sesuai aturan yang berlaku.
“Kami sudah mengundang pihak investor bersama lawyer ke pendopo. Kami sudah pelajari (dokumennya),” ujar Gatut Sunu
Dari pertemuan itu, pihak investor menunjukkan sertifikat HGU di lahan itu. Sudah ada hak pengerjaan atas tanah di lokasi, dan izin yang diajukan lewat OSS.
Karena itu Bupati menyarankan agar pendemo menggugat HGU itu sesuai undang-undang, jika tidak sepakat. “Kalau saya berpendapat kan kurang pas, karena saya menghormati aturan yang berlaku. Jika menghormati aturan dan hukum, bisa dilakukan untuk menggugat,” tambahnya.
Salah satu Koordinator Lapangan (Korlap) Pejuang Gayatri Tulungagung, Ahmad Dardiri mengaku tidak percaya kepada penegakkan hukum di Indonesia. Salah satunya karena banyak oknum hakim yang masuk penjara karena suap.
Apalagi yang dilawan menurutnya, adalah oligarki yang kaya raya. “Seandainya pengadilan Indonesia kualitasnya bagus, kami akan jalankan,” kata Dardiri.
Dardiri mengatakan, ada anomali dengan terbitnya HGU tahun 2021 di atas lahan proyek makam modern itu. Menurutnya sejak 2007-2008 lokasi itu sudah jadi obyek sengketa.
Sudah ada instruksi supaya lahan itu dikembalikan ke masyarakat. “Adanya HGU hari ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah,” tegasnya.
Sementara belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur penggunaan lahan untuk makam. Padahal pembangunan makam itu seharusnya didahului terbitnya Perda, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987.
Sementara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di wilayah itu disebutkan sebagai perkebunan. Menurut warga, lahan Tumpak Mergo dulunya milik warga yang disewa Belanda untuk perkebunan di tahun 1901.
Saat itu ada 93 rumah, 135 kepala keluarga di 5 RT yang melepaskan lahan untuk dipakai perkebunan. Pada tahun 2008 sudah ada perintah lahan itu untuk didistribusikan kepada masyarakat. Namun kemudian terbit HGU untuk pembangunan makam modern. *****
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.