Aliansi Inklusi Jombang Tinjau Raperda PPA, Minta Penyusunannya Libatkan Suara Korban dan Komunitas

"Kebutuhan khusus perlindungan bagi perempuan dan anak dengan HIV positif belum secara spesifik diatur dalam Raperda," ujarnya

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Deddy Humana
surya/Anggit Puji Widodo
KRITIK RAPERDA PPA - Direktur WCC Jombang menjawab awak media dalam agenda catatan akhir tahun di Gedung PKK Pemkab Jombang, Rabu (26/2/2025). Raperda PPA dinilai belum melindungi hak korban kekerasan. 


SURYA.CO.ID, JOMBANG - Penyusunan Raperda Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tahun ini menjadi langkah penting Pemkab Jombang untuk memberi proteksi pada korban kasus kekerasan.

Memang  belum sempurna, sehingga Aliansi Inklusi Kabupaten Jombang pun menilai raperda itu belum menyentuh akar masalah.

Raperda PPA menjadi langkah untuk merespons tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Jombang.

Berdasarkan data Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Jombang, sejak Januari hingga November 2024 tercatat ada 222 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Jumlah ini meningkat signifikan dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 133 kasus. Sementara menurut Anak Abdillah selaku Direktur Women Crisis Center (WCC) Jombang, ada trend kekerasan seksual dalam kurun waktu 3 tahun (2022-2024). 

Dari total 148 kasus, sebanyak 17 persen atau 26 kasus pelakunya adalah ayah kandung dan bapak tiri.  "Hal ini menunjukan banyak kekerasan terjadi dalam lingkungan keluarga yang sering dianggap sebagai tempat yang nyaman bebas kekerasan," ucap Ana saat dikonfirmasi, Rabu (16/4/2025). 

Wanita yang juga merupakan bagian dari Aliansi Inklusi Jombang ini melanjutkan, data KDS JCC Plus juga menunjukkan ada total 1.932 orang dengan HIV positif per 14 April 2025 yang terdiri dari 668 perempuan dan 45 merupakan anak. 

"Kebutuhan khusus perlindungan bagi perempuan dan anak dengan HIV positif belum secara spesifik diatur dalam Raperda," ujarnya. 

Padahal, kelompok ini termasuk dalam kategori rentan yang menghadapi resiko berlapis mulai dari diskriminasi, stigmatisasi sosial, hingga akses layanan kesehatan dan pemulihan yang terbatas. 

Situasi ini diperparah dengan belum optimalnya penanganan kasus hukum yang adil bagi korban kekerasan serta minimnya anggaran untuk layanan pelindungan, yang menyebabkan banyak korban kembali ke lingkungan beresiko tinggi tanpa proses pemulihan yang terintegrasi.

Pihaknya menyadari bahwa pencegahan, penanganan, perlindungan, penegakan hukum, pemulihan, dan rehabilitasi terhadap korban kekerasan merupakan urusan kompleks yang membutuhkan sinergitas lintas pihak termasuk peran masyarakat. 

Sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2024 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 39 telah mengatur mekanisme pengaduan bisa dilakukan pada banyak pintu layanan.

Di antaranya UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat, dan/atau kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana. 

"Artinya, urusan perlindungan perempuan dan anak membutuhkan pendekatan sistem yang terintegrasi di seluruh tahapan proses pendampingan," bebernya. 

Secara umum Aliansi Inklusi Jombang menilai bahwa substansi Raperda yang masih dalam tahap rancangan ini belum sepenuhnya menjawab kebutuhan riil di lapangan. 

Halaman
12
Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved