3 Hakim PN Surabaya Ditangkap Kejagung

Presiden Prabowo Perlu Bentuk Tim Independen dan Terus Kawal Vonis Ronald Tannur

Sunarno Edy Wibowo, Guru Besar di Asean University Internasional mengungkapkan, banyak pihak yang akan terjerat akibat penangkapan Zarof Ricar

Penulis: Tony Hermawan | Editor: Fatkhul Alami
Tangkapan Youtube
Profesor Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, Guru Besar di Asean University Internasional Kuala Lumpur (tengah) dan Eko Prastian pengacara keluarga Dini saat wawancara pada podcast di Tribun Network Jatim, Selasa (29/10). 

SURYA.co.id | SURABAYA - Tim Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) RI terus menyelidiki dugaan gratifikasi atau suap di balik putusan bebas Gregorius Ronald Tannur. Kini kotak pandora di Mahkamah Agung terbuka. Di lembaga pengadilan tertinggi di Indonesia diduga ada praktik-praktik makelar kasus.

Makelar kasus merupakan istilah orang atau tukang ngatur soal hukum. Dugaan ini muncul setelah penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar. Dia diduga menjadi perantara Lisa Rachmat, pengacara Ronald Tannur. Majelis hakim yang memutuskan kasus ini dilaporkan akan menerima suap sebesar Rp 5 miliar. Setelah pekerjaan tersebut beres, Zarof akan menerima imbalan Rp1 miliar.

Dari rumah Zarof di Jakarta Selatan, penyidik menemukan uang tunai hampir Rp 1 triliun dan 51 kilogram emas batangan. Diduga Zarof menjadi makelar, saat masih dinas. Penyidik menyebut uang triliunan serta aset Zarof terkumpul dari hasil mengondisikan kasus sejak tahun 2012.

Profesor Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, Guru Besar di Asean University Internasional Kuala Lumpur mengungkapkan, banyak pihak yang akan terjerat akibat penangkapan Zarof Ricar. Terutama orang-orang atau penegak hukum yang pernah melobi majelis hakim melalui Ricar untuk mengatur sebuah kasus.

"Kelihatannya banyak pengacara gak bisa tidur ini. Undang- undang gratifikasi itu gak ada kadaluarsanya beda dengan KUHP. Kalau terbukti ya sudah wasalam," kata Sunarno Edy Wibowo.

Bowo -panggilan Sunarno Edy Wibowo yang juga seorang pengacara menjelaskan, penegak hukum di Indonesia terdiri kepolisian, jaksa, hakim, dan pengacara. Setiap mengawal kasus harus benar-benar berkerja diniati untuk memberikan pencerahan hukum kepada klien. Bukan semata-mata mencari menang dalam setiap perkara.

Menurut Bowo, jaksa harus hati-hati setelah menangkap mafia peradilan di balik bebasnya Gregorius Ronald Tannur. Sebab menurutnya, masih ada celah yang bisa dipersoalkan. Terpidana yang merupakan anak mantan DPR RI, Edward Tannur masih bisa mengajukan peninjauan kembali (PK).

"Sebetulnya itu gak bisa, sudah divonis bebas murni lalu kasasi. Kecuali, saat dibacakan vonis saat itu juga jaksa menyatakan kasasi," ucapnya.

PK merupakan upaya hukum luar biasa yang digunakan untuk memberikan kesempatan kepada terpidana yang merasa ada kekhilafan hakim atau bukti baru (novum). Bowo menjabarkan, PK ada dua macam. Pertama adanya novum atau bukti baru  dan kedua kekhilafan hakim.

Sedangkan, jaksa penuntut umum sendiri sudah tidak dapat mengajukan PK terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Ketentuan jaksa penuntut umum tidak dapat mengajukan PK berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2023. Tepatnya saat putusan Perkara Nomor 20/PUU-XXI/2023 berlaku. Itu setelah adanya gugatan  yang diajukan oleh seorang notaris bernama Hartono, menilai bahwa Pasal 30C huruf h UU No 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI, bertentangan dengan UUD 1945 karena menciptakan ketidakpastian hukum.

"Makanya hati-hati ini (vonis 5 tahun Ronald Tanur) harus benar-benar dikawal," ucap Bowo.

Bowo juga memprediksi, ujung terungkapnya mafia peradilan di PN Surabaya dan MA akan banyak tersangka. Dikarenakan setiap gebokan uang Rp 1 miliar yang ditemukan di rumah mantan pejabat MA ada catatan. Misalnya, dalam Ronald Tannur ada tulisan untuk kasasi. Bukti itu jaksa harus melakukan penyidikan secara ekstra dan mendalam.

"Nah, nantinya yang terjadi bukan balas budi seperti di kabinet. Hubungan hakim dan jaksa tidak akan harmonis lagi, karena ini pertama kali jaksa nangkap hakim," ucapnya.

Komentar-komentar miring soal peradilan bermunculan buntut tertangkapnya tiga hakim, pengacara, dan mantan pejabat Mahkamah Agung. Terlebih mereka tertangkap karena diduga mengkondisikan kasus. Banyak masyarakat bahwa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas benar adanya. "Presiden harus menunjuk tim independen yang mengadili hakim-hakim terima gratifikasi," terang Bowo.

Halaman
12
Sumber: Surya Cetak
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved