Berita Viral
Kisah Devi Dulu Tinggal di Atas Got Bersama Orangtua, Lulus ITB dan Kini Sukses Jadi Konsultan
Kisah Devi lulusan ITB yang kini sukses jadi konsultan sangat menginspirasi. Dulu Tinggal di Atas Got Bersama Orangtua.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta | Editor: Putra Dewangga Candra Seta
SURYA.co.id - Kisah Devi lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang kini sukses jadi konsultan sangat menginspirasi.
Dulu, Devi ternyata sempat hidup susah sempat tinggal di atas got bersama orangtuanya.
Ia bahkan pernah berjualan donat di kampus ITB untuk menambah biaya hidupnya.
Tapi kini kehidupannya berubah drastis, Devi sanggup membangun dua rumah mewah.
Kisah Devi viral di media sosial setelah diunggah oleh akun Instagram Imam Santoso @santosoim, dikutip dari Tribun Jakarta pada Kamis (17/10/2024).
Baca juga: Sosok Haqiqi Anak Guru Ngaji Jadi Bos Tambang usai Lulus dari ITB, Dulu Cuma Bisa Makan Ikan Asin
Dalam postingan itu diceritakan Devi harus jatuh bangun demi meraih mimpi menjadi 'seseorang.'
Kehidupannya dulu serba pas-pasan.
Ia bahkan pernah tinggal di rumah yang berada di atas got semasa kecil.
Imam mengunggah sebuah foto suasana rumah Devi kala masih kecil.
Rumah reyot berdinding seng itu berdiri di ujung got.
Tampak got tersebut dipenuhi lumpur dan sampah-sampah yang tergenang.
"Pas SD, ia sempat tinggal di atas got di Bali bersama ayah ibunya. Rumah di ujung di atas got itu dulu Rumah Devi," tulis Imam.
Awal pertemuan Imam dengan Devi terjadi pada 2005 di sebuah kampung.
Devi bilang kepadanya bahwa ingin sekali masuk ITB.
Pada Juni 2006, Devi malam-malam menghubungi Imam sambil menangis lantaran dirinya gagal masuk ITB.
Ia diremehkan oleh orang-orang karena anak desa tidak mungkin masuk ITB.
Namun, berkat perjuangannya, Devi tembus Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan di Institut Teknologi Bandung (ITB) di tahun 2007.
Saat awal jadi mahasiswa baru, Devi kemana-mana hanya mengandalkan kedua kakinya.
Baru di tahun kedua, dia mulai naik angkutan umum.
Untuk tambahan biaya hidup, Devi berjualan donat di kampus.
Bahkan, banyak temannya memanggilnya Devi 'Donut'.
Ia juga kerap mengajar les.
"Sering enggak makan pas awal kuliah, merasa bersalah kalau sehari uang habis lebih dari Rp 10 ribu. Ia dapat beasiswa gratis kuliah dari ITB," tulisnya.
Setelah lulus dari ITB, Devi memilih mengabdi sebagai guru di pedalaman Palembang.
Ia ingin mengajar baca, tulis hingga ngaji kepada anak-anak kampung.
"Aku ingin merasakan kehidupan yang tidak biasa," tulis Devi kepada Imam.
Ia pun menjadi guru di pedalaman Palembang selama satu tahun.
Bahkan, Devi bukan lah guru sembarangan.
"Ia sukses bawa murid-muridnya olimpiade sains sampai Jakarta," tulis Imam.
Setelah berusaha keras demi meraih hidup yang layak bertahun-tahun, perjuangan Devi terbayarkan.
Ia kini menjabat di posisi strategis di suatu perusahaan.
Devi juga memiliki segudang pengalaman dengan posisi mentereng.
"Jadi project manajer. Nanganin proyek-proyek besar Indonesia. Lulus S-2 dengan beasiswa LPDP," tulisnya.
Saat ini Devi bekerja sebagai seorang konsultan di sebuah perusahaan.
Ia pun mampu membeli dua rumah kembar sekaligus di Bandung pada 2019.
Ayah dan ibunya diajak tinggal di sana.
Imam lalu meninggalkan sebuah pesan yang bisa dipetik dari postingan tentang sosok Devi.
"Pendidikan merubahmu dan banyak beasiswa menanti," tulis Imam.
Serupa dengan kisah Imam Santoso, pria asal Jember, Jawa Timur (Jatim) yang bertekad mengangkat derajat orang tuanya.
Perjuangan Imam pun tak mudah.
Ia sempat mengalami kegagalan, seperti saat ingin kuliah di Fakultas Kedokteran di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
"Waktu itu, saya sangat ingin menjadi dokter, tetapi tidak kesampaian,” kenang Imam.
Kegagalan itu membuatnya harus tinggal sementara di rumah pamannya di Trenggalek.
"Gak keterima jadi dokter kan setahun tuh."
"Ngapain kalau di desa, kan jadi omongan tetangga, isin (malu) 'Imam pengen jadi dokter gak lolos'."
"Akhirnya yang udah diungsikan aja lah biar tenang, sambil jualan kaca, jualan paku di Trenggalek uangnya dikumpulin buat daftar beli formulir SPMB lagi," ceritanya, dikutip dari laman LPDP.
Meski begitu, keinginan Imam untuk kuliah masih membara.
Suatu hari ia diajak ayahnya membayar arisan ke rumah tetangga yang kaya raya.
Ternyata, orang tersebut berprofesi sebagai satpam di perusahaan tambang.
"Saya langsung berpikir, "apakah saya harus pindah ke jurusan tambang saja ya? Kok mereka jadi tajir-tajir?",” lanjutnya.
Hal itu yang mendorongnya memilih jurusan Teknik Pertambangan (Metalurgi) di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada 2003, Imam diterima di Program Studi Teknik Metalurgi ITB.
Perjuangannya pun tak berhenti di sini. Lagi-lagi ia mengalami kendala. Kali ini terkait biaya kuliah yang cukup mahal.
Ia memutar otak untuk bisa tetap kuliah dan hidup di Bandung, yakni dengan mendapatkan beasiswa.
“Ketika kuliah, saya juga mendapatkan banyak beasiswa, mulai dari perusahaan minyak, Bank BRI, hingga Supersemar dan banyak lagi,” terang pria yang lulus SMA di 2002 itu.
Sebenarnya bukan kali pertama Imam mendapatkan beasiswa.

Sejak masuk SMA, ia sudah mendapat beasiswa.
Setiap 6 bulan sekali dia harus ke kantor pos untuk mengambil uang beasiswa agar SPP-nya bisa terbayar.
“Kita harus proaktif mencari beasiswa karena memang banyak sekali kesempatan."
"Tapi kita juga harus memantaskan diri untuk mendapatkannya. Saya dulu rajin mencari info beasiswa, baik di dalam maupun luar negeri,” terangnya.
Lulus dari ITB, Imam merasa terpanggil untuk menjadi dosen. Cita-citanya berada di persimpangan jalan, menjadi dosen artinya ia harus studi lanjut dan tidak bekerja, sedangkan nafkah keluarga tak bisa ditunda.
Memutar otak, Imam akhirnya bertemu dengan sebuah perusahaan asing yang bersedia menyekolahkannya ke Australia dengan jaminan uang saku selama studi dan kesempatan karier. Tahun 2009 Imam berangkat ke University of South Australia.
"Jadi aku nyari waktu itu sekolah yang ada uangnya, akhirnya aku disekolahkan oleh perusahaan asing waktu itu. Tahun 2009 aku berangkat ke Australia.
Tapi di tengah jalan bangkrut perusahaannya, bayangin aku sudah di Australia, belum selesai, masih persiapan bahasa gitu, pulang tanpa gelar," kenangnya.
Meski pulang tanpa gelar, Imam kembali teringat didikan keluarga agar tetap bersyukur dan berprasangka baik terhadap takdir.
Kembali bangkit, Imam mendaftar Beasiswa Australia Awards, usahanya tersebut kembali membawanya ke Australia.
Ia melanjutkan kuliah di University of Queensland dan jurusan Metalurgi yang jadi topik kegemarannya.
"Ya mungkin Allah ingin aku di UQ, sesuai dengan yang aku sukai."
"Kalau di Adelaide, karena waktu itu dari industri, si industri ini punya topik sendiri yang waktu itu agak setengah hati aku sebenarnya, akhirnya ini (metalurgi di UQ) yang pas banget dengan passion, jadi oh mungkin ini ya hikmahnya," jelasnya.
Lulus dari UQ, Imam sadar bahwa dirinya harus segera S3 agar bisa menjadi dosen.
Pada tahun 2014, Imam mendaftarkan diri, tujuan studinya pun kini lebih jauh, sebuah perguruan tinggi dengan profesor yang masyhur di bidang metalurgi, Aalto University di negeri seribu danau, Finlandia.
"Dulu ketika di Australia itu (menulis status) masih ada di facebook, ya Allah aku ingin lihat aurora, ya Allah aku ingin lihat salju, aku ingin ke kutub utara, dan kebetulan ketika di Australia ada mahasiswa (percobaan) dari Finlandia, kemudian eh aku dikenalin lah oleh profesor di sana.
Dan memang waktu itu aku mencari metalurgi yang bagus di mana setelah dari UQ, yang bagus tuh Aalto.
Semuanya kayak gak tau lah mestakung (semesta mendukung) gitu ya," ceritanya.
Imam juga menceritakan bahwa dirinya sering menyarankan anak didiknya untuk menempel dinding kamar dengan gambar-gambar seperti Menara Eiffel atau daftar target/cita-cita yang ingin dicapai di masa depan.
Sadar bahwa hidupnya berubah drastis karena pendidikan, Imam tergerak untuk menebar semangat yang sama.
Sejak masih S1, Imam sering "blusukan" ke sekolah-sekolah pelosok memberikan informasi bahwa ada kesempatan bagi anak-anak yang ingin berkuliah dengan Beasiswa Bidikmisi.
Sambil tersenyum mengingat kenangan, Imam mengungkap bahwa kegiatan "jemput bola" tersebut ternyata menarik perhatian para pewawancara saat ia melakukan seleksi LPDP sepuluh tahun lalu.
"Mungkin dia (blusukan) yang membuat aku diterima," ujarnya.
Sukses berkarier sebagai dosen ITB, Imam masih melanjutkan kegiatan "jemput bola" menjaring talenta-talenta dari keluarga kurang mampu justru semakin masif, bahkan difasilitasi oleh ITB.
Dalam setahun, Imam mengaku rutin mengalokasikan waktu dan mengajak rekan-rekan sesama dosen untuk "roadshow" di berbagai daerah hingga di luar Jawa menyebarkan informasi, inspirasi, dan dampak yang lebih besar kepada anak-anak SMA untuk berkuliah.
berita viral
Devi
Tinggal di Atas Got
Institut Teknologi Bandung (ITB)
konsultan
SURYA.co.id
surabaya.tribunnews.com
Pria Ngaku Aparat Acungkan Pistol saat Cekcok dengan Warga Sipil, Identitas Asli Ternyata Jaksa |
![]() |
---|
Rekam Jejak Hakim Mira Sendangsari yang Vonis Aipda Robig Penembak Mati Gamma, 15 Tahun Penjara |
![]() |
---|
7 Desa di Blitar Sepakati Aturan Sound Horeg untuk Karnaval Agustusan, Demi Dapat Izin Polisi |
![]() |
---|
Sosok Gavriel Anggota DPR RI yang Tuntut Keadilan Kematian Prada Lucky, Minta Pelaku Dihukum Berat |
![]() |
---|
Kisah Dahlan Relawan Penyapu Jalan di Bekasi Hidupi Istri Stroke dan 9 Anak, Dapat Uang dari Donasi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.