Wanita Sukabumi Tewas Usai Karaoke

Talkshow Tribun Series : Menguak Persekongkolan Vonis Bebas Ronald Tannur

Menurutnya, dalam putusan bebas pada Gregorius Ronald Tannur yang merupakan anak DPR RI nonaktif Edward Tannur bukan hanya hakim yang perlu dikritik

Penulis: Tony Hermawan | Editor: Titis Jati Permata
surya.co.id/ahmad zaimul haq
Dari kanan: Febby Mahendra Putra (News Director Tribun Network), Elok Dwi Kadja (Humas DPC Peradi Surabaya), Prof Sunarno Edy Wibowo (Guru Besar FH Narotama Surabaya) dan M Nainul Amani (Tim Pengacara Dini Sera) dalam talkshow Menguak Persekongkolan Vonis Bebas Ronald Tannur di studio podcast Tribun Jatim Network, Jumat (2/8/2024). 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - "Ada dua variabel: KKN dan NKK. KKN itu korupsi, kolusi, nepotisme, sedangkan NKK adalah Nolong Konco-Konco," jelas Prof. Dr. H. Sunarno Edy Wibowo, Guru Besar FH ASEAN University International, saat ditanya tentang pernyataan Ketua Pengadilan Negeri yang memuji pengalaman Hakim Erintuah Damanik.

Dadi Rachmadi selaku Ketua Pengadilan Negeri Surabaya menyebut Erintuah Damanik bukan hakim sembarangan pada 31 Juli lalu.

Hakim berdarah Batak itu dikatakan profesional dan memiliki keahlian scientific evidence. Pernah memberi hukuman mati terhadap istri hakim yang membunuh dan selingkuh di Medan.

Pujian itu diutarakannya saat menemui massa yang melakukan demo karena kecewa Gregouris Ronald Tannur divonis bebas atas tudingan membunuh Dini Sera Afrianti.

"Nolong Konco-Konco itu sudah biasa," imbuh Prof. Dr. H. Sunarno Edy Wibowo dalam talkshow Menguak Persekongkolan Vonis Bebas Ronald Tannur di studio podcast Tribun Jatim Network, Jumat (2/8/2024).

Menurutnya, dalam putusan bebas pada Gregorius Ronald Tannur yang merupakan anak DPR RI nonaktif Edward Tannur bukan hanya hakim yang perlu dikritik.

Komisi Yudisial seharusnya tidak hanya menerima laporan tetapi juga harus segera mengambil tindakan ketika ada persoalan hukum, terutama jika kasus tersebut menjadi perhatian publik. Setidaknya, kasus tersebut harus dipantau setiap sidangnya.

"Jadi, harus tahu prosesnya, bukan sekadar bicara mengandai-andai. Jangan sampai ini terjadi untuk kedua kalinya," ucapnya.

Praktisi hukum yang mengajar di Universitas Narotama itu juga mengkritik jaksa. Gregorius Ronald Tannur, saat menghadapi tudingan membunuh Dini Sera Afrianti, dijerat dengan pasal berlapis.

Di antaranya ada pembunuhan, penganiayaan berat, dan yang paling ringan kelalaian  menyebabkan orang lain tewas.

Namun, tidak ada satu pun yang terbukti di mata majelis hakim. Selang satu hari setelah palu diketok jaksa baru menyatakan kasasi.

Menurutnya itu terlambat. Sehingga ada celah terdakwa bebas. Seharusnya, dalam mengurus kasus berdarah, harus mengedepankan hati nurani, utamanya  ketika hakim memutus bebas.

Mestinya, saat masih arena meja hijau jaksa langsung menyatakan kasasi tanpa perlu berpikir panjang.

"Yang sedang dibela jaksa adalah nyawa. Harusnya mengedepankan hati nurani, kalau yang lain berpikir-pikir tidak apa-apa," ujar profesor yang akrab disapa Bowo itu.

Merasa Hakim Tendesius

M. Nairul Amani SH, tim pengacara keluarga Dini Sera Afrianti, membeberkan bahwa selama sidang, ia merasa majelis hakim menunjukkan sikap yang sangat tendesius pada pihak korban. Menurutnya, hakim sering kali menyela saat saksi memberikan keterangan. 

"Contohnya, sidang dengan agenda mendengarkan keterangan dari ahli forensik. Pada saat itu, ahli menerangkan hasil visum et repertum, tetapi hakim sering memutus atau menyela saat ahli memberikan keterangan," ucapnya ketika ditanya momen sidang yang paling diingat.

Pengacara berkacamata itu menjelaskan keanehan tidak hanya dalam hal memperlakukan saksi.

Seorang ahli yang bukan saksi, namun dihadirkan di persidangan untuk diminta menjelaskan temuan - temuan berdasarkan keahlian, malah ditanya soal kronologi

"Pertanyaannya kira-kira begini: bagaimana ahli tahu bahwa yang membunuh korban adalah terdakwa (Gregorius Ronald Tannur)? Hal ini membuat kami bertanya-tanya mengapa hakim berpikir demikian, padahal ahli hanya memberikan penjelasan berdasarkan temuan-temuan sesuai keahliannya (ilmu forensik). Kan lucu sekali," ucapnya.

Pengacara yang tergabung dalam  Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Tabur Pari itu merinci hal yang membuatnya sangat-sangat tidak habis pikir.

Ketika majelis hakim menjelaskan sebenarnya Gregorius Ronald Tannur menolong karena mengantarkan korban ke rumah sakit saat dalam kondisi kritis.

Dari rekontruksi yang diikuti ia berkeyakinan sebenarnya terdakwa sama sekali tidak ada niatan untuk mengantar Dini Sera Afrianti.

Berdasarkan gelar perkara Dini Sera Afrianti dan Gregorius Ronald Tannur yang merupakan sepasang kekasih tu ribut sejak keluar dari room karaoke Blackhole KTV.

Di lift menuju basement, terdakwa mencekik leher korban dan memukul kepala korban dengan botol tequila. Kekerasan berlanjut hingga basement.

Di basement, Dini Sera Afrianti dalam keadaan lemas dan terpengaruh alkohol duduk di luar sisi kiri mobil Gregorius Ronald Tannur.

Dini sempat duduk bersandar di pintu sebelah kiri mobil Gregorius Ronald Tannur.

Tanpa menghiraukan kekasihnya, Gregorius  Ronald Tannur lalu masuk dan menjalankan mobil. Walhasil, sebagian tubuh Dini terlindas dan terseret sejauh 5 meter.

"Visumnya menunjukkan banyak kerobekan di hati yang menyebabkan pendarahan hebat, sehingga itu yang menyebabkan kematian. Kerobekan majemuk itu akibat kekerasan dari benda tumpul, tapi kenapa hal ini tidak dimasukkan dalam pertimbangan?," ucapnya.

Pertanyaan bagaimana terdakwa bisa lepas  berputar-putar di kepalanya. Dia melihat betul saat rekontruksi Gregorius Ronald Tannur mengakui menganiaya korban hingga mereka ulang 60 adegan. Namun, semua itu dibantah terdakwa saat diadili Pengadilan Negeri Surabaya.

Menurutnya, kejanggalan tidak hanya terasa di dalam ruang persidangan. Saat kasusnya masih bergulir di ranah kepolisian sudah ada pihak yang berusaha mengaburkan penyebab kematian.

Polisi sempat menyebutkan Dini sakit lambung. Lalu ketika pihaknya mengusulkan agar jasad dilakukan autopsi namun malah ditolak.

"Tim pengacara itu sampai patungan untuk bayar autopsi. Padahal, sepanjang yang saya ketahui visum dalam perkara  pidana ditanggung negara," terangnya.

Prof Bowo menimpali, bahwa hakim memutus perkara berdasarkan keyakinan. Namun, keyakinan harus diimbangi dengan aturan.

Apa yang disampaikan jaksa, saksi, ahli, dan hasil autopsi seharusnya dibahas dalam sidang. Terlebih lagi, ketika ahli memberikan keterangan tidak boleh di harus didengarkan dengan seksama tidak boleh disela.

"Meskipun terdakwa ada niat untuk mengantar ke rumah sakit, seharusnya hal ini tidak bisa disimpulkan sebagai penghapusan perbuatannya. Asas hukum tidak bisa begitu saja terhapus," tegasnya.

Inilah yang membuat putusan menjadi polemik. Pengadilan Negeri Surabaya  setelah vonis bebas ada banyak karangan bunga tulisan menyindir.

Pengirimnya ada yang mengaku dari 'penikmat minuman keras', lalu ada juga yang mengatasnamakan dari 'mba-mba spa'.

Ditambah lagi, sejumlah kelompok masyarakat melakukan demo. Massa menduga majelis hakim yang memutus Gregorius Ronald Tannur masuk angin.

Tak Ada Istilah Jual Beli Dalam Hukum, Tapi Klien Boleh Diperjuangkan

Elok Dwi Kadja SH MH Cla. selaku Humas DPC Peradi Surabaya secara jujur mengaku heran dengan sederet bukti yang ada namun putusan hakim yang menyatakan korban tewas karena alkohol.

Namun, dia berprasangka bahwa hakim sudah memutus kasus ini sesuai keyakinan, sebab  ada dalil yang mengatakan lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. 

"Barangkali asas itu yang digunakan hakim," ucapnya.

Saat ditanya tentang asumsi apakah sebuah perkara bisa dibeli, ia meyakinkan  selama mendalami keilmuan hukum tidak ada istilah tersebut.

Namun, saat disinggung soal reputasi hukum yang tidak bagus-bagus amat, ia kemudian menjelaskan secara diplomatis.

"Penegak hukum di Indonesia ada empat; polisi, jaksa, hakim, dan pengacara. Kalau bilang enggak ada (istilah jual beli hukum) itu kok munafik sekali, tapi kalau istilah anak zaman sekarang itu YTTA atau Yang Tahu-Tahu Aja," ujarnya.

Pengacara sekaligus konsulat perkawinan itu menjelaskan lawyer adalah profesi yang mulia.

Dalam beracara (mengawal klien) diatur dalam Undang-Undang 18 tahun 2003, tentang advokat.

Di dalam Pasal 1 ayat 1 pada ketentuan umum dijelaskan advokat adalah orang yang memberikan jasa hukum di dalam maupun di luar pengadilan.

Tugas advokat lebih dirincikan dalam Pasal 6. Semuanya berkaitan dengan kode etik. Intinya dalam kode etik itu pengacara boleh melakukan apapun untuk memperjuangkan hak-hak klien, namun harus sesuai perundang-undangan.

"Sekalipun seorang terdakwa tetap memiliki hak-hak yang dilindungi undang-undang. Itu yang kami perjuangkan. Jadi kalau membela di sisi terdakwa bukan membela perbuatannya, tapi hak-haknya," tutupnya.

BACA BERITA SURYA.CO.ID LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved