Dari Surabaya Bobol Kartu Kredit Amerika
Penulis: Cak Sur |
[caption id="attachment_200905" align="alignleft" width="300" caption="BARANG BUKTI - Polisi menunjukkan barang bukti kartu kredit dan tersangka pembobolan kartu kredit di Mapolrestabes Surabaya, Senin (19/9). Foto: surya/sugiharto "]
[/caption]
SURABAYA | SURYA - Aksi kejahatan Franky alias Luki Limanto (50) sebelum akhirnya dibongkar anggota Polrestabes Surabaya, berjalan cukup mulus. Berbagai barang mewah yang dia inginkan, dibeli dengan mudah. Tinggal gesek kartu kredit, semuanya bisa terbeli. Rupanya Franky adalah salah satu pelaku praktik pembobolan kartu kredit berskala internasional (lintas negara).
Setiap kali pelesiran, Franky membawa sedikitnya 15 kartu kredit dari berbagai bank. Semuanya berisi uang dengan limit antara Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. Franky biasa beroperasi di pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya.
“Dia berbelanja di retail yang tidak mengecek data transaksi elektronik dengan detail,” tegas Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Indarto didampingi Kanit Pidek AKP Manang Soebeti, Senin (19/9).
Berbekal sejumlah kartu bekas yang dibeli dari seseorang seharga Rp 50.000, Franky mampu mengakses data elektronik pemegang kartu kredit nasabah bank di Jepang dan Amerika Serikat. Caranya, dengan membeli data kartu kredit baru dari seorang hacker (peretas komputer).
“Dia bertransaksi dengan seorang hacker yang menjual data kartu kredit dengan nama orang lain di luar negeri,” ungkap Indarto. Data kemudian dimasukkan ke laptop yang terhubung dengan skimmer yang juga dibeli Franky dari luar negeri.
Data kartu kredit bekas itu pertama-tama dikosongkan dengan alat skimmer lalu dimasuki data baru, juga menggunakan alat skimmer. “Dia beli data itu dari hacker seharga 20 sampai 30 dolar AS atau setara dengan Rp 300.000-an. Dengan uang segitu, Franky bisa menarik dana sebesar Rp 5 juta,” tambah AKP Manan Soebeti.
Skimmer milik Franky merupakan alat khusus yang dinamakan magnetic card reader (MCR) yang bisa memasukkan electronic data card atau data kartu kredit. Alat ini sebenarnya hanya boleh dimiliki bank yang menerbitkan kartu kredit saja. Polisi masih menelusuri dari mana Franky bisa mendapatkan peranti canggih itu.
Franky diduga telah beroperasi dalam beberapa tahun terakhir. Awalnya beroperasi di Jakarta, Franky kemudian mencoba peruntungan di Surabaya. Berbekal informasi ciri-ciri dan transaksi mencurigakan di Jakarta, tim yang dipimpin Kasubnit Pidek Iptu Ricky Firmansyah pun memburu Franky.
Beberapa hari mencari buruannya di berbagai mal di Surabaya, polisi akhirnya mengendus jejak Franky. Di Surabaya, kabarnya Franky tinggal Jl Teuku Umar. Polisi kemudian membuntuti Franky hingga masuk ke Tunjungan Plaza I lantai 3. Tak ingin buruannya kabur, polisi langsung melakukan penangkapan.
Saat digeledah, polisi menemukan 15 kartu kredit yang disimpan di dalam tas laptop dan dompetnya. Saat itu, Franky sudah bersiap hendak berbelanja. Polisi juga menyita dua laptop, skimmer dan KTP palsu.
Kepada Surya, Franky mengaku, mendapatkan ilmu membuat kartu kredit palsu itu dari internet. MCR atau alat untuk mengisi data baru juga didapatnya dari internet. “Fisik kartu kredit berbeda dengan datanya. Magnetic list-nya saya isi dengan data baru,” ujarnya singkat.
Ketua Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Jatim Dwi Yulianto mengatakan, modus kejahatan kartu kredit polanya semakin beragam. “Namun, modus scheming kartu bekas itu bukan modus baru dan hanya orang-orang dengan berkeahlian tertentu saja yang bisa melakukannya,” katanya, Senin (19/9).
Di zaman keterbukaan informasi, semakin sulit rasanya membendung arus pertukaran informasi data nasabah. “Antisipasinya memang harus dari nasabah itu sendiri, karena secara kode etik perbankan memang dilarang memperjualbelikan data nasabah. Tapi namanya oknum bisa saja terjadi, lagipula banyak cara mendapatkan informasi data nasabah jadi tidak hanya melalui bank yang bersangkutan,” ujarnya.
Misalnya, ketika nasabah bertransaksi online atau terjebak promo-promo online atau telemarketing gadungan dari bank.
Menurutnya, kewaspadaan tetap harus pada diri nasabah yang bersangkutan. “Bisa saja data kita juga dibobol sama oknum dari negara lain. Alasan lintas negara atau dipilih data nasabah dari luar negeri mungkin untuk meminimalisasi risiko ketahuan. Padahal ya sama saja risikonya. Merchant-merchant maupun bank-bank penerbit kartu kredit (issuer) itu sudah meningkatkan keamanan sedemikian rupa, jadi risiko pembobolannya semakin mudah diminimalisasi,” jelasnya.
Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan, selama enam bulan pertama di tahun 2011, jumlah kartu kredit yang beredar bertambah 657.411 kartu secara nasional. Total kartu yang ada di tangan nasabah pun bertambah mencapai 14.232.084 kartu per Juni 2011. Nilai transaksi mencapai Rp 15,33 triliun atau meningkat 9,6 persen dibanding Januari lalu.
[/caption]
SURABAYA | SURYA - Aksi kejahatan Franky alias Luki Limanto (50) sebelum akhirnya dibongkar anggota Polrestabes Surabaya, berjalan cukup mulus. Berbagai barang mewah yang dia inginkan, dibeli dengan mudah. Tinggal gesek kartu kredit, semuanya bisa terbeli. Rupanya Franky adalah salah satu pelaku praktik pembobolan kartu kredit berskala internasional (lintas negara).
Setiap kali pelesiran, Franky membawa sedikitnya 15 kartu kredit dari berbagai bank. Semuanya berisi uang dengan limit antara Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. Franky biasa beroperasi di pusat-pusat perbelanjaan di Surabaya.
“Dia berbelanja di retail yang tidak mengecek data transaksi elektronik dengan detail,” tegas Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Indarto didampingi Kanit Pidek AKP Manang Soebeti, Senin (19/9).
Berbekal sejumlah kartu bekas yang dibeli dari seseorang seharga Rp 50.000, Franky mampu mengakses data elektronik pemegang kartu kredit nasabah bank di Jepang dan Amerika Serikat. Caranya, dengan membeli data kartu kredit baru dari seorang hacker (peretas komputer).
“Dia bertransaksi dengan seorang hacker yang menjual data kartu kredit dengan nama orang lain di luar negeri,” ungkap Indarto. Data kemudian dimasukkan ke laptop yang terhubung dengan skimmer yang juga dibeli Franky dari luar negeri.
Data kartu kredit bekas itu pertama-tama dikosongkan dengan alat skimmer lalu dimasuki data baru, juga menggunakan alat skimmer. “Dia beli data itu dari hacker seharga 20 sampai 30 dolar AS atau setara dengan Rp 300.000-an. Dengan uang segitu, Franky bisa menarik dana sebesar Rp 5 juta,” tambah AKP Manan Soebeti.
Skimmer milik Franky merupakan alat khusus yang dinamakan magnetic card reader (MCR) yang bisa memasukkan electronic data card atau data kartu kredit. Alat ini sebenarnya hanya boleh dimiliki bank yang menerbitkan kartu kredit saja. Polisi masih menelusuri dari mana Franky bisa mendapatkan peranti canggih itu.
Franky diduga telah beroperasi dalam beberapa tahun terakhir. Awalnya beroperasi di Jakarta, Franky kemudian mencoba peruntungan di Surabaya. Berbekal informasi ciri-ciri dan transaksi mencurigakan di Jakarta, tim yang dipimpin Kasubnit Pidek Iptu Ricky Firmansyah pun memburu Franky.
Beberapa hari mencari buruannya di berbagai mal di Surabaya, polisi akhirnya mengendus jejak Franky. Di Surabaya, kabarnya Franky tinggal Jl Teuku Umar. Polisi kemudian membuntuti Franky hingga masuk ke Tunjungan Plaza I lantai 3. Tak ingin buruannya kabur, polisi langsung melakukan penangkapan.
Saat digeledah, polisi menemukan 15 kartu kredit yang disimpan di dalam tas laptop dan dompetnya. Saat itu, Franky sudah bersiap hendak berbelanja. Polisi juga menyita dua laptop, skimmer dan KTP palsu.
Kepada Surya, Franky mengaku, mendapatkan ilmu membuat kartu kredit palsu itu dari internet. MCR atau alat untuk mengisi data baru juga didapatnya dari internet. “Fisik kartu kredit berbeda dengan datanya. Magnetic list-nya saya isi dengan data baru,” ujarnya singkat.
Ketua Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Jatim Dwi Yulianto mengatakan, modus kejahatan kartu kredit polanya semakin beragam. “Namun, modus scheming kartu bekas itu bukan modus baru dan hanya orang-orang dengan berkeahlian tertentu saja yang bisa melakukannya,” katanya, Senin (19/9).
Di zaman keterbukaan informasi, semakin sulit rasanya membendung arus pertukaran informasi data nasabah. “Antisipasinya memang harus dari nasabah itu sendiri, karena secara kode etik perbankan memang dilarang memperjualbelikan data nasabah. Tapi namanya oknum bisa saja terjadi, lagipula banyak cara mendapatkan informasi data nasabah jadi tidak hanya melalui bank yang bersangkutan,” ujarnya.
Misalnya, ketika nasabah bertransaksi online atau terjebak promo-promo online atau telemarketing gadungan dari bank.
Menurutnya, kewaspadaan tetap harus pada diri nasabah yang bersangkutan. “Bisa saja data kita juga dibobol sama oknum dari negara lain. Alasan lintas negara atau dipilih data nasabah dari luar negeri mungkin untuk meminimalisasi risiko ketahuan. Padahal ya sama saja risikonya. Merchant-merchant maupun bank-bank penerbit kartu kredit (issuer) itu sudah meningkatkan keamanan sedemikian rupa, jadi risiko pembobolannya semakin mudah diminimalisasi,” jelasnya.
Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan, selama enam bulan pertama di tahun 2011, jumlah kartu kredit yang beredar bertambah 657.411 kartu secara nasional. Total kartu yang ada di tangan nasabah pun bertambah mencapai 14.232.084 kartu per Juni 2011. Nilai transaksi mencapai Rp 15,33 triliun atau meningkat 9,6 persen dibanding Januari lalu.