Teknologi Robotika Dunia Medis Terkendala Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Rumah Sakit

Kemajuan teknologi robotika di dunia medis membuka harapan baru bagi peningkatan layanan kesehatan di Indonesia.

|
Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: Titis Jati Permata
SURYA.co.id/Sulvi Sofiana
WORKSHOP - Dr. dr. Luthfi Gatam, Sp.OT-K.Spine, FICS, Ph.D menjelaskan teknologi robotika dalam Workshop dan Simposium ALERT 2025 di Surabaya, Minggu (23/11/2025). Kemajuan teknologi robotika di dunia medis membuka harapan baru bagi peningkatan layanan kesehatan di Indonesia. 
Ringkasan Berita:
  • Kemajuan teknologi robotika di dunia medis membuka harapan baru peningkatan layanan kesehatan di Indonesia. Namun terbentur keterbatasan tenaga kesehatan dan minimnya fasilitas rumah sakit.
  • Spesialis Bedah Ortopedi Dr dr Luthfi Gatam SpOT-KSpine FICS menyebut Indonesia maju dalam penggunaan teknologi medis berbasis robotik. Tantangannya, belum bisa dijangkau semua orang
  • Luthfi menilai Indonesia masih kekurangan tenaga dokter spesialis, yang menentukan keberhasilan pemanfaatan teknologi canggih

 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Kemajuan teknologi robotika di dunia medis membuka harapan baru bagi peningkatan layanan kesehatan di Indonesia.

Namun, implementasinya dinilai masih terbentur dua persoalan besar, yaitu keterbatasan tenaga kesehatan dan minimnya fasilitas rumah sakit. 

Hal ini disampaikan Spesialis Bedah Ortopedi, Dr. dr. Luthfi Gatam, Sp.OT-K.Spine, FICS, Ph.D, serta Plh. Direktur Utama Rumah Sakit Kemenkes Surabaya, dr. Martha Muliana Lumogom Siahaan, S.H., MARS., M.H.Kes dalam Workshop dan Simposium ALERT 2025, Mjnggu (23/11/2025).

Dr Luthfi mengatakan Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup maju dalam penggunaan teknologi medis berbasis robotik.

Baca juga: Cek Kesehatan Kemenkes 2025 : Kisah Dewi Perawat Lulusan Unair Menjaga Nyawa di Ujung Maluku

Bahkan, Indonesia menjadi salah satu yang pertama di kawasan Asia yang mengadopsi teknologi tersebut.

“Indonesia ini termasuk negara pertama yang menggunakan robotik di kawasan kita. Jadi sebenarnya teknologi kita maju. Tantangannya adalah, teknologi ini belum bisa dijangkau semua orang,” ujarnya.

Harga Teknologi Robotik Tinggi

Menurutnya, persoalan akses menjadi krusial karena harga teknologi atau tindakan medis robotik masih relatif tinggi.

Jika biaya dapat ditekan hingga di bawah Rp 1 miliar, ia yakin layanan tersebut bisa dinikmati masyarakat lebih luas.

“Kalau bisa diwujudkan teknologi dengan harga di bawah Rp 1 miliar, saya rasa hampir semua pasien bisa menjangkaunya. Ini akan jadi tonggak penting bagi pelayanan kesehatan kita,” katanya.

Di sisi lain, Dr Luthfi menilai Indonesia masih kekurangan tenaga medis, terutama dokter spesialis, yang akan menentukan keberhasilan pemanfaatan teknologi canggih.

“Kita masih berjuang mencetak dokter spesialis dalam jumlah cukup. Sampai sekarang masih belum terkejar,” ujarnya.

Ia juga menyinggung aturan promosi layanan medis yang dianggap menghambat perkembangan dunia kesehatan.

Dokter tidak diperbolehkan melakukan promosi atau menerima testimoni pasien karena aturan etika profesi, sementara fasilitas kesehatan asing justru leluasa berpromosi di Indonesia.

“Dokter di sini nggak boleh promosi. Pasien mau kasih testimoni saja nggak boleh. Tapi negara tetangga bebas masuk ke media sosial kita dan promosi layanan mereka,” jelasnya.

Keterbatasan Sarana dan SDM

Sementara itu, Plh. Direktur Utama Rumah Sakit Kemenkes Surabaya, dr. Martha Muliana Lumogom Siahaan, menegaskan masalah terbesar dunia kesehatan Indonesia bukan hanya teknologi, tetapi juga keterbatasan sarana dan sumber daya manusia.

“Rumah sakit Kemenkes sekarang ada 41. Kita butuh sekali fasilitas kesehatan. Bukan cuma dokter yang kurang, perawat juga sama. Kita suffer dengan jumlah perawat,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa kebutuhan tenaga kesehatan sangat beragam, mulai dari perawat jantung, perawat bedah, perawat ICU, analis kesehatan, fisioterapis, ahli gizi hingga radiografer. Hampir semua kategori mengalami kekurangan.

“Semua nakes dibanding jumlah penduduk kita itu tidak cukup,” tegasnya.

Ia memaparkan bahwa hingga September 2025, jumlah rumah sakit di Indonesia diperkirakan hanya mencapai sekitar 3.200–3.500 unit, dengan mayoritas merupakan rumah sakit swasta.

“Sebanyak 63,5 persen adalah rumah sakit swasta. Keberadaan rumah sakit dibanding jumlah penduduk itu masih sangat kurang,” katanya.

Ketimpangan Akses Kesehatan

Ia juga menyoroti ketimpangan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan, terutama bagi warga di daerah terpencil.

“Tidak semua orang mudah mencapai rumah sakit. Bahkan di Jawa Timur masih banyak dusun yang jauh dari fasilitas kesehatan,” ujarnya.

Di antara ribuan rumah sakit tersebut, dr. Martha menyebut rumah sakit kelas C adalah yang paling mendominasi, sedangkan rumah sakit kelas A yang memiliki layanan paling lengkap jumlahnya sangat terbatas.

Baca juga: Workshop ALERT 2025 RSUP Kemenkes Surabaya : Optimalkan Sistem Kegawatdaruratan Indonesia

“Dari sekitar 3.200 rumah sakit, paling banyak kelas C. Kelas A hanya 84,” ungkapnya.

Ia menegaskan, jika Indonesia ingin maksimal memanfaatkan teknologi medis seperti robotika, maka pembangunan fasilitas kesehatan perlu dipercepat dan pemerataan SDM kesehatan harus dilakukan secara serius.

“Teknologi itu penting, tapi tanpa tenaga kesehatan dan fasilitas yang memadai, kita tidak bisa bergerak jauh,” pungkasnya.

BACA BERITA SURYA.CO.ID LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved