Desainer Muda Universitas Ciputra Surabaya Didorong Angkat Nilai Lokal di Tengah Gelombang GenAI

Universitas Ciputra (UC) Surabaya mengingatkan pentingnya kesadaran nilai lokal dalam proses desain di era GenAI

Penulis: Sulvi Sofiana | Editor: irwan sy
Universitas Ciputra
INDUSTRI KREATIF - Dr Fanny Suhendra dari Swinburne University of Technology Australia memaparkan materi tentang 'Intersectionality in Design' dalam diskusi yang digelar School of Creative Industry Universitas Ciputra Surabaya, Rabu (12/11/2025). Di tengah cepatnya adopsi Generative Artificial Intelligence (GenAI) dalam industri kreatif global, Universitas Ciputra (UC) Surabaya mengingatkan pentingnya kesadaran nilai lokal dalam proses desain melalui diskusi bertajuk 'The Role of Your Design Positionality and Pluriversality in the Era of GenAI'. 
Ringkasan Berita:
  • UC Surabaya bahas peran nilai lokal (positionality & pluriversality) dalam desain di era Generative AI (GenAI).
  • GenAI mempercepat produksi, namun berisiko menyeragamkan estetika dan kurang memahami konteks budaya/sosial.
  • Desainer muda didorong memahami tanggung jawab sosial dan nilai yang dibawa agar tidak sekadar pengguna teknologi.
  • Survei McKinsey (2023) menunjukkan 40 persen desainer muda pakai GenAI, tapi hanya 12 % di Asia Tenggara pertimbangkan konteks etika/budaya.

 

SURYA.co.id | SURABAYA – Di tengah cepatnya adopsi Generative Artificial Intelligence (GenAI) dalam industri kreatif global, Universitas Ciputra (UC) Surabaya mengingatkan pentingnya kesadaran nilai lokal dalam proses desain melalui diskusi bertajuk 'The Role of Your Design Positionality and Pluriversality in the Era of GenAI', Rabu (12/11/2025).

Kegiatan yang digelar oleh School of Creative Industry (SCI) UC ini menghadirkan Dr Fanny Suhendra, Academic Director of Partnerships, School of Design and Architecture dari Swinburne University of Technology, Australia.

Baca juga: Universitas Ciputra Gandeng Wahyoo Venture Kupas Bisnis dan Investasi di Era Web3

Selain berbagi wawasan, kedatangan delegasi Swinburne juga menandai inisiasi kerja sama double degree antara dua institusi tersebut.

Menurut Susan, Dekan SCI Universitas Ciputra, kehadiran AI memang mempercepat produksi visual, namun berisiko menimbulkan keseragaman estetika.

“AI bisa menggambar lebih cepat, tapi belum tentu memahami konteks sosial dan budaya di balik desain. Di sinilah pentingnya positionality, agar desainer muda tahu dari mana ia berpikir, nilai apa yang dibawa, dan siapa yang diwakili karyanya,” ujarnya.

Industri Kreatif Bersentuhan dengan Teknologi AI

Lebih lanjut, pendekatan pluriversality disebut menjadi cara untuk menolak dominasi tunggal dalam estetika global, dengan menonjolkan cara berpikir yang berakar pada budaya Nusantara.

Laporan World Economic Forum (2024) mencatat sekitar 60 persen pekerjaan di industri kreatif kini bersentuhan langsung dengan teknologi AI.

Sedangkan survei McKinsey (2023) menunjukkan 40 persen desainer muda telah menggunakan generative tools seperti Midjourney atau ChatGPT, namun hanya 12 persen di Asia Tenggara yang mempertimbangkan konteks etika dan budaya saat menggunakannya.

“Kami ingin mahasiswa tidak hanya mahir menggunakan AI, tapi juga paham tanggung jawab sosial di balik karya mereka,” tambah Susan.

Melalui pendekatan tersebut, UC berharap lahir generasi desainer muda yang tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta narasi baru yang berakar pada nilai lokal.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved