Jombang Jadi Rumah Awal Kelahiran Ludruk: Jejak Lerok dan Besutan yang Mulai Redup dari Ingatan

Jombang, Jatim, menjadi tempat kelahiran Ludruk melalui tradisi Lerok dan Besutan yang tumbuh sejak awal abad ke-20.

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Anggit Puji Widodo
BUDAYAWAN - Budayawan Kabupaten Jombang, Nasrul Illah atau Cak Nas saat ditemui di kediamannya di Desa Plandi, Kecamatan/Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Rabu (19/11/2025). Di tengah riuh peradaban budaya Jawa Timur, Kabupaten Jombang memang jarang mendapat sorotan sebagai 'rumah pertama' bagi kelahiran Ludruk, sebuah seni pertunjukan rakyat yang telah mewarnai identitas masyarakat Jawa Timur selama lebih dari satu abad. 

Kelompok ini dikenal membawa pantun semboyan yang melekat di benak warga:

"Keong nyemplung neng blumbang, tinimbang nyolong aluwung mbarang," ujar  Cak Nas menirukan bacaan pantun tersebut. 

Ungkapan itu, mencerminkan pandangan moral masyarakat waktu itu, lebih baik hidup sederhana daripada melakukan hal tercela.

Sekitar tahun 1915, Lerok mulai berkembang menuju bentuk pertunjukan yang lebih terstruktur, disanalah lahir Besutan.

Besutan, Cermin Suara Rakyat

Besutan hadir dengan struktur layaknya drama panggung. Tidak lagi hanya berisi lawakan, tetapi juga alur cerita, karakter dan konflik. Setiap tokoh merepresentasikan bagian dari masyarakat. 

Kata Cak Nas, ada beberapa karakter dalam pertunjukan besutan kala itu. Ia mengingat, ada karakter seperti Besut, seorang rakyat kecil yang jujur dan berani.

Ada Rusmini, perempuan Jawa yang anggun dan setia.

Sumo Gambar, orang kaya yang manipulatif.

Man Gondo, figur kolonial yang digambarkan bengis dengan riasan putih.

Alur cerita pementasannya adalah konflik utama, biasanya berputar pada cinta segitiga antara Besut, Rusmini dan Sumo Gambar, dibungkus kritik pada ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi.

Namun bagian paling sakral justru muncul sebelum lakon dimulai, sebuah ritual simbolik.

Dalam ritual itu, Besut dituntun oleh Man Gondo. Mata Besut tertutup, mulutnya disumbat susur, tubuhnya dipaksa merangkak. Obor menyala digenggam Man Gondo, seakan menunjukkan siapa yang memegang kuasa.

"Ritual itu menggambarkan rakyat yang terbelenggu, tidak memiliki suara dan hidup dalam tekanan kolonial," jelas Cak Nas yang juga adik kandung dari Emha Ainun Najib, atau Cak Nun ini. 

Ritual ini memuncak saat Besut meraih dan memadamkan obor tersebut. Cahaya redup itu menandakan titik balik kebangkitan dan keberanian rakyat.

Setelahnya, Besut menari gagah di atas gadhogan panggung bambu sederhana dengan cahaya damar sewu menerangi malam.

Sumber: Surya
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved