Sound Horeg Kerap Diputar Semalaman, LK PBNU di Jombang Sebut Membahayakan Kesehatan Telinga

Masalahnya, gangguan pendengaran bukan penyakit yang langsung terasa. Efeknya bertahap, seringkali tanpa disadari hingga sudah terlambat

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Deddy Humana
Istimewa Instagram Darul Ulum Official
KONTROVERSI SOUND HOREG - KH M Zulfikar As’ad atau Gus Ufik, Ketua Lembaga Kesehatan (LK) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjelaskan bahaya paparan getaran sound horeg untuk kesehatan telinga. 


SURYA.CO.ID, JOMBANG - Bagi sebagian masyarakat, kemeriahan pesta pernikahan atau hajatan belum lengkap tanpa dentuman sound system berdaya tinggi yang mengguncang lantai dan memekakkan telinga.

Fenomena ini dikenal dengan sebutan 'sound horeg', sistem pengeras suara dengan kekuatan ekstrem yang akhir-akhir ini semakin marak digunakan, terutama di wilayah pedesaan.

Di balik gegap gempita itu, ada bahaya serius yang mengintai bukan hanya gangguan kenyamanan warga, tetapi juga ancaman nyata bagi kesehatan pendengaran. 

Hal ini yang menjadi perhatian Ketua Lembaga Kesehatan PBNU (LK PBNU), KH M Zulfikar As’ad atau Gus Ufik. Dalam keterangannya, Kamis (24/7/2025), Gus Ufik mengingatkan bahwa paparan suara di atas ambang batas aman dapat mengakibatkan gangguan pendengaran permanen. 

“WHO dan Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa paparan suara di atas 85 desibel selama lebih dari 15 menit dapat merusak pendengaran. Sedangkan realitanya, sound horeg bisa mencapai lebih dari 100 desibel,” kata Gus Ufik. 

Masalahnya, gangguan pendengaran bukan penyakit yang langsung terasa. Efeknya bertahap, seringkali tanpa disadari hingga sudah terlambat. 

Gus Ufik menyebut, selain hilangnya pendengaran secara pelahan, gangguan lain seperti tinnitus (denging telinga), stress, bahkan kerusakan fisik bangunan juga bisa terjadi akibat tekanan suara berlebih.

Di beberapa daerah, kejadian kaca pecah, genteng bergetar, dan ketegangan antar warga sudah menjadi bukti bahwa sound horeg tak bisa dianggap remeh.  Hal ini pun diperparah dengan minimnya kesadaran hukum maupun pemahaman tentang resiko kesehatan.

“Fenomena ini bukan cuma soal estetika hiburan. Ini sudah masuk ranah kesehatan masyarakat,” tegas pria yang juga Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang ini. 

Penggunaan pengeras suara memang telah menjadi bagian dari tradisi sosial. Namun ketika tradisi berpotensi mengganggu atau bahkan mencelakai, maka intervensi melalui edukasi dan regulasi menjadi penting. 

Dalam hal ini, Gus Ufik memberikan apresiasi terhadap langkah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang mengeluarkan fatwa soal larangan penggunaan sound horeg secara berlebihan.

“Saya yakin fatwa tersebut bukan keputusan seketika. Pasti ada gelombang keluhan dari masyarakat yang resah,” katanya.

Namun demikian, Gus Ufik menekankan pentingnya pendekatan edukatif. Menurutnya, pembatasan atau bahkan pelarangan tidak akan efektif tanpa diikuti oleh peningkatan kesadaran masyarakat, khususnya para penyedia jasa sound system dan para penyelenggara hajatan.

Solusi ideal bukan berarti mematikan hiburan rakyat. Yang dibutuhkan adalah penggunaan sound system yang bijak dan sesuai standar kesehatan. 

Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta tokoh masyarakat punya peran penting dalam membangun pemahaman ini.

Halaman
12
Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved