Terjerat Rayuan Bekerja di Kantor Pos, Warga Tulungagung Bayar Rp 310 Juta Untuk Ngantor di Warkop

Menurut Fitri, kasus ini bermula di tahun 2021 ketika FHN menawari pekerjaan sebagai pegawai kantor pos untuk PR, anak Masrikah.

Penulis: David Yohanes | Editor: Deddy Humana
istimewa
KORBAN PENIPUAN - Masrikah (dua dari kanan) dan pengacaranya, Fitri Erna membuat laporan ke Polres Tulungagung, Kamis (22/5/2025) lalu. Masrikah mengalami kerugian Rp 225 setelah diduga ditipu FHN dengan modus bisa memasukkan anaknya menjadi pegawai Kantor Pos. 

SURYA.CO.ID, TULUNGAGUNG - Masrikah (53) warga Desa/Kecamatan Ngantru melaporkan FHN, seorang perempuan warga Desa Kendalbulur, Kecamatan Boyolangu.

Masrikah mengaku telah ditipu oleh FHN hingga mengalami kerugian mencapai Rp 225 juta. Modusnya, FHN menjanjikan bisa memasukkan anak Masrikah menjadi pegawai Kantor Pos Tulungagung

"Kami sudah membuat laporan ke Polres Tulungagung pada 22 Juni 2024 lalu," ujar penasihat hukum Masrikah, Fitri Erna, Rabu (4/6/2025).

Menurut Fitri, kasus ini bermula di tahun 2021 ketika FHN menawari pekerjaan sebagai pegawai kantor pos untuk PR, anak Masrikah. Masrikah awalnya kurang berminat, namun FHN datang ke rumahnya dan terus membujuknya.  

Masrikah akhirnya sepakat, lalu FHN meminta uang Rp 50 juta sebagai persyaratan dan mengurus administrasi.  "Saat itu FHN minta uang tali istilahnya. Klien kami membayar Rp 20 juta," sambung Fitri. 

Esoknya Masrikah kembali membayar Rp 5 juta lewat transfer antar rekening.  Selanjutnya pembayaran dilakukan bertahap hingga genap Rp 50 juta. 

Namun setelah uang yang disyaratkan lunas dibayar, PR tidak kunjung bekerja. FHN malah minta tambahan uang jaminan agar anak Masrikah bisa diterima sebagai pegawai Kantor Pos. 

Uang jaminan ini akan dikembalikan seutuhnya setelah PR bekerja. Masrikah kembali menyerahkan uang kepada FHN secara bertahap hingga totalnya sejumlah Rp 310 juta. 

"Masih di tahun 2021, FHN menyerahkan 4 jenis kain seragam Kantor Pos, serta petunjuk menjahitkan seragam. Ada yang warga oranye, abu-abu dan kain batik khas Tulungagung," jelas Fitri. 

Setelah kain seragam itu dijahitkan, ternyata  PR juga tidak kunjung bekerja. FHN kembali menghubungi, menyatakan PR sudah bisa bekerja namun terkendala pandemi Covid-19.

Karena kondisi pandemi, PR disuruh bekerja namun di bagian lapangan.  Pada hari kerja, PR disuruh berangkat dari rumah namun tidak ke Kantor Pos, melainkan disuruh menunggu di sebuah warung kopi.

Alasannya, nanti jika ada perintah PR akan dipanggil untuk mengerjakan tugas.  Setelah beberapa pekan, PR menerima uang Rp 1,2 juta dari Hesti yang disebut sebagai gaji pertamanya. 

"Karena setiap hari ngantor di warung kopi, akhirnya anak pelapor ini tidak mau meneruskan. Pelapor mau supaya uangnya dikembalikan semua," tutur Fitri.

FHN sanggup mengembalikan dengan cara diangsur, dimulai dari Rp 10 juta.  Selanjutnya Masrikah menerima pengembalian dengan nominal kecil, mulai Rp 1 juta, bahkan Rp 500.000 hingga terkumpul Rp 70 juta. 

Setelah itu tidak ada pengembalian lagi sehingga Masrikah minta pendampingan hukum kepada Fitri.  Sempat terjadi mediasi hingga ada tambahan pengembalian Rp 15 juta, hingga total pengembalian menjadi Rp 85 juta.

Halaman
12
Sumber: Surya
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved