Warga Ramai-ramai Datangi Kantor Bapenda Jombang, Protes Kenaikan NJOP yang Dinilai Tak Wajar

Keberatan atas kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dinilai tidak wajar, membuat demo kantor Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Jombang

SURYA.co.id/Anggit Pujie Widodo
WARGA DEMO BAPENDA - Protes warga didepan kantor Bapenda Jombang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, soal kenaikan NJOP pada Kamis (8/5/2025). Warga sampaikan keberatan atas kenaikan NJOP yang dinilai tidak masuk akal. 

SURYA.CO.ID, JOMBANG - Keberatan atas kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dinilai tidak wajar, membuat warga yang tergabung dalam Forum Rembug Masyarakat Jombang (FRMJ) Kabupaten Jombang demo kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Jombang, Kamis (8/5/2025). 

Mereka aksi menggeruduk kantor Bapenda Jombang karena keberatan atas kenaikan NJOP yang tidak wajar dan pengenaan pajak terhadap fasilitas ibadah seperti musala.

Joko Fatah Rochim ketua FRMJ Jombang mengatakan, pihaknya kecewa atas lonjakan NJOP yang dianggap melejit.

Ia memberi contoh seperti kenaikan NJOP tanah miliknya, dari Rp 300 ribu menjadi Rp 1,4 juta dengan NJOP mencapai Rp 4 juta. 

Pihaknya juga menyoroti perihal tingginya biaya jual beli yang mencapai 25 persen. "Kami banyak menerima keluhan dari masyarakat terkait dengan penawaran yang sangat gila itu," ucapnya. 

Selain itu, pihaknya juga mempersoalkan adanya pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap musala

Ia mengaku heran, mengapa tempat ibadah bisa dikenakan pajak. Padahal, menurutnya, bukti pelunasan pajak Musala tersebut sudah ada. 

"Maka dari itu saya kok heran. Musala saja kena, saya ikut heran. Itu Musala, belum masjidnya. Harusnya tahu kenapa kok sampai dikenakan pajak dan itu sudah dibayar, bukti pelunasannya juga ada," ungkapnya.

Pihaknya juga mendesak Bupati Jombang Warsubi untuk merevisi Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 5 Tahun 2024 terkait NJOP.

Mereka menilai peraturan tersebut tidak masuk akal dan memberatkan masyarakat kecil.

"Saya minta kepada Bupati Jombang untuk merevisi Perda nomor 5 tahun 2024. Itu peraturan bupati dan harus direvisi," bebernya. 

Sementara itu, menanggapi aksi dan tuntutan massa, Kepala Bapenda Jombang, Hartono menjabarkan jika penetapan NJOP tahun 2024 merupakan hasil penilaian yang dilakukan pada tahun 2022 sebelum ia menjabat. 

"Tahun 2022 sebelum saya di sini itu sudah ada apraisalnya. Waktu itu sudah didata bersama 50 apresel dan pendatang, kemudian diterapkan di tahun 2024," kata Hartono saat dikonfirmasi. 

Hartono juga mengamini apa yang disampaikan Fattah, bahwa banyak aduan dari masyarakat. Pada tahun 2024, tercatat sekitar 11 ribu Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diajukan keberatan dan telah diperbaiki. 

Dirinya menegaskan jika Bapenda siap melakukan penilaian ulang terhadap objek pajak yang memang dinilai tidak sesuai.

"Jadi, siapa saja yang merasa keberatan, sebenarnya kami siap menilai ulang untuk dinilai. Bukan di apraisal, tapi dinilai namanya. Jadi bisa ditinjau, datang ke lokasinya, apakah benar harganya segitu," imbuhnya. 

Perihal pengenaan pajak terhadap fasilitas umum seperti Musala. Hartono telah menyampaikan kepada kepala desa jika fasilitas seperti makam, masjid, Musala dan tanah wakaf seharusnya tidak dikenakan pajak. 

Hartono menduga ada ketidakpahaman atau kelalaian dari pihak desa dalam menerapkan aturan tersebut.

"Saya sudah sampaikan ke kepala desa bahwa fasilitas umum tidak dikenakan pajak, yakni makam, masjid, musala, tanah wakaf ini tidak dikenakan pajak. Hanya terkadang desa itu tidak menghiraukan apa hasil yang kita sampaikan," ungkapnya. 

Hartono melanjutkan, sistem zonasi pajak yang sebelumnya diterapkan menggunakan sistem blok (satu blok tarifnya sama) sedang dalam perbaikan.  

Bersama pemerintah desa, pihaknya sudah melakukan pendataan massal untuk menentukan zona yang lebih adil. Dimana tarif pajak akan disesuaikan dengan lokasi dan nilai strategis tanah. 

"Model penerapan pajak dulu itu kita menggunakan sistem blok. Jadi kalau satu blok ini di apraisal depan akhirnya ke belakang pun sama dan itu sudah kita perbaiki bersama desa untuk menentukan zona. Jadi zona yang pinggir jalan akan gak sama dengan zona yang lapis kedua dan ketiga ini sedang kita perbaiki," bebernya. 

Lebih lanjut, dirinya berharap, perbaikan sistem zonasi ini bisa diterapkan pada tahun 2026 mendatang.

Terkait adanya protes dari masyarakat, pihaknya menerima dan akan menindaklanjuti setiap keberatan yang diajukan.

"Terkait adanya protes ini sebenarnya bukan kecolongan karena memang data itu jumlahnya sekitar 780 ribu dan kami sudah memperbaiki sekitar 11 ribu data tahun 2024. Kemudian tahun 2025 ini sedang berjalan juga," pungkasnya. 

BACA BERITA SURYA.CO.ID LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved