Hikmah Ramadan 2025

Merawat Kemabruran Puasa 9 - Menebar Energi Positif

Menebarkan energi positif bagian dari misi suci Ramadan. Qalbu yang sehat, itulah yang akan meraih sukses.

Editor: Cak Sur
Istimewa
Menteri Agama, Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA. 

Oleh : Menteri Agama, Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA

SURYA.CO.ID - Menebarkan energi positif bagian dari misi suci Ramadan. Perbuatan yang menyedot energi orang seperti riya dan ambisi berlebihan, termasuk contoh menyedot energi orang lain sekaligus berarti menebarkan energi negatif. 

Kemampuan seseorang untuk meraih simpati, respek, cinta, dan empati orang lain adalah salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan. 

Inti silaturrahim sesungguhnya, tidak lain adalah untuk saling membahagiakan satu sama lain. 

Penampilan yang ceria, tutur kata yang indah dan akhlak yang santun akan menumbuhkan simpati orang lain. 

Begitu pentingnya kelemahlembutan itu maka Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barangsiapa tidak diberi kelemahlembutan, maka dia telah terhalang dari semua kebaikan.” 

Seorang bijak pernah mengatakan: “Kelemahlembutan itu mampu menarik ular keluar dari liangnya.” 

Orang bijak lain mengatakan: “Ambillah madunya, tapi jangan merusak sarangnya.”

Jika seseorang secara konsisten mampu menjalani kehidupannya penuh dengan kelemahlembutan, maka bukan saja mendatangkan kebahaagiaan permanen di dalam diri dan keluarganya, tetapi segenap lingkungan masyarakat tempat ia berdomisili juga merasakan kebahagiaan itu. 

Orang-orang seperti ini, mampu mengalirkan energi positif ke dalam lingkungan komunitasnya. Entah itu di kantor, di lingkungan perumahan atau di pusat-pusat ibadah setempat. 

Orang-orang seperti ini sering dikatakan: Kepergiannya adalah kehilangan dan kehadirannya adalah kebahagiaan. 

Berbeda dengan orang-orang kebalikannya, yang karakternya selalu menebar energi negatif di lingkungannya, sering dikatakan: Datang tidak menguntungkan pergi tak mengurangi. 

Bahkan ada orang yang mengatakan: “Kepergiannya Alhamdulillah dan kedatangannya inna lillah”.

Dalam era masyarakat modern, kepemimpinan masyarakat sudah meninggalkan era kepemimpinan tradisional, di mana pimpinan lebih ditentukan oleh tokoh dan figur tradisional, yang secara turun temurun diakui ketokohannya di dalam masyarakat. 

Pola regenerasi dan suksesinya juga dengan cara tradisional, yaitu diwariskan secara turun temurun kepada keturunan mereka atau pemilik ‘darah biru’. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved