KUHAP Akan Hapus Penyelidikan, Guru Besar UTM : Picu Ambiguitas Kewenangan Polisi, Jaksa dan Hakim

“Sehingga saat KUHAP itu diundangkan, sudah bisa dipastikan bahwa prinsip sistem peradilan pidana itu terpenuhi,” jelas Deny

Penulis: Ahmad Faisol | Editor: Deddy Humana
surya/ahmad faisol (edo)
KETIMPANGAN KUHAP - Kegiatan diskusi membahas kontroversi atas revisi KUHAP oleh Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura (FH UTM) di lantai 10 Gedung Rektorat UTM, Senin (17/2/2025). 


SURYA.CO.ID, BANGKALAN – Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura (FH UTM) menggelar Forum Group Discussion (FGD) di lantai 10 Gedung Rektorat UTM, Senin (17/2/2025). 

FGD tersebut sebagai respons atas maraknya sorotan terhadap wacana revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terutama berkaitan beberapa ketentuan yang dinilai masih memiliki ketimpangan. 

FGD itu memilih tema, ‘Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Perundang-undangan terkait RUU KUHAP’ dengan harapan mengembalikan desentralisasi kewenangan tiga pilar penegak hukum, yakni Polri, Jaksa, dan Hakim.   

Guru Besar FH UTM, Prof Dr Deni SB Yuherawan, SH MS selaku pemateri mengungkapkan, para akademisi dan mahasiswa di FGD ini tentu ingin memberikan kontribusi pemikiran positif dan progresif tentang bagaimana sebenarnya sistem peradilan pidana nanti dengan adanya RUU KUHAP.

“Ketika sudah diundangkan nantinya, itu harus smooth dan akomodatif serta mempunyai tujuan jelas. Yakni kewenangan masing-masing organ harus jelas, tidak ambigu, dan tidak overlapping,” ungkap Deni.

Deni adalah Dewan Pertimbangan DPP Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi serta Dewan Penasihat DPW Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Jawa Timur. 

Salah satu poin yang krusial dalam RUU KUHAP yang terus menjadi sorotan adalah penghapusan tahap penyelidikan dalam proses hukum. 

Padahal penyelidikan adalah tahap awal yang sangat krusial dan penting untuk menentukan apakah sebuah perkara layak dilanjutkan ke tahap selanjutnya, yakni penyidikan.

Di tengah wacana revisi RUU KUHAP itu, bermunculan silang pendapat tentang  kewenangan penyidikan. 

Di antaranya menyatakan bahwa kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan, ada yang ragu-ragu tentang berwenang tidaknya kejaksaan dalam penyidikan, dan bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa kejaksaan tidak mempunyai kewenangan penyidikan.

Perbedaan pendapat ini semuanya mengacu kepada beberapa aturan, yaitu Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo Pasal 17 PP Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, Pasal 26 Undang-undang Tipikor, Pasal 44 ayat (4) serta Pasal 50 ayat (1), (2), (3), Undang-undang KPK, dan Pasal 30 ayat (1) huruf d  Undang-undang Kejaksaan.

Deni menjelaskan, pihaknya menekankan agar lebih cakap dan peka terhadap persoalan-persoalan kewenangan di level lembaga aparat penegak hukum. Karena itu hal-hal yang sifatnya distortif dan ambigu harus dihilangkan terlebih dahulu. 

“Sehingga saat KUHAP itu diundangkan, sudah bisa dipastikan bahwa prinsip sistem peradilan pidana itu terpenuhi,” jelas Deny.

Ia berharap, FGD ini mampu menjadi ruang dialog yang inklusif untuk menggali perspektif multiaspek dan multidimensional yang sangat penting untuk dijadikan bahan rekomendasi bagi proses legislasi yang lebih komprehensif dan partisipatif di kemudian hari. 

Selain itu, FGD tersebut sebagai upaya menjawab tantangan dan kebutuhan tentang problematika  kewenangan penyidikan oleh Polri, KPK maupun Kejaksaan. 

Halaman
12
Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved