Kapal Induk atau Pulau Terdepan?

Sebagai negara dengan anggaran pertahanan terbatas termasuk kebijakan penghematan APBN, sudah selayaknya Indonesia bijak dalam mengalokasikan dana.

Editor: Adrianus Adhi
Istimewa
Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional, FISIP Universitas Airlangga 

SURYA.co.id, SURABAYA - Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi tantangan besar dalam menjaga kedaulatan maritimnya.

Dengan posisi strategis di peta maritim global dengan lebih dari 17.000 pulau yang tersebar di sepanjang khatulistiwa dan mendeklarasikan Poros Maritim Dunia pada tahun 2014, Indonesia memerlukan pembaruan proyeksi strategi kekuatan laut yang solid untuk menghadapi ancaman seperti pelanggaran wilayah hingga sengketa perbatasan seperti di Laut Natuna Utara.

Kedatangan Charles de Gaulle yang berlabuh di Pelabuhan Lembar, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat beberapa waktu lalu mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan kepemilikan kapal induk untuk memperkuat angkatan laut menjadi blue water navy.

Pertimbangan KASAL Laksamana Mochammad Ali untuk memiliki kapal induk tentu tidak dapat serta merta dipandang karena “takut ketinggalan” mengingat konsekuensi strategis yang ada di baliknya.

Indonesia sendiri perlu mendefinisikan ulang yang dimaksud apakah Landing Helicopter Dock (LHD) atau Landing Platform Dock (LPD) yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan pertahanan negara kepulauan dan kebutuhan operasi pendaratan Marinir, atau justru aircraft carrier sebagaimana dioperasikan oleh negara-negara kekuatan maritim global.

Perdebatan ini menjadi relevan dalam konteks kebutuhan militer dan diplomasi Indonesia di masa depan.

Perlukah Indonesia Memiliki Kapal Induk?

Laporan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Juni hingga Oktober 2024 mencatat peningkatan aktivitas kapal penjaga pantai dan milisi maritim Tiongkok di Laut Natuna Utara, termasuk masuknya CCG 5402 yang membayangi kapal survei migas Geo Coral, memicu respons dari Bakamla dan TNI AL.

USS Gerald R. Ford
Dalam gambar yang dirilis oleh Departemen Pertahanan AS, kapal induk terbesar di dunia USS Gerald R. Ford berlayar selama operasi pengisian bahan bakar di laut di Laut Mediterania timur, 11 Oktober 2023.

Selain itu, IUU Fishing oleh ratusan kapal Vietnam dan Tiongkok terus berlangsung, dengan modus mematikan AIS dan beroperasi di ZEE Indonesia, menyebabkan kerugian ekonomi bagi nelayan lokal yang hampir setara dengan total produksi perikanan Natuna senilai Rp3,1 triliun pada 2023.

Kapal riset Tiongkok seperti Bei Diao 996 juga terdeteksi melanggar jalur ALKI-I, menunjukkan bahwa pelanggaran maritim semakin kompleks. 

Dengan ancaman yang semakin nyata, proyeksi kekuatan TNI AL menjadi kebutuhan mendesak untuk menjaga kedaulatan dan keamanan maritim nasional.

Baca juga: Psikolog Unair Surabaya Tekankan Pentingnya Pemetaan Minat dan Bakat untuk Tentukan Jurusan Kuliah

Sebagai perbandingan, negara adidaya Amerika Serikat memiliki 11 supercarrier, sementara Tiongkok dan India masing-masing mengoperasikan dua kapal induk berjenis Short Take-Off But Arrested Recovery (STOBAR).

Inggris memiliki dua kapal induk Short Take-Off and Vertical Landing (STOVL), sedangkan Prancis dan Rusia masing-masing mengoperasikan satu kapal induk berukuran sedang. Jepang, Italia, dan Spanyol mengoperasikan kapal induk berukuran kecil yang mengoperasikan pesawat tempur maupun helikopter.

Mengembangkan dan mengoperasikan kapal induk tentu memerlukan anggaran yang tidak sedikit.

Sebagai gambaran, kapal induk kelas Gerald R. Ford milik AS menelan biaya hingga 13 miliar dolar AS, sementara kapal induk Shandong milik Tiongkok diperkirakan menelan biaya sekitar 9 miliar dolar AS.

Tidak hanya pembangunan kapal, biaya operasionalnya juga sangat tinggi, termasuk kebutuhan bahan bakar, pemeliharaan, dan kru yang dapat mencapai ribuan orang.

Kapal Induk versus Pulau Terdepan

Dengan potensi yang strategis di pulau-pulau terdepan di Indonesia, perlu untuk membandingkan antara kepemilikan kapal induk dengan pangkalan laut lepas.

Pengembangan kapal induk berimbas pada supremasi strategi pertahanan Indonesia sebagai kekuatan global, tidak lagi regional. 

Kepemilikan kapal induk dapat menjadi alat diplomasi dan kekuatan maritim yang fleksibel secara operasional, memungkinkan Indonesia untuk menampilkan kehadiran militernya di berbagai wilayah yang diiringi dengan mobilitas tinggi yang tidak dapat diungguli oleh pangkalan militer di daratan, mengingat kapal induk dapat berpindah dengan cepat sesuai kebutuhan operasi militer.

Kapal induk mampu mendukung operasi kemanusiaan, bantuan bencana, hingga operasi tempur jika diperlukan.

Meskipun demikian kepemilikan kapal induk mengandung implikasi yang patut dipertimbangkan ulang seperti biaya yang tinggi dari aspek pembangunan, pemeliharaan, maupun operasional kapal induk sangat mahal yang tentu bertentangan dengan kebijakan penghematan APBN Presiden Prabowo Subianto.

Kemudian perlu perubahan doktrin militer total mengingat kepemilikan kapal induk berarti perlu mewaspadai kerentanan sebagai target utama serangan pada konflik militer dan memerlukan armada pendukung yang besar.

Baca juga: Sosok Dr Arif Nur Muhammad Ansori, Peneliti Virus Unair yang Harumkan Nama Indonesia di ViBioM 2025

Selain itu, persoalan lain meliputi ketergantungan pada teknologi asing  yang bertumpu pada kerja sama dengan negara maju dalam pengadaan kapal induk dan teknologinya.

Adapun pembangunan pertahanan di pulau-pulau terdepan yang berhadapan dengan perairan internasional seperti Natuna, Sabang, dan Biak memberikan peluang bagi pengambil kebijakan pertahanan di Jakarta untuk mengirit biaya jika dibandingkan dengan membangun dan mengoperasikan kapal induk.

Selain itu, keberlanjutan pertahanan dapat terus diperkuat dengan sistem pertahanan udara, radar, dan sistem rudal anti-kapal secara mengangsur dengan jaminan daya tahan lebih kuat yang berbeda dengan kapal induk yang bisa tenggelam akibat serangan, pulau pertahanan lebih sulit untuk dihancurkan.

Meskipun terdapat tantangan pada strategi ini berupa mobilitas yang terbatas karena tidak dapat berpindah tempat, pasokan logistik ke pulau-pulau terdepan sering sulit terutama dalam situasi darurat, kemudian kerentanan cuaca dan geografi khususnya kerawanan terhadap badai dan perubahan iklim yang dapat memengaruhi operasional militer. 

Perlu Pendekatan Adaptif dan Pengalokasian Anggaran yang Tepat

Melihat tantangan yang ada, pendekatan hibrid dapat menjadi solusi realistis bagi Indonesia dengan tetap mempertimbangkan pengadaan kombinasi kapal induk jenis Landing Helicopter Dock (LHD) atau Landing Platform Dock (LPD) serta penguatan pertahanan berbasis pulau terdepan.

LHD/LPD lebih sesuai untuk operasi pertahanan maritim Indonesia dibandingkan aircraft carrier besar milik negara blue water navy.

Sebagai negara dengan anggaran pertahanan terbatas termasuk kebijakan penghematan APBN, sudah selayaknya Indonesia perlu bijak dalam mengalokasikan dana dengan memprioritaskan modernisasi sistem pertahanan pulau sembari mempertimbangkan pengembangan kapal induk secara bertahap.

Keseimbangan antara ambisi proyeksi kekuatan global dan kebutuhan pertahanan realistis, Indonesia dapat membangun sistem pertahanan maritim yang lebih efektif dan efisien untuk menjaga kedaulatan wilayahnya sebagai Poros Maritim Dunia.

Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional, FISIP Universitas Airlangga
Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional, FISIP Universitas Airlangga (Istimewa)

*) Probo Darono Yakti

Direktur Center for National Defence and Security Studies

Deputi Direktur Program Emerging Indonesia Project

Dosen Hubungan Internasional dan Periset CSGS FISIP UNAIR

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved