HGB di Atas Laut

Pakar Kelautan Unair Surabaya: Pagar Laut HGB Berpotensi Merusak

Kasus pembangunan pagar laut HGB, melanggar hukum dan merugikan rakyat, maka negara wajib mengambil tindakan tegas

Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: Cak Sur
Istimewa
Pakar kelautan sekaligus Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Muhammad Amin Alamsjah Ir M Si PhD. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Lautan Indonesia yang membentang sebagai salah satu kekayaan maritim terbesar di dunia, kini menghadapi persoalan serius dengan munculnya kasus pembangunan pagar laut berbasis Hak Guna Bangunan (HGB).

Dalam perspektif kelautan, tindakan ini dinilai tidak hanya mencederai keadilan sosial, tetapi juga berpotensi merusak tatanan ekologis dan ekonomi masyarakat pesisir.

Pakar kelautan sekaligus Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Muhammad Amin Alamsjah Ir M Si PhD, mengungkap aksi memasang pagar laut HGB ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

“Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, wilayah laut tidak dapat dimiliki secara pribadi atau perusahaan,” tegas Prof Amin, Selasa (28/1/25).

Ekosistem Terancam, Nelayan Terdampak

Pembangunan pagar laut ini, tidak hanya melanggar prinsip konstitusi, tetapi berisiko menimbulkan kerusakan ekosistem perairan. 

Menurutnya, pembatasan pagar laut dapat mempercepat sedimentasi, mengurangi carrying capacity wilayah perairan dan merusak nursery ground.

“Dampak jangka panjangnya yakni merusak nursery ground dari benih ikan dan mengancam habitat biota laut seperti terumbu karang dan padang lamun,” ungkapnya.

Para nelayan yang sehari-hari menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut, juga menghadapi ancaman serius. Dengan akses yang terbatas karena pagar laut, mereka harus mencari wilayah baru untuk melaut, yang sering kali jauh dari rumah dan membutuhkan biaya operasional lebih besar.

“Kawasan pesisir yang menjadi sumber penghidupan nelayan tradisional bisa terdegradasi. Akibatnya, produktivitas perikanan menurun, dan mata pencaharian masyarakat terganggu,” tuturnya.

Konflik Kepentingan di Zona Maritim

Indonesia memiliki batasan maritim yang diakui secara internasional, mulai dari perairan teritorial hingga zona ekonomi eksklusif (ZEE). 

Menurut Prof Amin, tindakan privatisasi seperti ini, menciptakan konflik kepentingan yang bertentangan dengan fungsi laut sebagai media pemersatu bangsa dan penyokong kesejahteraan masyarakat secara kolektif.

“Wilayah laut harus dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir pihak. Ketika pengelolaannya melanggar hukum atau merugikan masyarakat luas, negara memiliki kewenangan untuk membatalkan kebijakan tersebut,” imbuhnya.

Mengembalikan Laut untuk Semua

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved