Berita Jember

Usaha Ayam Petelur Menggelinding Jatuh, Peternak di Jember Tercekik Mahalnya Harga Pakan

Tiga tahun lalu Rahman sudah menjual 5800 ekor ayam petelurnya karena tidak kuat membeli pakan ternak

Penulis: Imam Nahwawi | Editor: Deddy Humana
surya/imam nahwawi (imamNahwawi)
Abdur Rahman, pengusaha telur di Kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember. 

SURYA.CO.ID, JEMBER - Abdur Rahman, pengusaha ternak ayam petelur petelur di Jember mencoba bertahan dengan bisnisnya. Kisah suksesnya beberapa tahun lalu, dengan cepat berubah jadi kisah sedih.

Bisnis ayam petelur milik warga Kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari ini di ambang kebangkrutan sejak diterpa pandemi Covid-19 dan diterjang tingginya harga pakan.

Tiga tahun lalu Rahman sudah menjual 5800 ekor ayam petelurnya karena tidak kuat membeli pakan ternak. Sekarang ia hanya memiliki 1.100 ekor ayam petelur yang masih dipertahankan. Bahkan dalam sehari hanya mampu memproduksi 58 KG telur ras saja.

SURYA mengunjungi kediaman pengusaha ternak ayam petelur tersebut, dan di sana Rahman masih sibuk menata telur yang akan dijual ke langganannya.

"Saya membuka usaha ayam petelur itu sejak tahun 2018 sampai sekarang. Awal mula saya membeli 150 ekor ayam petelur dan sekarang sudah 1100 ekor," kenang Rahman.

Menurutnya, di awal pertama kali memulai usaha ini perkembangan bisnisnya lancar. Bahkan ia mampu menambah jumlah ayam petelurnya mencapai 7000 ekor hingga tahun 2020.

"Tetapi sekarang berkurang tinggal 1.100 ekor ayam petelur. Berkurangnya jumlah ayam telur peliharaan itu terjadi sejak pandemi Covid-19," kata Rahman.

Mengingat saat pandemi, pemerintah membuat kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hal tersebut juga membuat aktivitas peternakan pun terganggu.

"Apalagi pengusaha ayam petelur, rata-rata pakannya mengambil dari luar Jember. Karena ada pembatasan sosial akhirnya pabrik-pabrik tidak bisa mengirim barangnya keluar. Imbasnya akhirnya ke peternak juga," katanya.

Setelah status pandemi dicabut, tambahnya, saat itu harga pakan ternak melonjak tinggi serta harga telur di pasaran anjlok. Hal itu membuat usahanya semakin babak belur.

"Akhirnya saya harus menjual ribuan ayam bahkan yang belum waktunya dijual pun terpaksa harus saya jual juga. Supaya bisnis saya tetap bertahan," tuturnya.

Rahman mengaku uang hasil penjualan ternak tersebut digunakan untuk membeli pakan untuk ayam petelur yang masih tersisa. "Selain buat pakan ayamnya, sebagian juga untuk pakan orangnya," kelakarnya.

Sebelum pandemi, Rahman mengaku mempekerjakan 5 orang pegawai untuk mengurus 7.000 ekor ayamnya. "Ada shift kerja siang empat orang, yang shift malam satu orang," tuturnya.

Namun setelah pandemi, Rahman mengaku hanya mempekerjakan satu orang karyawan saja. Sebab ternak ayam petelurnya hanya tersisa 1.100 ekor.

"Setelah pandemi saya hampir gulung tikar, akhirnya sebagian besar ternak dijual dan pegawainya sekarang tinggal satu," ucapnya.

Rahman mengungkapkan, saat ayam petelurnya masih 7000 ekor,  dalam sebulan ia bisa mendapatkan keuntungan Rp 20 juta hingga Rp 30 juta. "Karena dengan 7000 ekor ayam itu, produksi telurnya bisa mencapai 1 ton sehari," katanya.

Kondisi tersebut berubah setelah pandemi menyerang, ditambah harga pakan mahal. Katanya, pendapatan bisnisnya anjlok tajam dan nyaris gulung tikar. "Mungkin pendapatannya Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per bulannya dengan 1.100 ekor ayam yang tersisa ini," tambahnya.

Sebetulnya pemerintah sempat memberikan bantuan dengan pakan ternak harga subsidi. Tetapi ia mengaku tidak bisa mendapatkannya.

"Karena pakan bersubsidi itu uangnya harus di depan, artinya saya harus bayar dulu. Tetapi saya tidak mampu membelinya karena tidak punya uang cukup," ia menjelaskan.

Rahman mengatakan, bantuan pakan ternak dengan harga subsidi hanya menguntungkan pengusaha ayam petelur besar. Karena mereka memiliki kapital memadai.

"Sementara saya peternak kecil, modalnya tidak kuat untuk membelinya karena tidak boleh mengecer. Akhirnya sampai sekarang saya beli pakannya di toko-toko terdekat," ucapnya.

Rahman mengaku sebelum bisnis ayam petelur, sempat menjadi distributor telur bebek untuk dipasarkan di wilayah Tapal Kuda Jawa Timur.

"Setelah itu mencoba bisnis ayam petelur, saya pikir saat bagus harga pasarnya. Ternyata kayak gini dah, namanya bisnis ada suka dan dukanya. Sehingga diperlukan perjuangan dan kegigihan," ulasnya.

Rahman sekarang hanya berharap harga telur di pasaran tetap stabil. Supaya usaha peternakannya bisa selamat.

"Sekarang harga telur ayam kalau dari kandang, di kisaran Rp 23.500 per KG. Sementara saya jualnya masih di toko-toko kelontong belum sampai di pasar besar," paparnya. ****

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved