Berita Viral

Asal Usul Video Peringatan Darurat yang Viral Terkait Putusan MK Soal Pilkada 2024, Rilis Tahun 1991

Inilah asal usul video Peringata Darurat yang viral terkait putusan MK soal Pilkada 2024. Pertama kali rilis tahun 1991.

Twitter
Penampakan Video Peringatan Darurat yang Viral Terkait Putusan MK Soal Pilkada 2024. Begini asal usulnya. 

SURYA.co.id - Video Peringatan Darurat terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal Pilkada 2024 saat ini tengah viral di berbagai platform media sosial.

Video tersebut tampak seperti video gaya siaran lama dengan background biru dan gambar Garuda Pancasila berwarna putih.

Ditambah lagi ada tulisa 'Peringatan Darurat'.

Gerakan unggah 'Peringatan Darurat' itu mengacu pada ajakan untuk sama-sama mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai syarat pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Narasi yang beredar di media sosial ramai membahas soal putusan MK pada Selasa (20/8/2024) kemarin, yang berbunyi partai politik (parpol) yang tidak memiliki kursi di DPRD tetap bisa mengusung calon kepala daerah.

Baca juga: Sosok I Dewa Gede Palguna, Eks Hakim MK Sebut DPR Membangkang Secara Telanjang Putusan Pengadilan

Kemudian pada hari ini, Rabu (21/8/2024), DPR memutuskan akan menggelar rapat dalam membahas revisi Undang-undang (UU) Pilkada.

Beberapa pihak merasa revisi UU Pilkada dilakukan untuk menganulir putusan MK.

Namun, hal ini dibantah Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi. Ia mengatakan pembahasan revisi UU Pilkada tidak akan berbentrokan dengan putusan MK terkait syarat pencalonan.

Lantas, seperti apa asal usul video Peringatan Darurat tersebut?

Melansir dari Tribun Kaltim, sebenarnya video peringatan darurat adalah tayangan lama dari pemerintah yang dirilis pada tahun 1991.

Tayangan tersebut dibuat untuk memperingatkan masyarakat tentang ancaman dari makhluk aneh yang tidak dikenal yang dikabarkan suka memakan kepala manusia.

Video ini memicu kepanikan di kalangan masyarakat Indonesia pada saat itu, hingga pemerintah mengeluarkan himbauan agar warga tetap berada di rumah.

Baca juga: Lawan Manuver DPR Anulir Putusan MK, 28 Eks KPU-Bawaslu Buat Seruan, Ribuan Mahasiswa Buruh Bergerak

Tayangan tersebut menggunakan suara dan gaya penyiaran khas era 1990-an dengan tulisan 'peringatan darurat' yang mencolok.

Dalam tayangan itu, terdapat kode IND-7-1/ANM-021, dan peringatan ini berlaku hingga 24 Oktober 1991 akibat dugaan adanya aktivitas anomali yang tidak dikenal.

Peringatan tersebut bahkan menggambarkan ciri-ciri dari anomali tersebut, termasuk kecenderungannya untuk memakan kepala manusia.

Namun, setelah ditelusuri, ternyata tayangan darurat ini hanyalah hoaks belaka yang dibuat dalam format Analog Horror atau Emergency Alert System (EAS), yang sering digambarkan sebagai siaran televisi analog yang menyeramkan.

Meskipun demikian, video ini masih banyak beredar dan terus menjadi bahan perbincangan di media sosial dan sekarang dijadikan sebagai bentuk protes masyarakat.

Diketahui, viralnya postingan "PERINGATAN DARURAT" di media sosial muncul usai DPR RI dinilai mengabaikan hasil putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat calon kepala daerah. 

Badan Legislasi DPR RI untuk revisi UU Pilkada mendesain pembangkangan atas dua putusan MK kemarin.

Pertama, mengembalikan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen perolehan suara sah pileg sebelumnya, suatu beleid yang dengan tegas sudah diputus MK bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, mengembalikan batas usia minimal calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan, meskipun MK kemarin menegaskan bahwa titik hitung harus diambil pada penetapan pasangan calon oleh KPU.

MK sendiri sudah berulang kali menegaskan bahwa putusan Mahkamah berlaku final dan mengikat. 

Pada putusan terkait usia calon kepala daerah, majelis hakim konstitusi sudah mewanti-wanti konsekuensi untuk calon kepala daerah yang diproses dengan pembangkangan semacam itu.

MK sebelumnya memutuskan terkait syarat usia calon kepala daerah dan ambang batas pencalonan kepala daerah.

Keputusan MK terkait syarat usia calon kepala daerah tertuang dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Anthony Lee dan Fahrur Rozi, Selasa (20/8/2024).

"Persyaratan usia minimum, harus dipenuhi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ketika mendaftarkan diri sebagai calon," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra dikutip dari Kompas.com, Selasam (20/8/2024).

"Titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah," tambahnya.

Penegasan MK ini berkebalikan dengan tafsir hukum yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) belum lama ini.

Melalui putusan nomor 24 P/HUM/2024, MA mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung dalam Peraturan KPU (PKPU) saat penetapan pasangan calon, menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih.

MA menilai bahwa PKPU itu melanggar UU Pilkada.

Sementara itu, keputusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah tertuang dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Gelora.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Selasa (20/8/2024).

Dalam putusannya, MK memutuskan bahwa ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

Berdasarkan putusan MK tersebut, partai politik atau gabungan partai politik cukup memenuhi threshold ini untuk mengusung gubernur:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai 2 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 10 persen

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 2-6 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 8,5 persen

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap 6-12 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 7,5 persen

d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa harus didukung partai politik/gabungan partai politik dengan perolehan suara paling sedikit 6,5 persen.

Putusan MK tidak bisa dibatalkan DPR
Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Oce Madril menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.

Menurut dia, putusan MK memiliki kekuatan eksekutorial begitu dibacakan oleh hakim konstitusi.

"Maknanya tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan untuk mengubah putusan MK, termasuk oleh DPR," kata dia dikutip dari Kompas.com, Rabu.

Oce menambahkan, putusan MK tersebut bersifat erga omnes atau bermakna mengikat untuk semua pihak tanpa terkecuali.

Oleh karenanya, semua pihak termasuk DPR, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), partai politik, maupun masyarakat luas, harus mematuhi isi putusan MK.

Adapun, bila terdapat pihak-pihak yang tidak mematuhi putusan MK, maka tindakan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum.

Oce mengingatkan, akan ada dampak serius jika putusan MK terkait pilkada tidak ditaati. Salah satunya, pilkada serentak yang akan berlangsung rawan melanggar hukum.

Selain itu, hasil pilkada juga dapat dibatalkan oleh MK. Sebab, lembaga negara ini memiliki kewenangan dalam memutus perkara hasil pemilihan umum.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Tribun Kaltim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved