Kasus Korupsi Sahat Tua Simanjuntak

Baca Nota Pembelaan Lagi, Sahat Tua Simanjuntak Tetap Ngotot Tak Pernah Korupsi Sampai 39,5 Miliar

Saat menjalani sidang, Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simanjuntak tetap ngotot membantah tuduhan atas korupsi dana hibah Rp 39,5 miliar

Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Luhur Pambudi
Sidang Kasus korupsi dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim dengan terdakwa Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak di Ruang Sidang Cakra Kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (23/9/2023) siang. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Terdakwa dugaan kasus korupsi dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim, Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simanjuntak tetap ngotot membantah tuduhan atas korupsi dana hibah Rp 39,5 miliar saat menjalani sidang lanjutan di Ruang Sidang Cakra Kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (23/9/2023) siang.

Bantahan tersebut, disampaikan kembali dengan nada suara khas baritonnya secara nyaring dalam agenda sidang duplik, jawaban atas tinjauan replik JPU pada sidang pekan lalu.

Sahat menyampaikan tiga poin bantahan atas dakwaan yang disampaikan JPU sepanjang jalannya persidangan tersebut.

Pertama, Sahat menegaskan, dirinya tidak mengenal almarhum M Chozin sebagaimana fakta persidangan.

Selain itu, tidak ada alat bukti yang menunjukkan adanya komunikasi antara dirinya dengan almarhum M Chozin secara langsung dalam platform alat komunikasi apa pun sejak tahun 2019 hingga 2022.

Bagi Sahat, JPU hanya mengandalkan alat bukti komunikasi antara almarhum M Chozin dengan terdakwa lain, Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi untuk menyimpulkan keterkaitan hubungan antara Sahat dengan M Chozin.

"Dan sebagaimana fakta persidangan saudara Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi, telah menerangkan pertama kali mengenal saya pada bulan Februari 2022," ujar Sahat dengan nada suara yang lugas melalui pelantang alat pengeras suara ruangan sidang.

Kedua, Sahat mengklarifikasi terkait dalam catatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tangga 15 Desember 2022, yang dibuat oleh JPU dalam dokumen replik pada pekan sebelumnya.

Disebutkan, bahwa dirinya mengenal sosok Almarhum M Chozin dari terdakwa lain, Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi pada Februari 2022.

Menurut Sahat, dirinya sengaja menyebutkan nama M Chozin karena semata-mata bentuk upaya kooperatif dari dirinya selama menjalani pemeriksaan untuk BAP. Dan, bukan disimpulkan sebagai tanda bahwa Sahat mengenal M Chozin.

"Adapun saya menyebut nama Alm Chozin sebagai bentuk kooperatif saja selama pemeriksaan, bukan untuk disimpulkan saya kenal almarhum Chozin," terangnya.


Ketiga, Sahat menanggapi BAP dirinya pada tanggal 6 April 2023.

Bahwa, ia mengatakan, dirinya tidak pernah diperiksa terkait penerima uang Rp 39,5 miliar selama ditahan di KPK sejak 15 Desember 2022, sampai pemeriksaan sebagai tersangka terakhir tanggal 6 April 2023.

"Namun pada tanggal 11 April 2023, saat saya diperiksa melalui online sebagai saksi persidangan terdakwa Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi," ungkap Sahat.

Ia mengatakan, muncul pertanyaan tentang dirinya. Pertanyaan itu menggali seberapa kenal Sahat dengan almarhum M Chozin terkait penyerahan uang Rp 39,5 miliar dari terdakwa Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi kepada almarhum M Chozin yang diberikan kepada dirinya.

Sahat menegaskan, dirinya sudah membantah, bahwa tidak kenal almarhum M Chozin dan tidak pernah menerima uang Rp39,5 miliar dari terdakwa Abdul Hamid Ilham Wahyudi melalui almarhum M Chozin.

Kemudian pada tanggal 12 April 2023, atau satu hari sebelum berkas P-21 tanggap 13 April 2023. Ia sempat kembali diperiksa sebagai saksi terhadap tersangka Rusdi.

Dalam pemeriksaan itulah muncul tabel-tabel dan pertanyaan tentang penerimaan uang Rp 39,5 miliar.

Atas adanya itu, dalam BAP-nya sebagai saksi tersebut, ia sudah membantah tidak pernah menerima uang Rp 39,5 miliar dari almarhum M Chozin.

"Saya memang mengaku bersalah, tetapi saya memohon untuk mengklarifikasi jumlahnya bukan Rp 39,5 miliar. Sebagaimana fakta persidangan, saya menerima Rp 2,75 miliar selama tahun 2022, sejak saya kenal Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi. Sedangkan Rp 36,7 miliar tidak pernah saya terima dari siapa pun," terangnya.

Selain itu, menurut Sahat, beban sanksi dengan membayar uang pengganti Rp 39,5 miliar dirasa berat baginya dan anggota keluarganya.

Termasuk dengan sanksi pokok masa tahanan 12 tahun berdasarkan tuntutan JPU, ditambah pencabutan hak menduduki jabatan publik secara politik selama lima tahun.

"Yang akan menghukum saya dan keluarga sebagai sanksi sosial selamanya, dan saya tidak mampu harus membayar Uang Pengganti (UP) yang sangat besar itu," ucapnya.

Sahat juga tak lupa kembali meminta belas kasihan hakim untuk pengampunan atau keringanan hukum terdakwa Rusdi, salah satu staf sekretariat atau office boy (OB) Kantor DPRD Jatim yang terseret kasus korupsi dirinya.

"Saya benar-benar merasa menyesal dan bersalah telah membuat keluarga saya menderita dan membuat Rusdi dan keluarganya menderita, kiranya Tuhan mengampuni dosa-dosa saya dan saya tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi seumur hidup saya," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif, Sahat Tua Simanjuntak terdakwa kasus korupsi dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim dituntut oleh JPU KPK dengan pidana penjara 12 tahun, denda satu miliar dan dicabut hak politik menduduki jabatan publik selama lima tahun.

Hasil sidang tuntutan tersebut disampaikan oleh JPU KPK, Arif Suhermanto dalam agenda sidang lanjutan di Ruang Sidang Candra Kantor Pengadilan Tipikor Surabaya pada Selasa (8/9/2023).

Sekadar diketahui, Sahat Tua Simanjuntak diduga menerima uang senilai Rp 39,5 miliar sehingga didakwa dua pasal berlapis dalam kasus korupsi dana hibah APBD Pemerintah Provinsi Jatim.

JPU KPK, Arif Suhermanto menyebutkan, Sahat terbukti telah menerima suap dana hibah dari dua terdakwa sebelumnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022

Dakwaan pasal Sahat, pertama terkait tindak korupsi, kolusi dan nepotisme dalam Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Dakwaan kedua terkait suap, Pasal 11 Jo Pasal 18 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Kemudian, dikutip dari Kompas.com, dua terdakwa kasus penyuapan pimpinan DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak, Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi alias Eeng, telah divonis dua tahun enam bulan penjara oleh hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.

Dalam amar putusan yang dibacakan Hakim Ketua Tongani, terbukti menyuap pimpinan dewan terkait dengan dana hibah.

Kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal yang memberatkan vonis terhadap keduanya. Yakni, tidak mendukung upaya pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Namun, ada hal yang meringankan vonis keduanya, yakni menjadi pelaku yang berkerja sama dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.

Profil Sahat Tua Simanjuntak

Dikutip dari Kompas.com, Sahat merupakan anggota DPRD Jatim dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) Daerah Pemilihan IX yang meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan dan Ngawi. 

Sahat juga menduduki jabatan sebagai Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Jatim periode 2020-2025. 

Penetapan Sahat sebagai Sekretaris DPW Partai Jatim disahkan dalam Keputusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Nomor: SKEP-8/DPP/GOLKAR/IV/2020. 

Sebelumnya, terdakwa juga menjabat anggota DPRD Jatim periode 2009-2014 dan periode 2014-2019.

Perjalanan Sahat di dunia politik dimulai ketika ia menempuh studi di Fakultas Hukum (FH) Universitas Surabaya (Ubaya) pada 1998 silam. 

Sosok yang menurutnya memberikan inspirasi untuk terjun ke politik adalah Ketua DPD Golkar Jatim Martono dan anggota DPR RI dari Golkar Anton Prijatno.

Ia mengaku sering berbicara dengan dua orang tersebut, termasuk masalah yang dihadapi ketika tegabung dalam Senat Mahasiswa. Dari situlah, Sahat sempat menduduki posisi sebagai Ketua Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi Ubaya pada tahun 1990 silam.

Perjalanan politik anggota DPR Dapil 9 Jatim ini lantas berlanjut ke Golkar setelah memutuskan bergabung dengan partai ini sejak 1990.

Tiga Kali Gagal Nyaleg

Sahat diketahui beberapa kali sempat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, namun gagal. Hal tersebut terjadi pada Pileg Jatim 1997 dan 1999 serta Pileg DPR RI 2004. 

Diketahui, Sahat baru terpilih sebagai anggota DPRD Jatim pada Pemilu 2008 mewakili daerah pemilihan (dapil) 1. 

Ia juga sempat ditunjuk sebagai Ketua Fraksi DPRD Jatim 2014-2019 bahkan berlanjut hingga menduduki kursi Wakil Ketua DPRD Jatim hingga saat ini.

Harta kekayaan Sahat 

Dalam LHKPN yang dilaporkan kepada KPK pada 2021, Sahat tercatat mempunyai tiga bidang tanah dan bangunan yang jika ditotal semuanya bernilai Rp 7,4 miliar serta kas dan setara kas senilai Rp 1,5 miliar. 

Tak hanya itu, Sahat juga menyimpan beberapa mobil mewah, salah satunya adalah Toyota Vellfire (2015) yang bernilai Rp 600 juta. 

Mobil lain yang dimilikinya, yakni Toyota Voxy (2018) senilai Rp 430 juta dan Mercedes Benz E250 (2016) senilai Rp 700 juta. Jika ditotal, Sahat mempunyai kekayaan sebesar Rp 10,7 miliar.

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved