Kasus Korupsi Sahat Tua Simanjuntak

BREAKING NEWS Sahat Tua Simanjuntak Sesegukan di Ruang Sidang Pengadilan Tipikor Surabaya, Minta Ini

Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif, Sahat Tua Simanjuntak sesegukan saat menjalani sidang lanjutan kasus korupsi dana hibah agenda pemeriksaan terdakwa

Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID/Luhur Pambudi
Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif, Sahat Tua P Simanjuntak terdakwa kasus korupsi dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim, sesenggukan nyaris menangis saat menjalani sidang lanjutan agenda pemeriksaan terdakwa, di Ruang Sidang Candra Kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (29/8/2023). 

SURYA.CO.ID, SURABAYA -Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif, Sahat Tua P Simanjuntak terdakwa kasus korupsi dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim, sesenggukan nyaris menangis saat menjalani sidang lanjutan agenda pemeriksaan terdakwa, di Ruang Sidang Candra Kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (29/8/2023).

Sahat tak kuasa menahan rasa haru bercampur kesedihan mendalam saat menutup jalannya sidang agenda pemeriksaan saksi yang berakhir sekitar pukul 14.55 WIB.

Momen penuh emosianal yang dialaminya itu mendadak muncul saat dirinya diberi kesempatan oleh majelis hakim menyampaikan tanggapannya.

Momen singkat dipenghujung sidang tersebut dimanfaatkan Sahat untuk menyampaikan penyesalannya atas kasus yang menyeret nama baiknya sebagai salah satu pimpinan legislatif di DPRD Jatim.

Terlebih, kesedihan mendalam itu menggelayuti benaknya belakangan ini, adalah saat kasus korupsi yang menyeretnya juga menyeret pihak lain sebagai tersangka, seperti Rusdi, mantan office boy (OB) yang telah diangkat sebagai staf kantor kesekretariatan ruang faksi DPRD Jatim.

Nada suara berkarakter khas baritonnya mendadak tersendat-sendat, frekuensinya semakin pelan, bahkan cenderung terdengar terbata-bata.

Meskipun posisi tempatnya duduk membelakangi audiens dan awak media di kursi tunggu ruangan sidang. Suara yang aneh dikeluarkan oleh Sahat, tak sulit dikenali sebagai ekspresi kesedihan mendalam dari seorang terdakwa.

"Dia hanya menjalankan apa yang saya perintahkan. Secara intelektual dia enggak mengerti saya kasihan, karena dia hanya OB. Dia saya angkat sebagai staf agar dia dinaikkan derajatnya. Justru itu malah dia terlibat permasalahan," ujar Sahat.

Dengan nada bicara pelan dan terdengar terbata-bata, seraya mengangkat tangan kanannya lalu menunjuk ke arah Rusdi yang duduk di samping kanannya. Sahat meminta kepada majelis hakim untuk tidak menghukum terdakwa Rusdi.

Karena, selama ini, sosok Rusdi hanyalah bawahan yang acap disuruh-suruh hingga akhirnya pada suatu hari apes harus terperosok pada lubang hitam kasus korupsi yang sejatinya menyeret dirinya.

Atas perbuatannya itu, Sahat juga menyempatkan diri menyampaikan permohonan maaf. Dan menganggap bahwa kasus ini, merupakan pengalaman berharga sepanjang hidupnya, yang tentunya tak akan terlupakan.

"Saya mohon pertimbangan hakim dan Jaksa, anaknya masih kecil-kecil. Hanya itu yang saya memikirkan tentang dia. Saya merasa berdosa ketika dia terkena," katanya.

"Secara intelektual dan kapasitas, dia tidak ada. Dia hanya memerintahkan apa yang saya pesankan. Ini kesalahan terbesar saya, seumur hidup saya tidak akan lupakan, kesalahan terbesar saya," tambah Sahat seraya menyeka air matanya menggunakan kain putih yang digenggam kedua tangannya.

Mendengar pernyataan Sahat, membuat majelis hakim mulai menggeser konteks pertanyaannya tak lagi mengulik seputar materi kasus yang sedang disidang.

Mungkin proses agenda sidang kali ini, telah mencapai ujungnya. Majelis hakim mulai menanyai kedua terdakwa dengan pertanyaan ringan bahkan cenderung klise mengenai kondisi anak dan keluarga para terdakwa, selama proses peradilan yang harus dilalui terdakwa.

Terdakwa Rusdi mengungkapkan, dirinya memiliki tiga orang anak. Anak pertama, telah memasukki masa SMA. Anak kedua, telah memasuki masa SMP, namun sementara ini, dititipkan ke ponpes. Anak ketiga, masih memasuki masa TK.

Selama ini, ia menghidupi ketiga anak dan istrinya dari gaji sekaligus ceperan sebagai staf kantor kesekretariatan ruang faksi DPRD Jatim. Kalau ditotal, dalam kurun waktu sebulan, dirinya bisa dapat uang yang cukup memenuhi kebutuhan keluarga sekitar tiga juta rupiah.

"Dari ruang ruang sekitar 3 juta, gaji saya. Iya untuk semua kebutuhan keluarga. Biasanya juga dapat tambahan dari ceperan uang rokok dan beli makan (anggota dewan). Semua tinggal di Surabaya," jawab terdakwa Rusdi.

Sementara itu, terdakwa Sahat mengaku, dirinya memiliki seorang istri dan seorang anak semata wayang yang sedang berkuliah hukum di salah satu kampus Kota Surabaya.

Mengenai tanggungan hidup. Sahat mengaku, dirinya masih harus menanggung dan membiayai hidup dua orang adiknya yang belum berkeluarga.

"Istri saya sudah pensiun dulu kerja di perbankan. Saya masih punya tanggungan keluarga. Saya masih punya 2 adik yang belum menikah. Tidak ada usaha-usaha lain," pungkas Sahat, menjawab pertanyaan majelis hakim.

Sementara itu, JPU KPK Arif Suhermanto mengatakan, ekspresi emosional; menangis yang muncul dari terdakwa Sahat, dihadapan para majelis hakim, tidak akan merubah materi pelanggaran tindak pidana yang telah didakwakan.

Pasalnya, pembuktian atas ada dan tidak adanya pelanggaran pidana, tidak dapat disandarkan pada ragam bentuk ekspresi emosional terdakwa selama menjalani persidangan.

"Dalam konteks hukum adalah menguji kebenaran material entah itu menangis atau dengan tidak menangis karena itu adalah persoalan yang lain. Apakah itu menyesal atau tidak Itu persoalan lain dan itu adalah jenis kewenangan Hakim. Tetapi untuk pembuktian perbuatan pidananya itu tidak bergantung pada hal seperti itu," ujar Arif seusai sidang.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved