Kasus Korupsi Sahat Tua Simanjuntak
Merasa di Atas Angin, Sahat Tua Simanjuntak Sodorkan Pertanyaan Menyindir Jaksa, Ini Respons JPU KPK
Ahli hukum pidana juga didatangkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi dana hibah dengan terdakwa Sahat Tua P Simanjuntak
Penulis: Luhur Pambudi | Editor: Cak Sur
SURYA.CO.ID, SURABAYA - Ahli hukum pidana Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, Sholehuddin juga didatangkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus korupsi dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim dengan terdakwa Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simanjuntak, Selasa (22/8/2023).
Di tengah penyampaian kesaksian Sholehuddin di hadapan majelis hakim di Ruang Sidang Candra Kantor Pengadilan Tipikor Surabaya, Sahat memanfaatkan kesempatan yang diberikan majelis hakim untuk menyodorkan dua pertanyaan kepada ahli.
Sahat bertanya mengenai kualifikasi keterangan dua orang saksi, bilamana seorang saksi ternyata telah meninggal dunia sebelum diminta keterangan oleh penyidik kejaksaan.
"Sampai mana keterangan yang hidup jadi alat bukti yang sah, kalau tersangka lainnya mati," tanya Sahat.
Baca juga: Perbedaan Pendapat Hibah Antara JPU dan Ahli yang Meringankan Sahat Tua Simanjuntak, Begini Akhirnya

Menurut Sholehuddin, alat bukti keterangan saksi dinyatakan sah bilamana berjumlah lebih dari satu orang, atau minimal dua orang. Namun, keterangan dua orang saksi tersebut, tidak boleh saling bertentangan.
"Kecuali, misal dalam UU KDRT. Normanya ada pengecualian. Keterangan saksi korban, bisa digunakan alat bukti. Dengan catatan, harus didukung oleh alat bukti lainnya. Misal alat bukti keterangan ahli, surat, petunjuk, harus didukung," jawab Sholehuddin.
Meninjau pertanyaan Sahat, jika ada seorang saksi meninggal dunia, Sholehuddin mendesak pihak penyidik untuk mencarikan keterangan saksi tambahan yang lain dengan kualifikasi yang mumpuni.
Jika dipaksakan menggunakan jumlah saksi yang terbatas. Terlebih, jumlah saksi tersebut hanya satu orang, besar kemungkinan saksi tersebut akan menyampaikan pernyataan bermuatan kebohongan.
"Bagaimana cara membuktikan, ya cari alat bukti lain. Petunjuk. Itupun harus memenuhi KUHP. Apa itu pentunjuk dan sebagainya. Semua harus dijelaskan hukum acara pidana. Kalau tidak bisa memenuhi itu, maka itu artinya tidak cukup bukti," jelasnya.
Kemudian, Sahat menyampaikan pertanyaannya yang kedua. Yakni, apakah pengakuan bersalah seorang terdakwa dapat menjadi alat bukti dalam sebuah kasus tindak pidana.
"Apakah pengakuan bersalah seorang terdakwa, itu cukup sebagai alat bukti atau didukung oleh alat bukti yang lain," tanya Sahat kembali.
Sholehuddin lantas menjawab pertanyaan tersebut secara langsung. Bahwa keterangan terdakwa yang mengakui perbuatannya sudah dianggap sah menjadi salah satu alat bukti. Karena, keterangan tersebut, kualifikasinya sama seperti keterangan ahli.
Apalagi, keterangan terdakwa tersebut, merupakan keterangan yang disampaikan di hadapan majelis hakim, disertai sumpah.
"Harus ada alat bukti yang sah. Agar dapat dibuat memidana seseorang. Minimal harus 2 alat bukti. Dan keyakinan hakim. Keyakinan hakim itu ada 4 aspek. Satu, ainul yaqin. Dua, haqul yaqin dan ketiga, qusnul yaqin. Keempat, nurul yaqin yang harus digunakan oleh hakim agung atau MK," ujarnya.
Saat ditemui seusai persidangan, Sholehuddin menjelaskan, UU Tipikor dari masa ke masa mengalami perubahan yang di mulai sejak zaman setelah kemerdekaan. Mulai dari awal UU Tipikor, UU No 3 Tahun 1971. Hingga sampai pada UU No 20 tahun 2003.
Oleh karena itu, dalam proses memahami sebuah interpretasi delik tindak pidana, perlu adanya pemahaman berdasarkan satu interpretasi. Melainkan, perlu adanya pemahaman interpretasi kesejarahan hingga gramatika atau bahasa.
"Supaya tepat di dalam kita menafsirkan norma yang diatur dalam UU Tipikor, sehingga tidak terkesan penegakkan hukum korupsi secara sembarangan," kata Sholehuddin ditemui awak media di area parkir Gedung Pengadilan Tipikor Surabaya.
Sepanjang mengikuti dan menyampaikan keterangan sebagai ahli, Sholehuddin mengapresiasi kejelian majelis hakim dalam menguliti poin per poin dalam kasus ini.
Terutama saat majelis hakim menanyakan pembayaran uang pengganti. Ia mengatakan, sanki pembayaran uang pengganti itu adalah pidana tambahan. Bukan pidana pokok. Melainkan hanya berkaitan dengan kasus yang merugikan keuangan negara.
"Ketika tidak didakwakan dengan pasal 2 atau pasal 3 UU Tipikor. Di situ ada delik kerugian negara. Maka tidak perlu ada sanksi pidana tambahan uang pengganti. Apanya yang diganti. Makanya itu, pidana tambahan bukan pidana pokok," ungkapnya.
Lalu, pihak yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam sebuah kasus, hanya BPK. Dan itupun dilibatkan dalam proses penyidikan.
"Kalau persidangan, ya boleh ada BPKP, audit publik atau pun jaksa sendiri, kalau pintar. Dan nanti diputuskan hakim, hakim hitung sendiri boleh," katanya.
"Bentuk Tipikor 32 lebih. Yang menyangkut kerugian keuangan negara hanya 2. Pasal 2 dan pasal 3. Itu yang bisa diberi sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Selain itu gak bisa," jelasnya.
Sholehuddin berpesan agar pihak JPU untuk berhati-hati dalam mendakwa dan menuntut seorang terdakwa.
Berat atau ringannya dakwaan dan tuntutan yang diberikan, harus didasarkan pada ketersediaan alat bukti yang sesuai kualifikasi dan sah.
"Dan hati-hati dalam mendakwa orang jangan asal; ow ini tuntutan tinggi. Tapi tidak cukup bukti misalnya. Jadi tidak harus menuntut orang tinggi, harus menyesuaikan dengan perbuatan materiil yang terjadi," pungkasnya.
Sementara itu, JPU KPK, Arif Suhermanto mengatakan, keterangan ahli hukum pidana selama persidangan dianggapnya makin memperkuat dakwaan yang dibuatnya.
"Dan kami kira cukup mendukung pembuktian kami, terkait unsur 55 terkait unsur pasal 12. Kami kira gak ada masalah. Justru itu menguatkan pembuktian perkara kami," ujarnya selepas persidangan.
Ahli hukum pidana sempat membahas mengenai Pasal 55 turut sertanya terdakwa Rusdi dalam membantu terdakwa Sahat melakukan tindak pidana korupsi.
Menurutnya, hal tersebut sah-sah saja. Apalagi, sosok terdakwa Rusdi bukanlah sosok pegawai dalam lembaga penyelenggara negara ataupun pegawai negeri sipil (PNS).
"Terdakwa Rusdi bukan penyelenggara negara, dan bukan pegawai negeri. Tetapi kita kaitkan dengan pasal 12 karena unsur 55 penyertaan sebagai pelaku di dalam, entah itu telah melakukan atau disuruh melakukan," pungkasnya.
Sekadar diketahui, Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simanjuntak diduga menerima uang senilai Rp39,5 Miliar, sehingga didakwa dua pasal berlapis dalam kasus korupsi dana hibah APBD Pemerintah Provinsi Jatim.
Arif Suhermanto menyebutkan, Sahat terbukti telah menerima suap dana hibah dari dua terdakwa sebelumnya, yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022
Dakwaan pasal Sahat, pertama terkait tindak korupsi, kolusi dan nepotisme dalam Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dakwaan kedua terkait suap, Pasal 11 Jo Pasal 18 UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kemudian, dikutip dari Kompas.com, dua terdakwa kasus penyuapan pimpinan DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak, Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi alias Eeng, telah divonis dua tahun enam bulan penjara oleh hakim Pengadilan Tipikor Surabaya.
Dalam amar putusan yang dibacakan Hakim Ketua Tongani, terbukti menyuap pimpinan dewan terkait dengan dana hibah.
Kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal yang memberatkan vonis terhadap keduanya. Yakni, tidak mendukung upaya pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi. Namun, ada hal yang meringankan vonis keduanya, yakni menjadi pelaku yang berkerja sama dalam pengungkapan tindak pidana korupsi.
kasus korupsi Sahat Tua Simanjuntak
Sahat Tua P Simanjuntak
Sahat Tua Simanjuntak
sidang Sahat Tua Simanjuntak
Running News
korupsi dana hibah
SURYA.co.id
surabaya.tribunnews.com
Sahat Tua Simanjuntak Divonis 9 Tahun Penjara, Anggota DPRD Jatim: Ini Pelajaran Berharga |
![]() |
---|
Terbukti Korupsi Dana Hibah Rp 39,5 Miliar, Sahat Tua Simanjuntak Divonis 9 Tahun Penjara |
![]() |
---|
BREAKING NEWS Bawakan Uang Korupsi Sahat Tua Simanjuntak, OB DPRD Jatim Divonis 4 Tahun Penjara |
![]() |
---|
Baca Nota Pembelaan Lagi, Sahat Tua Simanjuntak Tetap Ngotot Tak Pernah Korupsi Sampai 39,5 Miliar |
![]() |
---|
Pleidoi Sahat Tua Simanjuntak Ditolak, JPU KPK Malah Bongkar Fakta Baru, Keterlibatan Pejabat Lain? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.