Ibadah Haji 2022

Kisah Orang Indonesia Jual Lontong Pecel di Makkah, Rela Diobrak Tetapi Dijemput Toyota RAV Terbaru

dikejar-kejar petugas ini orang tidak punya. suaminya yang juga orang Gresik menjemput dengan Toyota RAV putih terbaru.

Penulis: Aji Bramastra | Editor: Deddy Humana
surya/aji bramastra
Para jamaah haji dari Indonesia menunggu giliran membeli makanan di sela kegiatan ritual haji di Makkah. 

SURYA.CO.ID, MAKKAH - Soal konsumsi para jemaah haji di Tanah Suci memang sudah jadi isu tersendiri sejak bertahun-tahun. Pemerintah memang bisa menjamin soal jumlah makan. Bahkan, tahun ini, sehari para jemaah haji mendapat makan 3 kali (musim haji sebelumnya makan berat hanya 2 kali).

Makanan itu tak pernah telat diberikan. Satu paket makanan yang dibungkus rapat dengan aluminium foil itu berisi nasi, sayur, dan lauk pauk. Lauknya berganti-ganti, kadang telur, ikan, ayam bahkan pernah juga rendang juga empal suwir, yang sejauh ini jadi lauk termewah.

Tak lupa ada buah juga untuk merangsang jemaah tetap merasa segar setelah makan. Apel, jeruk, pir, atau pisang.

Tetapi soal lidah yang kerap rindu jajanan khas kampung halaman, siapa yang bisa menjamin?
Bahkan Rasulullah, manusia paling mulia di mata umat Muslim, pernah mengutarakan kerinduannya akan Makkah, kampung halaman baginya.

"Alangkah indahnya dirimu Mekkah. Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekkah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini," [ HR Tirmidzi ].

Maka di sekitar pemondokan jemaah haji Indonesia, penjual kagetan yang menjajakan jajanan khas Tanah Air ini kerap bermunculan. Dan para penjualnya tentu saja orang Indonesia berstatus mukimin, sebutan untuk mereka yang berdomisili di Tanah Suci.

Maka berkat usaha mereka pula, makanan seperti tahu isi, bakwan alias ote-ote, tempe goreng, plus cabainya, menjadi obat pelepas rindu bagi para jamaah haji. Ada juga lontong pecel, bakso, nasi campur, nasi kuning, bubur ayam, juga bubur kacang ijo.

Menikmati semua makanan itu, bak hiburan dari kebosana karena terus menatap makanan yang terbungkus lembar perak aluminium foil. Para penawar rindu akan jajanan kampung halaman ini macam-macam juga modelnya.

Ada yang legal, ada pula yang tak berizin. Yang legal biasanya menyewa lapak di hotel tempat jamaah menginap. Salah satunya dari pengakuan Devi Susanti, seorang TKW mendapat upah 100 riyal (Rp 400.000) sehari untuk menjaga lapak milik majikannya di sebuah hotel di kawasan Misfalah, Makkah.

Tentu saja ini pekerjaan kagetan yang lumayan buat Devi, karena lapak itu hanya buka saat musim haji saja.

Sementara yang tidak bisa menyewa lapak, akan menggelar 'operasi senyap' di sekitar pemondokan. Operasi senyap menjual sarapan ini biasanya pada pagi hari mulai pukul 05.00 waktu setempat.

Seperti Sri, perempuan paruh baya asal Gresik,;serta Roniyah, TKW asal Tarogog, Garut, Jawa Barat, yang berjualan di di sekitar hotel Retaj Al Rayyan, Raudhah, Makkah.

Dagangan mereka memang lebih murah dari pedagang yang menyewa lapak resmi di hotel.
Misalnya satu porsi bakso isi 3 pentol dijual cukup 5 riyal atau Rp 20.000. Itu tentu harga yang masih welcome di Indonesia. Bandingkan kalau membeli makanan di hotel, bisa dua kali lipat harganya.

Selain itu, ragam makanan yang dijual di pinggiran hotel itu juga lebih banyak. Kendalanya hanya satu, pedagang jalanan ini kadang harus siap diobrak Baladiya, atau petugas pengawas penjualan makanan dan barang di Arab Saudi.

Halaman
12
Sumber: Surya
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved