Berita Blitar

Dulu Sering Diledek Anak-anak, kini Suhari Juragan Dawet di Blitar Beromzet Rp 17 Juta Per Hari

Soerang Suhari (63) warga Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar sukses menjadi juragan dawet beromzet puluhan juta per hari.

Penulis: Imam Taufiq | Editor: Parmin
surya.co.id/imam taufiq
Suhari sedang melayani dua pembeli dawetnya, Cici Andriani dan Siti Munawaroh. 

Suhari mengaku dirinya berjualan dawet itu bukan kebetulan melainkan meneruskan dari warisan orangtuanya, yang juga penjual dawet saat itu.

Terus, papar dia, dawet khas makanan nusantara, dan bisa dimakan segala usia, bahkan bayi sekalipun.

"Kalau bukan kita, siapa lagi yang melestarikannya. Jangan sampai punah," ujarnya.

Memang, jika tak dilestarikan, maka maka dawet ini akan dipatenkan negara lain.

Sebab, versi CNN travel 2018, dawet itu masuk daftar 50 makanan penutup (dessert) terenak.

Namun, yang membuat kita terhenyak, itu bukan dawet kita, yang masuk 50 makanan pencuci mulut itu, melainkan dawet milik Singapura.

Ramai di Media Sosial

Tak hanya orang Indonesia, yang protes, namun media Malaysia, Malay Mail, juga menyayangkan.

Bagi pakar-pakar makanan, dawet itu, konon sudah ada sejak kerajaan Majapahit.

Bisa jadi, itu sampai ke singapura karena dibawa pasukan Gajah Mada saat melakukan ekspansi ke negara bersimbol Merlion (kepala Singa) tahun 1350 dulu.

Tak diragukan, kalau ada banyak varian dawet di nusantara. Misalnya, ada Cendol Elizabeth, yang tersohor di Bandung, ada dawet ayu, yang khas Jawa Tengah, termasuk dawet ireng, yang hanya ada di Purworejo (Jateng).

Di Jawa Timur pun, juga cukup dikenal, dawet Desa Jabung, Ponorogo.

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved