Cegah Obesitas, Perkeni Ingatkan Cara Sederhana dengan Rutin Kontrol Berat Badan

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 2023, prevalensi obesitas dewasa nasional mencapai 23,4 persen, naik dari 21,8 persen pada 2018.

SURYA.co.id/Sri Handi Lestarie
BAHAYA OBESITAS - Dari kiri ke kanan : Dr dr Sony Wibisono, Sp PD, K-EMD, FINASIM, Wakil Ketua II PP Perkeni, sekaligus Ketua Pokja Obesitas bersama Prof Dr dr Em Yunir, Sp PD, K-EMD, FINASIM, Ketua Umum PP Perkeni, dan Dr dr Nanny Nathalia Soetedjo, Sp PD, K-EMD, M Kes, FINASIM, DCN, Wakil Ketua III Perkeni, sekaligus Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan, Ketua Pokja Nutrisi, serta dr Riyanny Meisha Tarliman, Novo Nordisk Indonesia, Clinical, Medical, and Regulatory Director, saat kegiatan Small Group Discussion tentang Obesitas di Surabaya, Minggu (24/8/2025). Perkeni bersama Novo Nordisk Indonesia mengingatkan masyarakat untuk rutin mengontrol berat badan agar terhindar dari dampak fatal obesitas. 

SURYA.CO.ID, SURABAYA - Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) bersama Novo Nordisk Indonesia mengingatkan masyarakat untuk rutin mengontrol berat badan agar terhindar dari dampak fatal obesitas.

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 2023, prevalensi obesitas dewasa nasional mencapai 23,4 persen, naik dari 21,8 persen pada 2018.

Sementara obesitas sentral, yakni lingkar perut melebihi batas normal, dialami oleh 36,8 persen penduduk usia 15 tahun ke atas.

"Obesitas itu penyakit. Kondisi ini meningkatkan risiko diabetes tipe 2, hipertensi, penyakit jantung, stroke, hingga kematian dini. Karena itu masyarakat harus sadar sejak dini dan rutin mengontrol berat badan," kata Prof Dr. dr. Em Yunir, Sp.PD, K-EMD, FINASIM, Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Perkeni, di sela kegiatan Small Group Discussion tentang Obesitas di Surabaya, Minggu (24/8/2025). 

Baca juga: Obesitas Jadi Ancaman? Atasi Dengan Cara yang Tepat, Efektif Aman

Secara medis, obesitas ditentukan melalui Indeks Massa Tubuh (IMT).

IMT normal berada pada rentang 18,5-22,9. Jika hasil menunjukkan angka 23-24,9, dikategorikan kelebihan berat badan tahap awal.

Nilai 25-29,9 masuk obesitas tingkat I. Sedangkan lebih dari 30 dikategorikan obesitas tingkat II yang berisiko tinggi.

Lingkar perut juga menjadi indikator penting, yakni lebih dari 90 cm pada pria dan 80 cm pada wanita.

Baca juga: Obesitas Jadi Ancaman Baru Para ASN Lamongan, Disarankan Sering Bergerak Aktif Dan Jaga Pola Makan

Prof Yunir menekankan agar masyarakat segera memeriksakan diri ketika berat badan mulai naik atau lingkar perut berlebih.

"Jika ditemukan penyakit penyerta seperti diabetes, hipertensi, atau gangguan jantung, pasien akan dirujuk ke dokter spesialis sesuai diagnosis," jelasnya.

Wakil Ketua II Perkeni, sekaligus Ketua Kelompok Kerja Obesitas, Dr. dr. Sony Wibisono, Sp.PD, K-EMD, FINASIM, menambahkan, penanganan obesitas harus dilakukan secara menyeluruh.

"Intervensi tidak hanya sekadar menurunkan berat badan, tapi juga mencegah dan memperbaiki komplikasi. Bahkan penurunan 5-10 persen berat badan saja sudah mampu mengurangi risiko penyakit serius," tambah dr Sony.

Baca juga: Lewat Program ASV, Pemkab Mojokerto dan Ajinomotor Berkolaborasi Perangi Stunting dan Obesitas

Dr. dr. Nanny Nathalia Soetedjo, Sp.PD, K-EMD, M.Kes, FINASIM, DCN, Wakil Ketua III Perkeni yang juga Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan, Ketua Pokja Nutrisi, menyoroti pentingnya edukasi sejak usia dini.

"Kebiasaan makan berlebih dan kurang aktivitas fisik adalah pemicu utama. Edukasi gizi seimbang dan gaya hidup aktif harus dimulai sejak anak-anak agar tren obesitas tidak makin meningkat," benernya.

Dari sisi industri kesehatan, Clinical Medical and Regulatory Director Novo Nordisk Indonesia, dr Riyanny Meisha Tarliman, menjelaskan inovasi terapi modern berbasis GLP-1 telah membuka harapan baru.

"Studi global STEP menunjukkan terapi ini, yang diberikan sekali seminggu, mampu menurunkan berat badan secara bermakna, sekaligus menurunkan tekanan darah, memperbaiki kontrol gula darah, dan meningkatkan kualitas hidup," ungkap dr Riyanny.

Pada sub-studi STEP HFpEF, penurunan berat badan juga terbukti meningkatkan fungsi jantung pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi terjaga.

Bahkan, studi internasional SELECT yang melibatkan 17.604 peserta di 41 negara menunjukkan terapi ini mampu mengurangi risiko kejadian kardiovaskular mayor, seperti serangan jantung, stroke, dan kematian akibat penyakit jantung, hingga 20 persen dibandingkan plasebo.

"Terapi ini ditoleransi dengan baik, dengan profil keamanan yang konsisten. Kami berharap inovasi ini bisa menjadi bagian dari solusi manajemen obesitas di Indonesia," pungkas dr Riyanny.

BACA BERITA SURYA.CO.ID LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved