Berita Viral

Duduk Perkara Gebrakan Dedi Mulyadi Iuran Rp 1000 Tuai Pro dan Kontra, Ini Kata Warga dan Pengamat

Begini duduk perkara gebrakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi terkait iuran Rp 1000 per hari yang menuai pro dan kontra.

Tribun Jabar
GEBRAKAN DEDI MULYADI - Gubernur Jabar Dedi Mulyadi bikin gebrakan baru yakni iuran Rp 1000 per hari. Simak duduk perkaranya. 

SURYA.co.id - Begini duduk perkara gebrakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi terkait iuran Rp 1000 per hari yang menuai pro dan kontra.

Kebijakan iuran Rp 1000 per hari ini menai beragam respon dari warga Jawa Barat.

Bahkan, gebrakan ini juga memantik reaksi dari pengamat kebijakan publik.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, memperkenalkan gerakan sosial baru bertajuk “Rereongan Sapoe Sarebu”, sebuah inisiatif gotong royong yang mengajak masyarakat menyisihkan Rp1.000 per hari untuk membantu warga kurang mampu di bidang pendidikan dan kesehatan.

Dalam bahasa Sunda, Rereongan Sapoe Sarebu berarti “gotong royong seribu rupiah per hari.”

Program ini lahir dari semangat kebersamaan khas masyarakat Sunda yang berakar pada tiga nilai luhur: silih asah (saling mengingatkan), silih asih (saling mengasihi), dan silih asuh (saling membantu).

Tujuan dan Mekanisme Program

Program ini resmi dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Nomor 149/PMD.03.04/KESRA, yang ditandatangani secara elektronik oleh Gubernur Dedi Mulyadi pada 1 Oktober 2025.

Tujuannya jelas: membantu kebutuhan darurat masyarakat, mulai dari biaya sekolah, pembelian buku, seragam, hingga pengobatan bagi warga yang belum memiliki BPJS atau akses layanan kesehatan.

Dana akan dikumpulkan melalui rekening khusus Bank BJB, dikelola oleh pengurus lokal di tiap instansi, sekolah, atau lingkungan RT/RW.

Transparansi dijaga lewat laporan publik di aplikasi Sapawarga dan portal resmi Pemprov Jabar, agar setiap rupiah dapat dipantau masyarakat.

Sifat Sukarela, Tapi Didorong Jadi Gerakan Massal

Meski bersifat sukarela, surat edaran tersebut telah disampaikan kepada bupati, wali kota, kepala dinas, dan lembaga pendidikan di seluruh Jawa Barat.

Gubernur Dedi menekankan bahwa kontribusi kecil ini bukan sekadar donasi, tetapi bentuk solidaritas nyata antarwarga.

“Kami mengajak ASN, pelajar, dan masyarakat menyisihkan Rp1.000 per hari. Kontribusi sederhana ini menjadi wujud solidaritas dan kesukarelawanan sosial, demi membantu kebutuhan darurat masyarakat,” tulis Dedi dalam SE tersebut.

Respons Warga Beragam

Respons masyarakat terhadap Rereongan Sapoe Sarebu beragam. Ada yang menyambut positif, ada pula yang menilai program ini berpotensi disalahgunakan jika tidak diawasi ketat.

Edi Kusnaedi (35), warga Bojongsoang, Kabupaten Bandung, mengaku setuju dengan gagasan ini meski tetap berharap pelaksanaannya transparan.

“Seribu rupiah itu kan kecil sekali. Tapi kalau dikumpulkan banyak orang, pasti hasilnya besar. Bisa bantu anak-anak sekolah atau orang sakit yang tidak mampu,” ujar Edi kepada Tribun Jabar, Sabtu (4/10/2025).

Namun ia menegaskan pentingnya pengawasan.

“Apakah uangnya benar-benar sampai ke masyarakat atau tidak? Kita sering dengar bantuan tidak tepat sasaran. Jadi mekanismenya harus jelas, transparan, dan gampang diakses publik. Kalau itu bisa dibuktikan, pasti banyak orang yang mau ikut,” katanya.

Berbeda dengan Edi, Enung (40), warga Soreang, justru merasa khawatir dengan potensi penyalahgunaan dana.

“Terus terang saya kurang setuju. Seribu memang kecil, tapi kalau tiap hari dikumpulkan se-Jawa Barat kan jumlahnya besar sekali. Kalau tidak ada pengawasan ketat, ya rawan dikorupsi,” ujarnya.

Ia berharap pemerintah provinsi memperkuat sistem pengawasan sebelum program dijalankan secara luas.

“Buat saya, pemerintah harus buktikan dulu sistem pengawasannya benar-benar kuat. Kalau tidak, iuran ini hanya akan menambah ketidakpercayaan masyarakat,” tambahnya.

Sementara itu, Wisnu (29) dari Kecamatan Katapang memilih untuk bersikap netral.

“Saya sih ngikut saja apa kata pemerintah. Seribu per hari tidak akan bikin miskin, malah bisa jadi amal kalau betul dipakai membantu orang susah,” katanya.

“Tapi kalau ujung-ujungnya ada kebocoran atau diselewengkan, ya rugi juga masyarakat. Jadi kuncinya pemerintah harus jaga amanah. Kalau benar-benar untuk kebaikan, saya siap ikut.”

Tanggapan Pengamat

Menurut Kristian Widya Wicaksono, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), pemerintah seharusnya memaksimalkan penggunaan sumber daya yang berasal dari pajak dan retribusi sebelum membuat pungutan baru.

“Jika ada pungutan tambahan di luar pajak, perlu diperhatikan segmen masyarakat mana yang akan dilibatkan,” ujarnya.

Kristian menilai, gerakan ini memang memiliki niat baik dalam membangun rasa gotong royong, namun pelaksanaannya harus selektif agar tidak menambah beban bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

“Yang perlu dipastikan adalah siapa yang berpartisipasi. Jangan sampai program ini justru memberatkan masyarakat kecil,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya mekanisme pengawasan yang ketat dan tata kelola dana yang akuntabel.

“Artinya, harus dipersiapkan dengan matang tata kelola yang bersih dan akuntabel agar dapat dipertanggungjawabkan dengan baik,” tegasnya.

Meski begitu, Kristian menilai karena sifatnya imbauan, masyarakat memiliki hak untuk tidak berpartisipasi terlebih dahulu sambil melihat efektivitas program.

“Masyarakat berhak memutuskan untuk menunda partisipasinya, sambil menunggu sejauh mana manfaat program memang mendatangkan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan,” ujarnya.

Harapan Akhir: Gotong Royong untuk Jawa Barat Istimewa

Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu merupakan bagian dari visi Dedi Mulyadi untuk menumbuhkan solidaritas sosial berbasis nilai kearifan lokal Sunda.

Dana yang terkumpul akan digunakan untuk membantu pelajar kurang mampu, pasien yang tidak memiliki BPJS, serta masyarakat dalam kondisi darurat.

Setiap pengelola di tingkat instansi, sekolah, hingga RT/RW wajib membuat laporan publik dan mempublikasikannya lewat media sosial resmi dengan tagar #RereonganPoeIbu dan #JawaBaratIstimewa.

Dedi berharap semangat gotong royong ini menjadi gerakan sosial berkelanjutan.

“Gerakan ini harus berjalan baik agar benar-benar menjadi kekuatan solidaritas masyarakat Jawa Barat. Dengan rereongan, kita wujudkan Jawa Barat Istimewa,” tulis Dedi dalam SE tersebut.

Sebagai penulis, saya melihat Rereongan Sapoe Sarebu bukan sekadar program iuran kecil, melainkan sebuah cermin dari budaya gotong royong yang sudah lama menjadi napas kehidupan masyarakat Jawa Barat. Nilai silih asah, silih asih, silih asuh yang dihidupkan kembali lewat gerakan ini sejatinya mengandung semangat luhur: membantu tanpa pamrih, menolong tanpa menunggu kaya.

Namun, di tengah niat baik itu, saya juga memahami keraguan sebagian warga. Di era ketika kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana kerap goyah, transparansi menjadi harga mati. Sebaik apa pun programnya, tanpa tata kelola yang terbuka, semua niat baik bisa kehilangan makna.

Seribu rupiah memang tampak kecil. Tapi di balik angka kecil itu, tersimpan kekuatan besar jika dikelola dengan benar. Bayangkan, jutaan warga Jawa Barat menyumbang setiap hari, dana yang terkumpul bisa menjadi tumpuan harapan bagi pelajar miskin yang hampir putus sekolah, atau pasien yang tak mampu menebus obat di rumah sakit.

Karena itu, kunci keberhasilan Rereongan Sapoe Sarebu bukan hanya pada jumlah dana yang terkumpul, tetapi pada kejujuran, kepercayaan, dan keterbukaan dalam setiap rupiahnya. Bila pemerintah mampu membuktikan integritasnya, maka gotong royong ini bisa menjadi model solidaritas sosial yang menginspirasi provinsi lain di Indonesia.

Pada akhirnya, Rereongan Sapoe Sarebu adalah ujian bagi kita semua, apakah kita masih percaya bahwa kebaikan kecil, bila dilakukan bersama, dapat mengubah nasib banyak orang?

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved