Berita Viral

Imbas MDIS Pastikan Gibran Lulus Sarjana, Meilanie Buitenzorgy dan Subhan Kompak Respon Nyelekit

Klarifikasi MDIS terkait pendidikan Wapres Gibran Rakabuming menuai respon nyelekit dari sejumlah pihak. Meilanie Buitenzorgy dan Subhan Kompak.

Kolase tribunnews
IJAZAH GIBRAN - Kolase foto Subhan Palal, penggugat ijazah Gibran, dan Meilanie Buitenzorgy. Mereka kompa beri respons nyelekit terkait klarifikasi MDIS. 

SURYA.co.id - Klarifikasi Management Development Institute of Singapore (MDIS) terkait pendidikan Wapres Gibran Rakabuming menuai respon nyelekit dari sejumlah pihak.

Respon nyelekit tersebut datang dari Subhan Palal, selaku penggugat ijazah Gibran.

Reaksi serupa juga datang dari Dosen IPB, Meilanie Buitenzorgy, yang juga sempat viral menguliti riwayat pendidikan Gibran.

Dirangkum SURYA.co.id, begini reaksi mereka.

Meilanie Buitenzorgy Sindir MDIS Abal-abal

Nama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali jadi sorotan setelah akademisi IPB University, Meilanie Buitenzorgy, mengangkat isu terkait riwayat pendidikannya.

Sebelumnya Meilanie sempat mengulas mengenai masa sekolah menengah Gibran.

Baca juga: Terlanjur MDIS Pastikan Gibran Lulus Sarjana, Subhan Malah Beri Jawaban Menohok: Semua Kecele

Kini, ia kembali menyinggung lembaga pendidikan di Singapura, Management Development Institute of Singapore (MDIS), tempat yang disebut-sebut menjadi lokasi Gibran menempuh program diploma hingga sarjana.

Menurutnya, kejanggalan muncul karena ada keraguan terhadap keabsahan ijazah pendidikan menengah.

Ia menilai hal itu seharusnya menjadi pertanyaan besar ketika sebuah kampus tetap menerima mahasiswa dengan latar belakang yang tidak jelas.

Meilanie juga menyoroti bahwa MDIS bukanlah universitas murni, melainkan lebih sebagai penyelenggara pendidikan yang bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi lain.

Kondisi ini, menurutnya, membuat penerbitan ijazah menjadi lebih longgar.

Awalnya, ia mengulas fenomena banyaknya kampus luar negeri yang justru bersifat “instan” dengan menerima siapa pun, selama sang calon mahasiswa mampu membayar biaya pendidikan yang tinggi.

Melalui unggahan di akun Facebook pribadinya pada Selasa (30/9/2025), Meilanie menegaskan pentingnya masyarakat untuk tidak langsung terpesona dengan gelar lulusan luar negeri.

Ia mengingatkan, tidak semua institusi memiliki kualitas akademik yang kredibel.

Bahkan, Meilanie menyinggung praktik sejumlah kampus yang lebih berorientasi pada keuntungan finansial dibanding menjaga kualitas standar akademis.

“Yang tidak dipahami oleh orang-orang yang tidak pernah sekolah di LN adalah ada banyak kampus abal-abal di luar negeri," tulis Meilanie.

Baca juga: Profil MDIS Tempat Kuliah Gibran di Singapura yang Klarifikasi dan Pastikan Wapres Lulus Sarjana

Ia mencontohkan ada perguruan tinggi di Inggris yang berani menerima mahasiswa meski tidak memiliki ijazah setingkat SMP.

Alasan utamanya, kata dia, bukan karena kecerdasan luar biasa, melainkan murni bisnis.

"Apakah karena anak itu jenius? Sama sekali tidak. Simply karena, kampus-kampus lancung itu perlu mengeruk duit ortu-ortu kaya yang haus status punya anak jenius," tambahnya.

Meilanie juga menyinggung fenomena promosi kampus semacam itu dengan jargon degree granting atau yang dikenal sebagai “universitas pasti lulus”.

Pernyataan tajam Meilanie kemudian mengerucut pada sindiran terhadap pejabat tinggi di Indonesia, meski tanpa menyebut nama secara langsung.

Ia menilai ada rekam jejak pendidikan yang ganjil dan tidak konsisten.

Di akhir analisisnya, Meilanie menegaskan kembali bahwa MDIS bukan universitas, sekaligus menyinggung soal mekanisme penyetaraan ijazah di Kementerian Pendidikan.

Baginya, langkah penyetaraan ini seharusnya menjadi filter penting agar ijazah dari kampus abal-abal tidak begitu saja diakui di Indonesia.

Subhan Palal Semua Pihak Kecele

Sebelumnya, Management Development Institute of Singapore (MDIS), kampus yang pernah menjadi tempat studi Gibran, sudah memberikan klarifikasi resmi. Namun, Subhan justru menanggapi dengan pernyataan berbeda yang terkesan menyudutkan.

Menurutnya, keterangan MDIS mengenai validitas diploma Gibran sama sekali tidak berkaitan dengan substansi gugatan yang diajukan di pengadilan.

“Semua analisis tentang riwayat pendidikan Gibran kecele. Karena, saya tidak mempersoalkan itu,” ujar Subhan, Rabu (1/10/2025), dikutip dari Kompas.com.

Ia menegaskan bahwa perkaranya bukan menyangkut jenjang kuliah, melainkan soal pendidikan menengah atas.

“SMA Gibran tidak memenuhi ketentuan UU Pemilu UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 169 huruf r,” jelasnya.

Lebih lanjut, Subhan juga menyinggung soal mekanisme penyetaraan ijazah luar negeri. Walaupun dokumen sekolah luar negeri dapat disetarakan dengan ijazah dalam negeri, menurutnya aturan itu tidak serta-merta berlaku dalam konteks persyaratan pemilu.

“Meskipun disetarakan, UU Pemilu minta sekolah lain yang sederajat, bukan setara,” imbuhnya.

Subhan menekankan bahwa kebijakan penyetaraan tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang ingin melanjutkan studi di Indonesia, bukan dijadikan syarat administratif untuk maju dalam jabatan politik.

“Penyetaraan hanya diakui untuk kelanjutan sistem pendidikan di Indonesia, menurut Kepmen,” tegasnya.

Sebelumnya, Gibran Rakabuming Raka resmi dipastikan lulus sarjana saat menempuh pendidikan di Singapura. 

Management Development Institute of Singapore (MDIS) memberikan klarifikasi terkait riwayat akademik Wakil Presiden RI tersebut. 

MDIS menegaskan bahwa klarifikasi ini dikeluarkan setelah muncul perdebatan di media sosial mengenai status pendidikan Gibran. 

"Management Development Institute of Singapore (MDIS) ingin menanggapi pernyataan yang beredar di media sosial mengenai kualifikasi pendidikan Bapak Gibran Rakabuming Raka," tulis MDIS dalam keterangan resminya, Rabu (1/10/2025).

Dalam pernyataan itu, MDIS menyebut Gibran merupakan mahasiswa penuh waktu sejak 2007 hingga 2010. 

"Bapak Gibran Rakabuming Raka adalah mahasiswa penuh waktu di Management Development Institute of Singapore (MDIS) dari tahun 2007 hingga 2010," jelas pihak MDIS. 

Selama periode tersebut, Gibran berhasil menyelesaikan program Diploma Lanjutan. 

Setelah menyelesaikan diploma, Gibran melanjutkan studi untuk meraih gelar sarjana. 

"Dilanjutkan dengan gelar Sarjana Sains (Honours) di bidang Marketing yang diberikan oleh mitra universitas kami saat itu, University of Bradford, Inggris," ungkap MDIS. 

MDIS juga menegaskan bahwa mereka adalah salah satu institusi pendidikan nirlaba tertua di Singapura. 

"Kami menawarkan pendidikan tinggi yang tangguh dalam lingkungan yang kondusif, memastikan mahasiswa siap menghadapi tantangan dan peluang dalam ekonomi global," tulis mereka. 

Menurut MDIS, para lulusan dibekali keterampilan mutakhir agar mampu bersaing di dunia profesional yang terus berkembang. 

MDIS menjelaskan bahwa program pendidikan mereka dijalankan melalui kolaborasi dengan universitas luar negeri. 

"Semua diploma dan gelar yang diberikan oleh mitra universitas luar negeri kami yang terhormat mematuhi standar akademik yang ketat," tegas MDIS. 

Mereka juga memastikan setiap mahasiswa mendapatkan pengalaman belajar yang sesuai standar internasional.

Kasus polemik ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming kembali menyeruak ke ruang publik. Kali ini, bukan hanya melalui jalur hukum yang ditempuh Subhan Palal, tetapi juga lewat kritik akademisi IPB University, Meilanie Buitenzorgy, yang mempertanyakan kredibilitas lembaga pendidikan luar negeri, khususnya Management Development Institute of Singapore (MDIS).

Bagi saya, isu ini tidak sekadar tentang Gibran pribadi, melainkan tentang transparansi dan integritas pendidikan di Indonesia. Klarifikasi MDIS yang menegaskan status kelulusan Gibran seolah ingin menutup perdebatan. Namun, pernyataan tajam Meilanie dan respons Subhan justru membuka celah baru: benarkah sistem penyetaraan ijazah dan seleksi pendidikan kita sudah berjalan dengan adil dan ketat?

Apa yang disampaikan Meilanie soal “kampus abal-abal” patut dicermati. Fenomena komersialisasi pendidikan tinggi, terutama di luar negeri, bukan hal baru. Ada universitas yang berorientasi bisnis, siap menerima siapa pun asalkan mampu membayar. Jika benar demikian, maka bukan hanya kualitas akademik yang dipertaruhkan, melainkan juga kepercayaan publik terhadap gelar lulusan luar negeri.

Di sisi lain, Subhan menyoroti celah hukum dalam penyetaraan ijazah. Poinnya sederhana tapi krusial: aturan yang berlaku untuk pendidikan tidak otomatis bisa dipakai sebagai syarat konstitusional dalam pencalonan pejabat publik. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan penting—apakah aturan penyetaraan yang ada memang sudah cukup ketat untuk mencegah manipulasi, ataukah masih bisa disalahgunakan?

Kasus Gibran menjadi potret bagaimana politik, pendidikan, dan hukum saling bertaut dalam pusaran kepentingan. Di tengah hiruk-pikuk klarifikasi, publik seharusnya tidak sekadar terjebak pada siapa yang salah atau benar. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, diperlakukan dengan standar yang sama dalam pendidikan maupun politik.

Jika tidak, polemik ini hanya akan menjadi siklus tahunan: heboh, ramai dibahas, lalu hilang tanpa menghasilkan perbaikan nyata.

>>>Update berita terkini di Googlenews Surya.co.id

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved