Pelaku Thrifting Surabaya Bersuara

Menkeu Purbaya Larang Impor Pakaian Bekas, Pengusaha Thrifting Surabaya: Thrifting Bukan Ancaman

Pelarangan impor pakaian bekas Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menimbulkan kegelisahan pelaku usaha thrifting, termasuk di Surabaya.

Penulis: Fikri Firmansyah | Editor: irwan sy
Istimewa
BERHARAP - Arief Suwandi, pemilik toko thrifting Cantolan Kastok di Surabaya, berpose di dalam tokonya yang telah beroperasi lebih dari 14 tahun. Arief berharap pemerintah tidak melarang thrifting secara total dan memilih untuk mengatur agar usaha kecil tetap hidup. 
Ringkasan Berita:
  • Pelaku usaha thrifting Surabaya, Arief Suwandi (owner Cantolan Kastok), menolak rencana pelarangan.
  • Bisnis thrifting dianggap menggerakkan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja.
  • Ia membantah thrifting merusak UMKM, sebaliknya mendukung daur ulang/keberlanjutan.
  • Isu pelarangan telah mengganggu pasokan barang karena pemasok menahan stok.
  • Pelaku usaha berharap pemerintah membuka dialog dan siap diatur/dipajaki asal tidak dilarang total.

 

SURYA.co.id, SURABAYA – Isu soal rencana pelarangan impor pakaian bekas yang kembali mencuat setelah pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa telah menimbulkan kegelisahan tersendiri bagi para pelaku usaha thrifting di berbagai daerah, termasuk di Surabaya.

Salah satu pelaku usaha yang turut menanggapi kebijakan ini adalah Arief Suwandi, owner toko thrifting Cantolan Kastok, yang telah berdiri lebih dari 14 tahun di Surabaya.

Baca juga: Pelaku Usaha Thrifting Probolinggo Menjerit, Rugi Akibat Larangan Impor Pakaian Bekas

Arif menilai kebijakan pelarangan thrifting justru berpotensi menekan sektor usaha kecil yang selama ini menjadi bagian dari ekosistem ekonomi kreatif.

“Kalau menurut saya pribadi, justru lebih baik dilegalkan. Karena yang dipermasalahkan itu kan legalitasnya. Kalau dilegalkan, pemerintah juga bisa dapat pajak, pelaku usaha juga aman. Masalahnya, selama ini kan dianggap ilegal, padahal bisa diregulasi,” ujar Arief kepada SURYA.co.id, Jumat (14/11/25).

Cantolan Kastok menjadi salah satu toko thrifting tertua di Surabaya.

Berdiri sejak tahun 2011, toko ini menawarkan berbagai produk apparel, mulai dari baju, topi, sepatu, hingga jaket.

Sistem penjualannya dibagi dua lantai.

Lantai 1 untuk koleksi obral dengan harga Rp25 ribu hingga Rp100 ribu, dan lantai 2 untuk koleksi selected items dengan kualitas tinggi yang dibanderol mulai di atas Rp100 ribu hingga Rp2-3 juta per potong.

“Kalau yang di atas itu biasanya barang vintage, rare item, dan masih sangat bagus kondisinya. Banyak peminatnya meskipun bekas,” jelas Arief.

Ruang Ekonomi Baru

Ia mengaku seluruh barang yang dijualnya diperoleh dari rekanan dalam negeri, bukan impor langsung, untuk menghindari jalur ilegal.

“Saya ambilnya dari orang-orang Indonesia yang sudah ready barangnya di sini. Bukan dari luar negeri langsung,” tambahnya.

Arief menyebut bisnis thrifting justru menjadi ruang ekonomi baru bagi banyak anak muda dan pelaku usaha kecil.

Dari satu toko seperti Cantolan Kastok, setidaknya 10 orang bisa mendapat pekerjaan tetap.

“Kita ini juga penggerak UMKM, sama seperti pelaku usaha lain. Kita mempekerjakan orang, membayar sewa tempat, dan punya kontribusi ekonomi. Jadi aneh kalau thrifting dianggap merusak UMKM,” ungkapnya.

Menurutnya, kebijakan pemerintah seharusnya tak serta-merta melarang seluruh kegiatan thrifting, melainkan membedakan antara produk layak jual (grade atas) dengan barang campuran atau KW (grade bawah).

“Yang perlu diatur itu yang grade bawah, karena sering dicampur dengan barang KW. Tapi kalau yang grade atas, harusnya tidak masalah. Malah sayang kalau dilarang,” kata Arief.

Meski kebijakan pelarangan thrifting belum resmi diteken, Arief mengaku sudah mulai merasakan dampaknya pada pasokan barang.

Para pemasok besar yang biasa menyediakan stok kini memilih menahan diri.

“Penjualan sih masih stabil, tapi pasokan barang agak seret. Karena para juragan di atas juga ragu mau jalanin barangnya. Semua masih nunggu keputusan resmi pemerintah,” ujarnya.

Namun begitu, ia optimistis bisnis thrifting masih akan tetap diminati, apalagi oleh kalangan muda yang semakin sadar gaya dan keberlanjutan.

“Pasarnya tetap ada. Sekarang justru anak muda banyak yang bangga pakai barang thrift, karena selain murah juga punya karakter unik,” tuturnya.

Arief juga menyoroti bagaimana beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura justru sudah melegalkan dan mengatur bisnis thrifting secara resmi.

“Di Malaysia itu malah dilegalkan. Setiap bulan atau tiga bulan sekali ada acara resmi dari pemerintah yang mendukung thrifting. Harusnya Indonesia bisa belajar dari situ. Kalau legal, semua jadi tertib,” ucapnya.

Bagi Arief, bisnis pakaian bekas bukan sekadar soal jual-beli, tapi bagian dari budaya berkelanjutan dan kreativitas anak muda.

Ia menilai bahwa di balik stigma 'barang bekas', thrifting justru mengajarkan nilai daur ulang dan apresiasi terhadap kualitas lama yang masih layak pakai.

“Selama barang itu dirawat dan di-treatment dengan benar sebelum dijual, tidak ada masalah kesehatan. Malah membantu mengurangi limbah tekstil,” katanya.

Arief berharap pemerintah pusat membuka ruang dialog dengan para pelaku usaha thrifting sebelum membuat keputusan final.

“Kami siap diatur, siap bayar pajak, asal tidak langsung dilarang. Karena thrifting juga bagian dari roda ekonomi masyarakat kecil,” pungkasnya.

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved