Pengelola SPPG Di Kediri Jawab Viralnya Video, Tegaskan Pekerja Bukan Karyawan Tetap Tetapi Relawan

Terkait tuduhan jam kerja di luar ketentuan, Lutfi menyebut dapur SPPG telah menjalankan sistem kerja sesuai SOP yakni 8 jam kerja per hari

Penulis: Isya Anshori | Editor: Deddy Humana
surya/isya anshori (isyaanshori)
DAPUR MBG - Suasana dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) berlokasi di Desa Rembangkepuh, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. 

SURYA.CO.ID, KEDIRI - Polemik seputar sistem kerja di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Desa Rembangkepuh, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri terus menuai perhatian publik. 

Sebelumnya, video berdurasi 17 detik menyoroti suasana kerja di dapur SPPG tersebut dengan dugaan praktik kerja otoriter dan jam kerja molor. Menanggapi video viral itu, kini pihak pengelola SPPG akhirnya buka suara.

Melalui penasihat hukumnya, Lutfi Amrullah, pihak pengelola dapur SPPG memberikan klarifikasi resmi atas beredarnya video dan pemberitaan yang menyebut ketidaksesuaian antara perjanjian kerja dan pelaksanaan di lapangan. Lutfi menegaskan bahwa narasi dalam video tersebut tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. 

"Video itu diambil saat kegiatan kerja bakti atau bakti sosial yang dilakukan pengelola bersama para relawan. Saat itu dapur baru berjalan dua sampai tiga hari, jadi semua masih dalam tahap adaptasi dan saling mengenal," jelas Lutfi kepada SURYA, Senin (6/10/2025).

Menurutnya, narasi dalam video yang menyebut jam kerja molor hingga 2-3 jam dianggap tidak benar. Ia menegaskan kegiatan saat itu bukan bagian dari jam kerja reguler, melainkan momen pengenalan dan pembentukan kekompakan antarrelawan.

"Tujuannya agar para relawan saling mengenal, memahami sistem kerja satu sama lain, dan membangun kekompakan. Jadi bukan lembur atau kerja berlebihan seperti yang disebutkan di video," imbuhnya.

Terkait tuduhan jam kerja di luar ketentuan, Lutfi menyebut dapur SPPG telah menjalankan sistem kerja sesuai SOP yakni 8 jam kerja per hari. 

Meski begitu, karena status para pekerja adalah relawan, jam kerja bisa lebih fleksibel menyesuaikan kebutuhan distribusi makanan bergizi (MBG) ke sekolah-sekolah.

"Status mereka bukan pekerja tetap, melainkan relawan yang membantu menjalankan program MBG. Kadang memang ada waktu tambahan karena pengawasan distribusi harus maksimal, tetapi setelah tiga hari pertama, jam kerja sudah kembali normal," ungkapnya.

Lutfi juga menanggapi keluhan soal pelatihan yang disebut tanpa kompensasi. Ia menyebut selama masa pelatihan, pihak dapur tetap memberikan uang transport sebesar Rp 15.000 per hari serta konsumsi 2-3 kali sehari kepada peserta.

"Memang selama masa training tidak ada gaji, tetapi ada kompensasi makan dan uang bensin. Masa pelatihan paling lama hanya lima hari, setelah itu mereka bisa mulai bekerja dan menerima upah," terangnya.

Pihak pengelola juga menepis anggapan otoriter yang dilontarkan dalam video viral tersebut. Lutfi menilai, disiplin dan ketegasan yang diterapkan pengelola justru diperlukan untuk menjaga kualitas makanan yang akan dikonsumsi anak-anak di sekolah.

"Kalau dibilang otoriter itu keliru. Dapur ini membutuhkan ketelitian dan kontrol kualitas yang ketat. Kami ingin memastikan makanan yang dikirim ke anak-anak sekolah benar-benar bersih, matang sempurna, dan memenuhi standar gizi," tegasnya.

Ia menambahkan, dalam proses manajemen dapur, pembayaran upah kepada relawan dilakukan setiap dua minggu sekali. Hal ini disesuaikan dengan mekanisme pencairan dana MBG dari pemerintah yang juga dilakukan secara berkala.

"Dana dari pemerintah cair setiap 14 hari sekali. Setelah itu baru kami lakukan pembayaran kepada relawan. Jadi sistem ini sudah sesuai dengan mekanisme yang diajukan sejak awal," ujar Lutfi.

Sumber: Surya
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved