SURYA.co.id - SK pengangkatan seharusnya menjadi kabar bahagia bagi para guru honorer yang telah lama menantikan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Namun, di sejumlah daerah di Indonesia, momen itu justru dibarengi dengan lonjakan angka perceraian, terutama di kalangan guru perempuan.
Fenomena ini mencuat di Blitar, Cianjur, Pandeglang, dan Wonogiri, menciptakan sorotan nasional terhadap relasi antara peningkatan status ekonomi dan stabilitas rumah tangga.
Di Kabupaten Blitar saja, tercatat lebih dari 75 persen gugatan cerai dalam 6 bulan terakhir datang dari guru perempuan berstatus PPPK.
Fenomena ini memicu keprihatinan publik dan pejabat setempat. Wakil Bupati Ponorogo, Lisdyarita, bahkan mengimbau para guru agar tidak melupakan peran keluarga di tengah pencapaian profesional mereka.
Sementara dari sisi psikologis, banyak faktor yang disebut ikut menyumbang keretakan rumah tangga, mulai dari stres kerja hingga perbedaan nilai hidup.
Baca juga: Ramai Bu Guru Ceraikan Suami Usai Terima SK PPPK, Wabup Ponorogo Lisdyarita: Pertahankan Keluarga
Para ahli menilai, fenomena ini tidak bisa disederhanakan hanya sebagai efek ekonomi.
Di balik status baru dan gaji yang meningkat, ada beban peran ganda, konflik yang tak terselesaikan, serta tekanan psikososial yang kerap tak terlihat.
Imbauan Lisdyarita mencerminkan keresahan yang lebih dalam.
Ia menekankan bahwa perjuangan menuju SK bukan semata-mata usaha individu, tetapi juga melibatkan dukungan pasangan dan keluarga.
“Kalau bisa pertahankan keluarga yang sudah utuh. Jangan sampai, ketika menjadi seseorang, lalu berubah seluruh hidupnya,” ujarnya dengan mata berkaca saat menyerahkan SK kepada ratusan PPPK Ponorogo di Pendopo Agung (24/7/2025).
Ia menambahkan, pencapaian karier semestinya menjadi pemersatu, bukan pemisah dalam pernikahan.
Namun kenyataannya, pola perceraian yang terjadi di beberapa daerah menunjukkan gejala serupa.
Kepala Disdikpora Cianjur, Ruhli, mengonfirmasi bahwa peningkatan cerai di kalangan guru perempuan PPPK didominasi oleh faktor ekonomi.
Ia menjelaskan bahwa ketika seorang perempuan telah memiliki kemandirian finansial, beberapa memilih untuk mengakhiri pernikahan yang selama ini dianggap tidak setara atau membebani.