Selama 50 Tahun Pasutri Jombang Menyepi di Tengah Hutan, Hidup dan Mencari Makan Dari Alam
Ia pun menetap di hutan bersama ayah dan ibunya, bertahan hidup dari hasil alam bahkan sebelum menikah
Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Deddy Humana
SURYA.CO.ID, JOMBANG - Kerimbunan hutan di Desa Kromong, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang bukannya diam. Di balik tegaknya pepohonan, tinggal sepasang suami istri yang setia mendampingi satu sama lain selama lebih dari 50 tahun.
Keduanya adalah Patmuani (59), yang akrab disapa Mbok Pat, dan suaminya, Sarjo (91) atau Mbah Jo. Mereka memilih menetap jauh dari keramaian desa, tanpa tetangga, tiada hiruk-pikuk, hanya suara angin, nyanyian burung, dan gemerisik daun yang menemani.
Mbok Pat menikah dengan Mbah Jo ketika usianya baru 13 tahun. Pertemuan mereka sederhana, dijodohkan keluarga setelah keduanya saling mengenal di desa.
Sejak itu, kehidupan Mbok Pat berpindah mengikuti suami. Pada tahun 1997, pasangan ini memutuskan menetap di hutan, membangun rumah sederhana dan hidup dari hasil alam.
“Hidup di sini nyaman, tidak ada bisik-bisik tetangga. Kalau sudah waktunya Allah memanggil, saya ingin dikubur di sini saja,” ucap Mbok Pat saat ditemui awak media di kediamannya, Senin (11/8/2025).
Setiap hari, Mbok Pat mencari daun lamtoro untuk pakan kambing peliharaannya. Sesekali ia masuk hutan mencari sayuran liar seperti sayur wangon, simbukan, hingga lempuyang.
Hasilnya dijual di pasar, meski jaraknya belasan kilometer dari rumah. Kadang ia berangkat tengah malam dengan sepeda onthel, kadang berjalan kaki.
“Setiap jam 12 malam berangkat ke pasar, sampai pasar itu jam 01.30 WIB Kalau pulang ya bawa uang seadanya, yang penting bisa makan,” katanya.
Sementara Mbah Jo mengurus ladang. Jagung, padi, ubi-ubian, hingga pepaya mereka tanam untuk makan sehari-hari. Hasilnya tidak hanya untuk mereka, tetapi juga kerap dibagikan kepada orang yang membutuhkan.
“Kalau ada yang butuh, saya kasih saja. Pinjam-pinjam kan bikin orang mikir berat. Mending langsung diberi,” ujarnya.
Mbok Pat lahir di Surabaya, lalu dibawa ke Desa Kromong saat berusia tiga tahun. Kedua orangtuanya telah tiada sejak ia kecil, bahkan ia tidak tahu di mana makam mereka.
Kehilangan itu membuatnya terbiasa hidup mandiri, keluar masuk hutan, hingga akhirnya bertemu pendamping hidupnya yakni Mbah Jo.
Meski hidup jauh dari fasilitas, ia mengaku tidak mengharapkan bantuan dari pemerintah. “Kalau dikasih, ya saya terima. Kalau enggak, ya saya diam saja. Kami masih bisa makan dari hasil kebun dan hutan,” ucapnya.
Sementara Mbah Jo sudah lebih dulu hidup dari alam sejak 1975, dengan mengolah tanah, menanam, dan memanfaatkan hasil hutan untuk bertahan hidup.
Bagi Mbah Jo, hutan bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga tempat bersembunyi. Ia lahir di Mojokerto, namun sejak lama memegang KTP Jombang.
Perpindahannya ke Desa Kromong, Jombang terjadi karena alasan politik pada masa Orde Baru. “Waktu itu zaman coblosan Soeharto. Saya ditakut-takuti, kalau tidak mencoblos akan diusir. Saya pilih pergi duluan sebelum diusir,” kenangnya.
Kejadian itu lalu mengantarkannya ke sebuah hutan di Desa Kromong, yang memang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kemlagi, Mojokerto.
Ia pun menetap di hutan bersama ayah dan ibunya, bertahan hidup dari hasil alam bahkan sebelum menikah.
Ia hidup lama di hutan sebelum akhirnya berjodoh dengan Mbok Pat dan memilih membangun rumah sederhana yang sekarang ia tempati sejak tahun 1997.
Pengalaman hidupnya jauh melampaui sekadar bertani. Mbah Jo pernah merasakan masa pergolakan penjajahan, saat Belanda lengser dan Jepang masuk Indonesia di masa Kemerdekaan.
“Waktu masa perang, saya di Mojokerto, hanya bersembunyi di hutan. Tidak berani keluar,” ungkapnya.
Di hutan, pengetahuan hidupnya diwarisi dari sang ayah. Untuk mengetahui pergantian hari, ia melihat posisi matahari dan bulan, dibantu hitungan Jawa yang telah ia kuasai sejak muda. “Kalau hidup di hutan, yang penting pintar-pintar mengolah tanah. Itu saja,” katanya.
Meski sudah berusia 91 tahun, Mbah Jo masih sehat dan bugar. Ia mengaku rahasianya sederhana, bangun tidur langsung minum brotowali ramuan pahit dari tanaman obat dan madu setiap hari. Bahkan, ia masih sanggup berjalan hingga 40 KM ke dalam hutan untuk mencari madu liar.
Untuk menempuh kediaman Mbah Jo dan Mbok Pat, jika titik keberangkatan dari Desa Kromong membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan medan jalan yang didominasi pasir dan bebatuan.
Di kediaman keduanya, tidak ada tetangga, hanya ada sebuah rumah kayu yang ditinggali oleh Mbah Jo dan Mbok Pat bersama kedua anaknya yang sudah besar. Ditambah dengan kandang kambing dan lahan tanaman tempat mereka beraktivitas sehari-hari.
Bagi pasangan ini, hutan bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah rumah, sumber kehidupan, sekaligus saksi perjalanan panjang cinta dan keteguhan hati mereka.
Dan ketika kelak tiba waktunya, mereka berharap jasadnya kembali ke tanah yang telah setia memeluk mereka selama setengah abad. *****
hidup di hutan
pasutri menyepi di hutan
setengah abad tinggal di hutan
pasutri Jombang hidup di hutan
50 tahun bertahan di belantara
Jombang
Meminimalir Sampah MBG, DLH Jombang Ajarkan Siswa Agar Tidak Menyisakan Makanan |
![]() |
---|
MBG Bak Melanjutkan Tradisi Pesantren, Pengelolaan Di Dapur Ponpes Darul Ulum Jombang Diawasi Ketat |
![]() |
---|
8 Parpol Dapat Banpol Rp 4,5 Miliar, Bakesbangpol Wajibkan Laporan Penggunaan Di Akhir Tahun |
![]() |
---|
20 Tahun Arpa 55 Menjaga Alam Jombang, Dari Hobi Mendaki Gunung Jadi Pelopor Kebersihan Lingkungan |
![]() |
---|
Program MBG di Jombang Berjalan Bertahap di Ponpes Darul Ulum, Terhenti di Sekolah Perkotaan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.