Tampilkan Teater Darpana, Komunitas TomboAti Jombang Sadarkan Agar Move On Dari Post Power Syndrome

Ini tentang Post Power Syndrome. Tentang mereka yang terlalu lama berada di atas, hingga tak sanggup turun dan menjadi biasa

Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Deddy Humana
surya/Anggit Puji Widodo (anggitkecap)
TEATER DARPANA JOMBANG - Penampilan Teater Darpana Jombang oleh Komunitas TomboAti yang digelar di Gedung Kesenian Jombang, Sabtu (2/8/2025). Teater Darpana merupakan agenda teater produksi ke-44 Komunitas TomboAti Jombang. 

SURYA.CO.ID, JOMBANG - Gedung Kesenian Jombang menjadi semakin ramai saat malam makin tua, Sabtu (2/8/2025). Banyak penonton menyimak jalan cerita dan pesan dari pementasan Teater Darpana dari Komunitas TomboAti.

Sejatinya, Teater Darpana bukan sekadar panggung pementasan, namun menjadi ruang refleksi kolektif tentang kekuasaan, keluarga, dan kegagalan berdamai dengan masa lalu.

Dibalut setting dengan nuansa istana dan elemen pewayangan, pentas ini dibuka dengan visual mewah, singgasana megah, cermin besar sebagai latar, dan para pemeran dengan busana bergaya kerajaan. 

Gelak tawa sempat mewarnai suasana ketika Cak Ukil, komedian lokal yang baru pulang dari ibadah haji, hadir dengan gaya khas dagelannya sebagai Kidang Alit. 

Tetapi seiring waktu berjalan, penonton mulai menangkap aroma getir yang terselubung dalam cerita jenaka itu. Tokoh utama, Aryo, digambarkan sebagai mantan figur publik yang kesulitan melepas statusnya. 

Tak sanggup menerima kenyataan hidup usai masa kejayaan, Aryo membangun dunianya sendiri dalam kerajaan imajiner tempat ia menjadi Dasamuka, sang raja agung. Keluarga dan orang-orang terdekatnya dipaksa bermain peran sebagai figur dalam dunia rekaan Aryo.

Sutradara Darpana, Imam Ghozali Ar yang baru memasuki masa pensiun, menyampaikan bahwa cerita ini bukan sekadar kisah pribadi Aryo, melainkan potret manusia yang bergumul dengan realita pasca kekuasaan. 

“Ini tentang Post Power Syndrome. Tentang mereka yang terlalu lama berada di atas, hingga tak sanggup turun dan menjadi biasa,” ucap Imam usai pementasan, Sabtu (2/8/2025) malam. 

Lebih dari sekadar drama panggung, Darpana menguliti lapisan-lapisan jiwa manusia. Ketika Aryo tak lagi mampu membedakan realita dan delusi, keluarganya berada di titik genting.

Mereka harus memilih mempertahankan delusi demi harmoni semu, atau mengambil keputusan menyakitkan dengan merawat Aryo secara medis. 

Momen ketika mereka akhirnya memutuskan membawa Aryo ke rumah sakit jiwa menjadi klimaks emosional pertunjukan pahit namun penuh kasih.

Penulis naskah, Fandi Ahmad menjelaskan bahwa Darpana merupakan adaptasi dari naskah legendaris Nano Riantiarno berjudul 'Maaf, Maaf, Maaf'. Namun, alur tersebut diolah ulang agar relevan dengan konteks hari ini. 

“Kami ambil struktur utama, sekitar 60 persennya. Sisanya kami gubah agar sesuai dengan kondisi sosial masyarakat sekarang, termasuk inspirasi dari pengalaman pribadi Mas Imam sebagai pensiunan,” ujar Fandi.

Pemilihan judul Darpana sendiri, yang dalam bahasa Sanskerta berarti cermin, menjadi simbol utama dalam narasi. Panggung tidak hanya menjadi arena bermain para aktor, melainkan cermin besar tempat penonton melihat pantulan diri mereka sendiri. 

“Aryo bisa siapa saja. Bisa saya, bisa Anda. Jika tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, kita bisa terperangkap dalam kenangan, dan itu bisa sangat berbahaya,” ungkap Imam.

Halaman
12
Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved