Wacana Bea Masuk Suramadu Mencuat Pasca Kecelakaan, Warga Bangkalan : Kembali ke Era Feodal!

maraknya pengendara motor menerobos jalur mobil di Jembatan Suramadu hingga saat ini mulai menjadi ‘pemandangan biasa’. 

Penulis: Ahmad Faisol | Editor: Deddy Humana
surya/ahmad faisol (edo)
JALUR MAUT - Polisi mengamankan jalur mobil di Jembatan Suramadu setelah seorang pesepeda tewas diserempet mobil pikap, Minggu (13/7/2025). Beberapa kecelakaan serupa dimulai dari kenekatan menerabas jalur mobil. 

Razia, tindakan tilang sekaligus imbauan kepada para pemotor di pintu keluar Jembatan Suramadu berulang kali telah dilakukan pihak Satlantas Polres Bangkalan

Seperti razia pada 15 Desember 2023, Satlantas Polres Bangkalan menjaring total 90 unit sepeda motor yang menerobos jalur kendaraan roda empat saat melintasi Jembatan Suramadu

Namun tindakan represif dari pihak kepolisian tidak kemudian membuat para pelintas kapok menerobos jalur mobil.   

“Diperlukan pemahaman bersama dari pelintas yang harus memiliki jiwa patuh marka. Atau kalau perlu mucul perasaan takut untuk lewat jalur mobil karena sangat beresiko, bukan malah bangga," kata Fathur. 

"Pemerintah juga harus memberikan rasa aman meski Suramadu gratis, namun yang lebih penting adalah menumbuhkan trust (kepercayaan) bahwa Jembatan Suramadu dibangun sebagai upaya meningkatkan derajat ekonomi masyarakat di Pulau Madura,” tambahnya.

Padahal sebelumnya, Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2018 meresmikan pembebasan biaya penyeberangan Jembatan Suramadu

Kebijakan Suramadu gratis itu tidak lain sebagai upaya untuk menarik animo investor agar berinvestasi di Pulau Madura dengan harapan terbukanya lapangan kerja yang luas.

Namun setelah 7 tahun berjalan, investasi berskala besar tidak kunjung hingga di Kabupaten Bangkalan.

Keberadaan Jembatan Suramadu hingga kini belum mempunyai dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat Madura, sebagaimana yang digelorakan pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2019.

Silang pendapat pun kini mengemuka di kalangan masyarakat berkaitan pemberlakuan kembali bea penyeberangan Jembatan Suramadu setelah beragam rangkaian peristiwa.

Salah satunya pemotor masuk jalur mobil atau sebaliknya, mewarnai kemegahan Jembatan Suramadu yang menjadi ikon Jawa Timur.  

“Kalau harus bayar lagi berarti kembali ke era feodalisme. Ini sudah sesuai tupoksi (tugas pokok fungsi) pemerintah yang harus menjaga, memelihara, dan memelihara fasilitas publik. Alokasi perawatan serta jaminan keselamatan bagi pelintas kan sudah ada melalui APBN,” pungkasnya.

Ketua Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Dasuki Rahmat mengaku prihatin dengan rentetan kejadian di Jembatan Suramadu yang akhirnya memunculkan stigma bahwa ada pembiaran dari pemerintah.     

“Jangan kemudian pemerintah berdiam diri karena Jembatan Suramadu tidak menghasilkan atau menyumbang untuk APBN. Karena satu nyawa itu tidak ternilai harganya, apa pun masalah di situ harus tetap dikaji. Motor masuk jalur mobil, mobil masuk jalur motor yang terkesan dibiarkan,” tegas Dasuki.

Ini memang ironis, bahkan setelah terbitnya Perpres Nomor 80 Tahun pada 20 November 2019 untuk percepatan pembangunan ekonomi di Gerbang Kertosusila, para investor besar belum juga melirik Bangkalan

“Perpres 80 Tahun 2019 tidak jalan sampai sekarang. Bahkan kedua sisi pintu masuk Jembatan Suramadu tidak ada petugas, tidak ada kontrol kecuali ada kejadian menonjol. Dulu pernah marak aksi bunuh diri dari bentang tengah tetapi akhirnya diberi pagar pembatas yang lebih tinggi,” pungkasnya.  **** 

 

Sumber: Surya
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved