Hikmah Ramadan 2025
Merawat Kemabruran Puasa 15 - Dari Inabah ke Istijabah
Syekh Ibn ‘Athaillah membedakan dua jenis taubat, yaitu taubat inabah dan taubat istijabah. Berikut penjelasannya secara lengkap.
Oleh : Menteri Agama, Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA
SURYA.CO.ID - Dalam artikel terdahulu dijelaskan, bahwa taubat mempunyai berbagai tingkatan.
Taubat paling standar ialah orang yang sadar dari lumpur maksiat kemudian meninggalkan seluruh kebiasaan-kebiasan buruk lamanya. Ia berjanji dan bertekad untuk sungguh-sungguh meninggalkan seluruh kebiasaan lamanya yang buruk.
Orang yang tidak sekedar meninggalkan dosa dan maksiat, tetapi sudah mengganti kelakuannya dengan amal-amal kebajikan.
Orang yang tidak saja memperbanyak amalan ibadah dan sosial, tetapi sudah masuk ke wilayah hakekat, sebagaimana layaknya kehidupan para arifin lainnya.
Orang yang sedetik melupakan Tuhannya, sama dengan melakukan dosa besar. Ini yang paling tinggi dan paling sulit dicapai seorang hamba.
Syekh Ibn ‘Athaillah membedakan dua jenis taubat, yaitu taubat inabah dan taubat istijabah.
Taubat inabah, ialah sikap taubat seseorang hamba yang didorong oleh rasa takut terhadap dosa dan maksiat yang telah dilakukannya, sehingga terbayang di benaknya kerugian besar di dunia dan siksa dan malapetaka Tuhan yang amat pedih di neraka.
Dalam suasana takut seperti itu, ia menyerahkan diri, bertaubat dan memohon pengampunan kepada Allah SWT.
Ia selalu membayangkan api neraka yang akan menyiksa dirinya, seandainya Allah tidak memaafkannya. Siang dan malam selalu melakukan ketaatan kepada Allah dengan harapan amal kebajikan bisa mengikis habis segala dosa-dosanya, sebagaimana firman Allah: Inna al-hasanat yudzhibna al-sayyi’at (sesungguhnya amal kebajikan menghapuskan segala dosa).
Sedangkan taubat istijabah, merupakan bentuk taubat seorang hamba yang malu terhadap kemuliaan Tuhannya.
Taubat dalam tahap ini, tidak lagi membayangkan Allah SWT sebagai Maha Pembalas terhadap segala dosa dan maksiat sebagaimana dalam tahap taubat inabah. Taubat istijabah ketika seseorang lebih merasa tersiksa rasa malu terhadap Tuhannya ketimbang panasnya api neraka-Nya.
Yang membuat seseorang tersiksa, ialah betapa pedihnya jika terbebani rasa malu yang amat dalam terhadap Allah SWT.
Mestinya ia bersyukur dan mengabdi kepada Allah SWT dengan berbagai kenikmatan yang diperoleh dari-Nya, tetapi malah melakukan dosa dan maksiat.
Inilah yang membuatnya tersiksa, kecewa, lalu menyesali dirinyatega melakukan sesuatu yang memalukan terhadap Tuhannya.
Renungan Spiritual dan Sosial di Penghujung Ramadhan : Sudahkah Kita Menjadi Pribadi yang Fitri ? |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa - Dari Salam, Islam dan ke Istislam |
![]() |
---|
Puasa Ramadhan di Indonesia, Indah dan Nikmat ! |
![]() |
---|
Merawat Kemabruran Puasa - Dari Sufi Palsu ke Sufi Sejati |
![]() |
---|
Kebutuhan Ramadhan Meningkat, Pinjol Solusinya? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.