Opini

Pembelian LPG 3 Kg: Kebijakan Setengah Matang

Pemerintah baru-baru ini menerapkan kebijakan pembelian LPG 3 kg hanya di pangkalan resmi. Tujuannya, seperti yang diklaim, adalah untuk memastikan s

|
Editor: Adrianus Adhi
Dok Pribadi
A Halim Mahfudz, Pengasuh Pesantren Salafiyah Seblak Jom. Penulis opini 

Oleh : A Halim Mahfudz, Pengasuh Pesantren Salafiyah Seblak Jombang

Pemerintah baru-baru ini menerapkan kebijakan pembelian LPG 3 kg hanya di pangkalan resmi. Tujuannya, seperti yang diklaim, adalah untuk memastikan subsidi tepat sasaran dan mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berhak. Namun, alih-alih meningkatkan efektivitas distribusi, kebijakan ini justru menimbulkan persoalan baru di lapangan. Masyarakat kesulitan mendapatkan LPG, pengecer kecil kehilangan mata pencaharian, dan harga di tingkat konsumen justru mengalami kenaikan akibat keterbatasan akses.

Tak butuh waktu lama, gelombang protes dari berbagai lapisan masyarakat akhirnya membuat pemerintah membatalkan kebijakan ini. Seperti banyak kebijakan lain yang terburu-buru tanpa kajian mendalam, keputusan ini mengulangi pola yang sama: regulasi dibuat tanpa mempertimbangkan kondisi riil di lapangan, baru setelah terjadi keresahan publik, pemerintah mundur dengan dalih "evaluasi."

Kegagalan Memahami Distribusi LPG di Lapangan

Di banyak daerah, masyarakat tidak membeli LPG langsung di pangkalan, melainkan melalui pengecer yang lebih mudah diakses. Pengecer ini berperan penting dalam rantai distribusi, terutama bagi warga yang tinggal jauh dari pangkalan atau tidak memiliki waktu untuk mengantri.

Ketika pemerintah membatasi distribusi hanya di pangkalan, efeknya langsung terasa: masyarakat kesulitan mendapatkan LPG karena jumlah pangkalan terbatas dan jaraknya tidak selalu dekat. Bagi mereka yang bekerja seharian, membeli LPG di pangkalan menjadi tantangan tersendiri.

Tak hanya itu, kebijakan ini juga mematikan mata pencaharian ribuan pengecer kecil. Mereka yang selama ini menggantungkan hidup dari menjual LPG 3 kg tiba-tiba kehilangan sumber pendapatan. Pemerintah seakan mengabaikan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh kebijakan ini.

Apakah Masalah Utama Berhasil Diselesaikan?

Jika tujuan utama kebijakan ini adalah untuk memastikan subsidi tepat sasaran, maka pertanyaannya adalah: apakah dengan menghapus pengecer, LPG 3 kg benar-benar hanya dinikmati oleh masyarakat miskin? Jawabannya tidak sesederhana itu.

Tanpa sistem verifikasi yang lebih ketat, siapa pun masih bisa membeli LPG di pangkalan. Kalangan mampu yang ingin menghemat pengeluaran tetap bisa membeli LPG bersubsidi, selama mereka datang langsung ke pangkalan. Masalah utama bukan terletak pada rantai distribusi, tetapi pada kurangnya mekanisme pengawasan terhadap siapa yang berhak mendapatkan subsidi.

Kebijakan yang Berulang: Kasus Minyak Goreng dan BBM

Pola kebijakan setengah matang seperti ini bukan pertama kali terjadi. Pada tahun 2022, pemerintah sempat membatasi penjualan minyak goreng bersubsidi dengan syarat pembelian menggunakan KTP. Tujuannya sama: subsidi hanya untuk masyarakat yang berhak. Namun, realitanya, kebijakan ini hanya menambah panjang antrean dan menyulitkan masyarakat kecil, sementara mafia minyak goreng tetap bisa menyiasati aturan. Akhirnya, kebijakan itu dicabut setelah mendapat tekanan publik.

Begitu pula dengan pembatasan BBM bersubsidi yang selalu menjadi isu berulang. Ketika pemerintah mencoba membatasi akses BBM subsidi, justru yang terjadi adalah lonjakan harga di pasar gelap, penumpukan di SPBU, dan keresahan di masyarakat.

Solusi: Perbaiki Sistem, Bukan Sekadar Melarang

Jika pemerintah serius ingin memastikan LPG bersubsidi hanya untuk masyarakat miskin, solusinya bukan dengan melarang pengecer, melainkan dengan menciptakan mekanisme kontrol yang lebih efektif. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Publikasikan Karya di Media Digital

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved