Opini
Tembus Sekat Komunikasi Publik Lewat Penguasaan Bahasa
Dalam kehumasan, bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Namun mampu menjadi jembatan pengaruh, ruang diplomasi, dan senjata ujung tombak naratif.
Oleh: I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M.I.Kom
SURYA.co.id - Dalam dunia kehumasan, bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Namun mampu menjadi jembatan pengaruh, ruang diplomasi, dan senjata ujung tombak naratif.
Seorang humas yang menguasai berbagai bahasa bukan hanya memiliki kelebihan teknis, tetapi juga membuka pintu-pintu pengaruh di berbagai ruang, baik lokal, nasional, hingga global.
Penguasaan berbagai bahasa saat ini menjadi semakin penting, terlebih dalam era digital dan disrupsi informasi. Bahasa bukan lagi soal tata bahasa atau struktur kalimat, tetapi juga menyangkut sensitivitas budaya, pilihan diksi, hingga kemampuan memahami frame of mind audiens.
Maka tak cukup hanya mahir Bahasa Indonesia baku sesuai kadiah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), humas kini dituntut pula memahami bahasa media, bahasa diplomasi, bahasa netizen, bahkan bahasa nonverbal.
Mari kita mulai dari realitas paling dekat. Dalam komunikasi pemerintahan, seringkali pesan strategis terhambat karena miskomunikasi bahasa antara lembaga atau instansi dengan masyarakat. Di sinilah humas berperan sebagai penerjemah: bukan hanya menerjemahkan bahasa formal menjadi bahasa publik, tetapi juga menyampaikan kebijakan menjadi narasi yang ramah dan mudah dicerna. Tanpa itu, pesan bisa hilang maknanya, tidak tersampaikan dengan baik kepada audiens, bahkan bisa dipelintir.
Penguasaan bahasa asing pun menjadi nilai tambah yang krusial. Dalam event internasional, forum kerja sama regional, atau diplomasi budaya, humas kerap menjadi ujung tombak komunikasi antarbangsa. Kepekaan terhadap nuansa budaya dalam Bahasa Inggris, Arab, Mandarin, atau lainnya, akan membedakan antara komunikasi biasa dengan komunikasi bermakna. Bahkan, kata yang sama bisa berarti sangat berbeda di negara berbeda jika konteksnya tidak dipahami.
Misalnya, saat ada kunjungan dari negara Inggris pemahaman terhadap Bahasa maupun budaya dari negara tersebut dapat lebih termaknai esensi dalam setiap perkataan.
Begitu juga dengan kunjungan atau tamu dari Negara Arab Saudi, menguasai Bahasa Arab akan sangat bermanfaat bagi Humas dalam memahami esensi yang terkandung di dalam pertemuan atau kunjungan.
Dalam perspektif teoritis, Edward T. Hall menyebut pentingnya konteks budaya dalam komunikasi—bahwa high context cultures (seperti negara Asia) menekankan makna implisit, sedangkan low context cultures (seperti Amerika atau Jerman) menekankan makna eksplisit.
Misalnya ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, bahasa yang digunakan di Asia lebih sopan, ada unggah-ungguhnya. Sementara di negara yang low context cultures _bisa langsung _to the point.
Humas yang andal perlu memahami perbedaan ini agar tidak salah mengartikan isyarat, tidak keliru memilih gaya penyampaian maupun diksi yang disampaikan, dan bisa membangun koneksi lintas budaya dengan empati.
Di media sosial, penguasaan “bahasa netizen” merupakan kompetensi tersendiri. Gaya bahasa warganet cenderung ringkas, terdapat gambaran emosional melalui teks atau emoji, dan adaptif terhadap tren. Humas yang tidak luwes mengikuti ritme digital, akan tertinggal atau justru kaku.
Di sinilah pentingnya tone of voice yang sesuai segmen antara unggahan Instagram Pemprov, rilis berita resmi, dan video Tiktok Dinas bisa memerlukan gaya bahasa yang sangat berbeda. Meski demikian tetap dalam satu benang merah identitas lembaga.
Lebih jauh lagi, humas yang baik juga harus memahami bahasa kepemimpinan, bahasa pelayanan publik, dan bahkan bahasa spiritualitas. Kita tidak sedang bicara literasi semata, tapi tentang gaya tutur, kehati-hatian dalam memilih kata, serta kemampuan menyampaikan harapan dan empati dalam setiap pesan.
| Indonesia Harus Jadi Pemimpin Ekonomi ASEAN: Timor-Leste Mitra Strategis Menuju Kebangkitan Kawasan |
|
|---|
| Jauh dari Kesan Kolot, Santri Kini Penjaga Moral, Pelopor Ekonomi dan Diaspora Peradaban Bangsa |
|
|---|
| Tayangan Xpose Uncensored Fitnah, Dukung Pesantren Tempuh Jalur Hukum |
|
|---|
| Saatnya Pemerintah Indonesia Menjadikan Guru sebagai Profesi Strategis Negara |
|
|---|
| UU BUMN 2025: Akhir dari ‘Sapi Perah Politik’ dan Amputasi yang Merugi?! |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/surabaya/foto/bank/originals/Tembus-Sekat-Komunikasi-Publik-Lewat-Penguasaan-Bahasa.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.