Pembunuhan Vina Cirebon
Visum Kasus Vina Cirebon Diajukan Sebelum Ada Laporan Polisi, Ahli: Unik alias Aneh, Cacat Hukum!
Bukti baru atau novum kasus vina Cirebon terungkap di sidang PK hari ini. Ahli Kecelakaan Lalu Lintas menyebutnya unik alias aneh.
SURYA.CO.ID - Bukti baru atau novum kasus Vina Cirebon terungkap di sidang Peninjauan Kembali (PK) yang digelar di Pengadilan Negeri Cirebon pada Senin (23/9/2024).
Bukti baru ini berupa kejanggalan visum et repertum yang diajukan dua penyidik pada kepolisian resort (polres) yang sama.
Visum pertama dimohonkan penyidik Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Cirebon pada tanggal 27 Agustus 2016, tepat di hari kecelakaan Vina dan Eky.
Lalu, visum kedua diajukan penyidik Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Cirebon juga pada tanggal 2016.
Visum kedua ini lah yang kemudian dijadikan dasar untuk menyelidiki kasus kematian Vina dan Eky sebagai kasus pembunuhan dan pemerkosaan.
Baca juga: Dalih Iptu Rudiana "Dihabisi" Susno Duadji di Sidang PK Terpidana Kasus Vina, Kapolri Harus Dengar!
Hal ini semakin janggal karena visum dibuat sebelum ada laporan polisi terkait pembunuhan di kasus ini.
Laporan dugaan pembunuhan dan pemerkosaan di kasus Vina Cirebon baru dibuat Iptu Rudiana empat hari setelah kejadian atau tanggal 31 Agustus 2016.
Kejanggalan visum ini diungkap kuasa hukum 6 terpidana kasus Vina Cirebon, Rully Panggabean di sidang yang menghadirkan Ahli Kecelakaan Lalu Lintas, Yuspan Zalukhu.
Diminta tanggapannya terkait dua visum ini, Yuspan Zalukhu mengatakan, pengajuan visum itu kewajiban yang menangani dugaan peristiwa tindak pidana.
Di kasus ini, karena awalnya ditangani penyidik kecelakaan lalu lintas, maka yang berhak mengajukan visum ke rumah sakit adalah penyidik Satlantas.
"Kalau kemudian Satreskrim mengajukan visum justru sebelum tanggal laporan (soal pembunuhan), itu unik alias aneh.
Belum menangani peristiwa sudah mengajukan visum. Gimana caranya ini. Saya tidak bisa pahami," kata Yuspan yang 18 tahun menjadi penyidik kecelakaan lalu lintas Polri.
Yuspan menilai visum itu cacat hukum karena seharusanya pengajuannya, harusnya sesuai waktu permasalahan itu ditangani.
"Karena tidak mungkin dia mengajukan visum sebelum tanggal atau waktu menangani itu. Sebagai apa dia waktu itu," kata doktor Ilmu Hukum ini.
Rully Panggabean memastikan bukti visum ini akan diajukan sebagai novum di PK para terpidana.
Di bagian lain, Yuspan juga menyoroti penanganan kasus Vina yang menurutnya sangat janggal.
Kejanggalan pertama adalah jenazah korban yang sudah diperbolehkan pulang sebelum ada kepastian kasusnya.
Menurutnya, secara prosedur hukum, kalau kematian tidak wajar, sehingga patut diduga ada peristiwa tindak pidana. Ada dua pihak, yakni aparat penegak hukum (negara) atau keluarga korban yang berwenang.
"Secara ketentuan normatif, (jenazah) tidak boleh langsung dimakamkan sebelum ada kejelasan penyebab kematian ini apa. Dan normalnya itu harus ada otopsi," katanya.
Bila dibawa pulang jenazah itu tanpa melakukan otopsi, itu harus dibuktikan dengan permohonan tertulis (keluarga) ditujukan pada penyidik.
"Penyidik yang berkomunikasi dengan RS. Kalau tidak ada permohonan, dan tidak ada persetujuan penyidik, jenazah tidak bisa dibawa pulang," katanya.
Sementara dalam kasus Vina ini, justru jenazah langsung dibawa pulang dan dimakamkan, dan empat hari kemudian dinyatakan sebagai korban pembunuhan.
Disinggung tentang kasus kecelakaan yang akhirnya berubah menjadi pembunuhan empat hari kemudian karena adanya laporan dari polisi (Iptu Rudiana), menurut Yuspan seharusnya ada fakta bahwa peristiwa itu bukan kecelakaan tapi pembunuhan.
Maka laporan polisi yang diproses penyidik kecelakaan lalu lintas harus bisa mempertanggungjawabkan, bahwa ada kebenaran informasi baru tersebut.
Bagaimana kalau kenyataannya, setelah empat harii ada polres lain yang menangani kasus ini sebagai kasus pembunuhan tanpa ada koordinasi langsung melakukan penangkapan dan penyidikan?
Menurut Yuspan, penyidik itu independen, tidak boleh dipengaruhi situasi, tekanan atau pengaruh pihak lain.
"Tidak bisa penyidik kecelakaan tidak bisa dihentikan begitu saja.Kalau memang bukan kecelakaan, maka harus buat laporan hasil penyelidikan diikuti surat perintah penghentikan penyelidikan atau Surat perintah penghentikan penyidikan. Kalau tidak ada, harus dituntut tanggungjawab," tegasnya.
Dalih Iptu Rudiana Dipatahkan Susno Duadji

Dalih Iptu Rudiana dipatahkan mantan Kabareskrim Komjen (purn) Susno Duadji saat menjadi ahli di sidang Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus Vina di Pengadilan Negeri Cirebon pada Rabu (18/9/2024).
Sebelumnya, Iptu Rudiana membantah telah menangkap dan menganiaya 9 orang, delapan diantaranya menjadi terpidana kasus Vina Cirebon.
Iptu Rudiana beralasan hanya mengamankan mereka.
"Saya enggak nangkap ya, saya hanya mengamankan saja. Beda ya nangkap dan saya amankan, karena saat itu saya baru tahu mereka pelakunya," ujar Rudiana dalam konferensi pers bersama Hotman Paris beberapa waktu lalu.
Rudiana juga menegaskan bahwa tuduhan penganiayaan yang dilayangkan kepadanya tidak benar.
Baca juga: Peran Iptu Rudiana Buat Peradilan Sesat Terpidana Kasus Vina Diungkap, Elza Syarief Bela Mati-matian
"Soal penganiayaan itu tidak ada. Tidak ada penganiayaan," ucapnya.
Namun, pembelaan Iptu Rudiana itu dipatahkan Susno Duadji.
Menurut Susno, dalam undang-undang acara pidana, tidak ada istilah mengamankan.
Menurutnya, membawa orang ke kantor atau ke suatu tempat tanpa ada surat penangkapan, itu namanya merampas kemerdekaan orang lain.
"Gak ada istilah mengamankan. Di KUHAP itu gak ada istilah mengamankan. Itu bukan tertangkap tangan," kata Susno.
Saat penangkapan pun, tidak semua anggota Polri diperbolehkan menangkap.
Menurut Susno, yang boleh menangkap hanya anggota polri aktif, berdinas di reserse, dan diberikan surat perintah.
"Kalau mengamankan? apanya yang diamankan. Jangan dicampuradukkan menangkap dan mengamankan. Kalau pengamanan misalnya ada keramaian atau ada sidang kayak gini, itu ada pengamanan," terang Susno.
Disinggung tentang adanya anggota polri yang menangkap lalu melakuan penyiksaan, menurut Susno anggota polri ini tak hanya bisa dikenakan kode etik namun bisa dikenakan ancaman pidana.
"Bisa (Pasal) 351 bisa 352 (KUHP). Apabila dilakukan anggota polri, itu harus diperberat. Dan ingat, Indonesia punya meratifikasi konvensi internasional tentang antipenyiksaan," ungkapnya.
Disinggung tentang tidak adanya pendampingan kuasa hukum untuk tersangka pada proses penyidikan, menurut Susno, hasil pemeriksaan itu harus dinyatakan batal demi hukum.
"Sudah banyak putusan pengadilan, membatalkan dan membebaskan terdakwa karena tindak pidana yang diancam hukuman 5 tahun ke atas dan pemeriksaan awal tidak didampingi," katanya.
Susno juga dimintai pendapatnya mengenai penanganan kasus dimana tersangka ditangkap dahulu baru dibuat laporan polisi, lalu tidak ada penyelidikan, tetapi langsung penyidikan dan ditetapkan tersangka dalam hitungan jam.
Menanggapi hal ini, Susno berkelakar semoga hal itu tidak terjadi di Indonesia, apalagi di Jawa Barat.
"Mudah-mudahan itu ilusi kasus, semoga tidak terjadi di Indonesia. Kalau ini terjadi di Indonesia, dan di Jawa Barat dan saya pernah jadi kapolda jawa barat. Saya pingsan di sini," sindirnya.
"Kalau itu benar, pak kapolri harus dengar. Pak kapolri junior saya, saya tidak pernah menjadi senior mengajarkan ini," tegasnya.
Bukti Baru Kasus Vina Cirebon
Sidang PK Terpidana Kasus Vina
kasus Vina Cirebon
Iptu Rudiana
Yuspan Zalukhu
SURYA.co.id
surabaya.tribunnews.com
Tak Tahan Lihat 7 Terpidana Kasus Vina Cirebon, Jutek Ingatkan Prabowo: Jangan Sampai Ada Keranda |
![]() |
---|
Ingat Sudirman Terpidana Kasus Vina Cirebon yang Ditembak Peluru Karet? Tiba-tiba ke Rumah Sakit |
![]() |
---|
7 Terpidana Kasus Vina Cirebon Bisa Lolos Pidana Seumur Hidup dengan Remisi Perubahan, Jutek Beraksi |
![]() |
---|
Kondisi Miris Sudirman Terpidana Kasus Vina Cirebon Usai PK Ditolak, Otto Hasibuan: Harus Dicek |
![]() |
---|
2 Jalan agar Terpidana Kasus Vina Cirebon Bisa Lolos Hukuman Seumur Hidup, Ini Kata Otto Hasibuan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.